"Oh, jadi gini rasanya denger pengakuan perasaan seseorang dalam keadaan 'normal' tanpa drama nahan BAB tuh."- Agisa
***
Pukul sepuluh pagi, Ijal sudah nongkrong di rumahku dengan motor maticnya. Dia lagi nunggu aku yang masih siap-siap.
"Gis!" Panggilnya sekali lagi saat aku lagi make sepatu.
"Wait." Aku lalu berdiri dan mengambil helm yang ada di garasi dan menghampirinya.
"Yuk."
Ijal memperhatikanku dari atas ke bawah, membuatku mengernyit. "Apaan sih, Jal." Protesku sambil menoyor kepalanya.
"Lo dari atas ke bawah pink semua, Gis. Tumben."
"Ini outfit yang dibeli Ayah Deni. Gue sebenernya nggak suka warnanya, tapi modelnya gue suka." Aku lalu naik ke motor Ijal dan menyuruhkan cepat-cepat berangkat.
"Akur lo sama bokap baru lo?" Tanya Ijal saat motor sudah berjalan.
Aku mengangguk, "Yah, mayanlah. Alhamdulillah."
"Syukur deh, ikut seneng gue dengernya."
"Ibu lo gimana, Jal?" Tanyaku dengan suara lebih keras. Maklum, ngobrol di motor itu harus saling teriak.
"Gue.. masih ragu, Gis. Takut laki-laki yang deketin Ibu gue cuman main-main aja. Yang gue liat, laki-laki itu juga nggak bersikap akrab ke adek-adek gue. Sedangkan gue berharap ibu dapat laki-laki yang emang bisa ngegantiin sosok ayah buat adek-adek gue."
"Lo juga udah jadi sosok ayah buat adek-adek lo, Jal." Aku menepuk punggung Ijal pelan. Well, aku tahu persis gimana kehidupan Ijal yang kadang nggak baik-baik aja. Diantara teman-temanku yang lain, sebenarnya Ijal lebih terbuka padaku, mungkin karena keadaan kami sama. Sama-sama korban perceraian orang tua. Tapi setidaknya hidupku lebih baik karena aku punya hubungan yang baik dengan Mama dan Papa, sedangkan Ijal tidak. Ayahnya sudah berkeluarga lagi, sedangkan Ibunya memilih senang-senang, bertingkah seperti gadis lagi dan melupakan anak-anaknya. Adik-adik Ijal yang masih kecil hanya bisa bergantung ke Ijal sebagai kakak paling tua. Sumpah, diam-diam aku selalu salut dengan Ijal. Meskipun di luar ia tampak seperti mahasiswa lainnya yang hobi nongkrong dan main game, tapi di balik itu dia hebat banget.
"Gue pingin seneng-seneng, Gis."
Aku tertawa pelan, "Ya kan, sekarang kita bakal seneng-seneng, Jal."
"Iya, Gis, gue selalu seneng kalau bareng lo." Jawab Ijal ngawur. Aku pun menepuk punggungnya pelan sambil tertawa.
Sebagai pembukaan, aku dan Ijal sepakat untuk memasuki kedai ice cream yang baru aja buka. Kami itu sama-sama pecinta makanan manis dan makanan yang mengenyangkan. Untuk urusan makan, kami punya selera yang sama persis. Makanya, aku sering menghabiskan waktu bareng Ijal untuk cari makan kayak gini.
"Hubungan lo sama Putra gimana?" Tanya Ijal sambil memakan ice cream duriannya sedangkan aku lebih milih ice cream pisang. Menurutku jauh lebih enak daripada durian.
"Kenapa emang?" Tanyaku.
"Kepo aja. Soalnya terakhir gue ketemu Putra, dia kayak yang lagi ada masalah gitu. Gue sapa nggak dibalas."
Aku mengedikkan bahuku, cuek. Males banget bahas Putra di saat aku lagi proses move on.
"Kenapa, Gis?" Tanya Ijal lagi. Sepertinya dia paham kalau hubunganku dengan Putra lagi nggak baik.
"Gue udah putus."
Ijal menghembuskan napasnya pelan. "Lo pacaran bentar banget loh, Gis."
"Tiga bulan lebihlah ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona | Seri Adolescence ✅
Ficção GeralManusia itu kadang sulit buat dipahami dan Agisa butuh proses seumur hidup untuk bisa terus paham dengan para manusia itu. Dan ini cuman tentang Agisa, mahasiswa biasa yang kehidupannya dikelilingi oleh berbagai macam manusia dan proses bagaimana ia...