4| Abang(sat)

1.2K 163 7
                                    

"Mau benci tapi nggak bisa. Mau sayang tapi nggak mau." -Agisa

***

Pukul dua siang aku sampai di rumah dengan selamat. Hari ini cuman dua matkul dan kebetulan karena aku bawa motor ke kampus jadi aku bisa pulang ke rumah lebih cepat.

Aku mengambil kunci rumah di bawah keset dan membuka pintu. Seperti biasa, rumahku sepi. Mama masih ada di kantor dan Agra, Abangku yang biasa aku panggil 'Bangsat' belum pulang.

Di ruang tamu aku melihat montok, kucingku yang langsung menyerbu kakiku dan mulai mengecup-ngecup kakiku. Nggak aneh memang rasanya, ya? Aku lalu berjongkok dan mulai mengendong montok dan menciuminya. Aku beri nama montok memang badannya montok. Tapi dia jantan bahkan baru aja ngehamilin gadis, si kucing tetangga. Padahal sebulan yang lalu kucing tetanggaku itu baru aja ngelahirin. Dan Bu Tati, si pemilik gadis sempet marah-marah ke aku karena montok udah ngehamilin si Gadis. Aku balas marah-marahlah, memangnya aku bisa ngontrol nafsu si montok?

Tadi pas aku lewat rumah Bu Tati, beliau masih natap aku sinis. Aku nggak suka sebenarnya kalau ada yang kayak gitu ke aku, tapi aku males buat menanggapinya, jadi biarlah. Nanti juga kalau ada butuhnya Bu Tati bakal baik lagi ke aku.

Sambil gendong montok aku duduk di sofa ruang keluarga dan nyalain tv. Walaupun kadang aku sedih karena suasana rumah sepi kayak gini tapi keadaan sepi kadang bisa bikin aku mikir jernih. Banyak hal yang aku pikirkan ketika sendiri dan itu enak banget, bisa nenangin hati seolah masalah yang aku punya bisa terpecahkan begitu aja dengan berpikir sendiri.

Beberapa menit aku terdiam sampai akhirnya aku mendengar ada suara pintu terbuka dan teriakan seseorang buat aku menghembuskan napas pelan. Hidupku sebentar lagi nggak akan lagi tenang kalau manusia itu datang.

Agra. Dua puluh empat tahun. Mahasiswa politik semester 10. Aku malas mengakuinya, tapi cowok yang sekarang duduk di sebelah aku ini orang yang lahir sebelumku dan pernah menempati rahim Mama juga.

"Dek, kok lo makin item, sih?"

Aku menahan kesal dan memutuskan mengabaikannya. Sabar, Gis, sabar. Orang macam Bang Agra itu makin seneng kalau lawannya ngerespon.

Bang Agra lalu merebut montok dari pangkuanku dan mulai mengusap-ngusap punggung kucingku sambil mengajak ngobrol. "Tok, majikan lo makin item aja, ya?"

Aku lalu merebut kembali montok sambil menatapnya kesal. "Montok punya adek." Ujarku. Sebut aku kekanak-kanakkan karena memanggil diri sendiri dengan sebutan 'Adek' diumur dua puluh. Udah kebiasaan soalnya.

Bang Agra mencibir melihatku yang memeluk montok posesif. Ya, aku memang seposesif itu sama montok yang bahkan hampir pernah kebunuh sama manusia yang aku panggil Bangsat ini. Gila, nggak, sih, dulu Bang Agra pernah sengaja ngumpetin montok di lemari cuman karena aku nggak mau beliin dia rokok ke warung. Emang nggak ada akhlak itu orang.

"Heh, item dengerin gue, ya. Besok kita ke kampus bareng, motor Abang ada di bengkel sekarang."

"Adek nggak ngampus besok."

"Wadul lo. Gue tahu, ya, besok lo ada jadwal jam 10."

"Nggak, tuh." Keukehku. Males, ya aku harus semotor sama orang kayak dia.

"Dina bilang kalian ada kelas jam 10."

"Apa?" Tanyaku. Tunggu, tadi dia bilang siapa?

"Dina."

"Sejak kapan Abang kenal Dina?" Aku melebarkan mata. Merasakan hawa yang kurang enak. Apalagi saat melihat Bang Agra tersenyum misterius. "Dari dulu, kok." Balasnya sambil tersenyum. Tangannya lalu mengusap rambutku kasar dan berlalu dari hadapanku. Oke, sekarang aku merasa ada yang nggak beres.

***

"Gisa." Panggil seseorang yang baru saja masuk kelas dan langsung duduk di sebelahku. Aku menatapnya curiga. Dina paling jarang duduk di dekatku. Dia tipe mahasiswa yang bakal duduk di paling depan dekat meja dosen sedangkan aku tipe mahasiswa yang selalu duduk di barisan kedua dari belakang. Dan melihatnya yang duduk di sebelahku sekarang langsung meningkatkan rasa curigaku. Apalagi mengingat Bang Agra kemarin sempat menyinggungnya.

"Kenapa?" Tanyaku.

Dina masih tersenyum lebar. "Nggak kenapa-napa."

Oke, fix ada yang nggak beres.

"Lo udah belum, Gis, laporan wawancara PD 7?" Tanyanya dan aku cukup peka kalau itu cuman basa-basi.

"Belum."

"Kenapa?"

"Nggak kenapa-napa, belum aja gue kerjain."

"Gue udah. Tapi belum dapat feedback dari aslab. Aslab gue, tuh, kadang suka ngaret gitu. Kesel, deh." Ceritanya. Aku mengangguk, menanggapi. Setelah itu, dia kembali bercerita panjang lebar dan aku nggak bisa menghentikan itu.

"Bla bla bla bla bla bla."

***

"Dek Gisa lagi dimana?"

Aku mengernyit. Kenapa hari ini banyak sekali hal yang mencurigakan? Aku menatap kembali ponselku, mengecek apakah benar Bang Agra yang menelpon karena jarang sekali lelaki itu berkata selembut ini.

"Mau apa?" Tanyaku langsung.

"Adek lagi dimana? Abang di parkiran fakultas kamu."

Aku menegok kanan kiri. Sepertinya aku kurang beruntung karena kebetulan aku juga lagi berjalan menuju parkiran fakultasku. Aku juga melihat Bang Agra yang lagi duduk di atas Kiti, motorku.

"Eh itu Adek." Ujarnya sambil melambaikan tangannya. Dengan pasrah aku pun menghampirinya.

"Mana kunci motornya, Dek?" Bang Agra mengadahkan tangannya. Aku menatapnya curiga, tapi karena tak ingin suudzon aku pun menyerahkan kunci motornya.

Bang Agra tersenyum lalu mulai menyalakan motorku, belum sempat aku naik, Abang langsung mencegahku. "Eh ngapain lo naik?"

Aku mengernyit, "Kan mau pulang."

"Kata siapa? Gue minjem motornya. Lo pulang naik gojek aja sekarang, nanti gue ganti ongkosnya."

"LHO KOK?" Seruku tak terima.

"Minjem sehari doang. Pelit amat, sih, mumpung Dina bisa diajak jalan." Bang Agra memakai helmnya. "Bye." Ujarnya tak tahu diri lalu meninggalkanku di parkiran dengan wajah melongo.

Aku diam beberapa detik lalu memaki, "Bangsat." Nggak salah aku memanggilnya itu.

Persona | Seri Adolescence ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang