"Yah, kita harus bisa mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain. Dan please, kebahagiaan kita adalah tanggung jawab diri kita sendiri. Jadi, jangan menggantungkan kebahagiaan kita ke orang lain yang bahkan punya potensi untuk nyakitin kita." -Agisa
**
Sebetulnya aku itu orang yang cukup peka. Tapi sayangnya, alam bawah sadarku selalu nyuruh aku buat jadi orang yang nggak peka dan nggak peduli sama lingkungan sekitar. Jadi, kalau ada orang yang bertingkah nggak biasa, aku bisa sadar itu tapi aku milih untuk pura-pura nggak tahu.
Seperti hari ini. Dalam diam aku menatap heran Fika yang tampak pura-pura ceria. Fika itu orangnya emang ceria tapi aku tahu kapan dia ceria beneran atau nggak. Dan hari ini dia lagi pasang topeng dengan pura-pura ceria. Padahal biasanya Fika itu nggak ragu buat nunjukin emosinya, kalau dia bete ya dia bakal nunjukin wajah bete. Ngeliat Fika yang daritadi pake mekanisme pertahanan diri itu bikin kecurigaanku semakin bertambah.
"Eh nggak percaya lo, ya, kemarin si Putra nongkrong lama di rumahnya si Gisa." Fika kembali membuka gosipan.
Aku sebagai topik si penggosip hanya diam. Yaps, aku memang semales itu buat ikut campur. Jadi biarlah Fika bercerita sesuka hatinya.
Ijal, lelaki yang hari ini jadi pendengar gosip Fika langsung mendengus, "Masa, sih? Nggak percaya gue."
"Eh, tanya aja ke orangnya langsung. Si Zaki juga ikut nongkrong, kok."
"Bener, Gis?" tanya Ijal padaku. Aku menatapnya heran, sumpah, memangnya seaneh itu, ya, kalau Putra mau berdekatan denganku?
"Kenapa lo nggak percaya?" tanyaku.
"Yaiyalah, Gis, di sini itu orang yang paling sibuk, ya, si Putra. Dan orang yang paling nggak ada kerjaan, ya, lo." Ijal menjelaskan dengan wajah serius. "Jadi, heran aja gue ngapain si Putra mau menghabiskan waktu berharganya sama lo yang pastinya nggak ngasih benefit ke dia."
Aku menatap datar Ijal dengan seksama. Ijal itu hampir sebelas dua belas sama Zaki. Mulutnya suka seenaknya, tapi untungnya omongan Ijal itu lebih banyak benernya daripada omongan Zaki yang cuman sampah doang. Ya buktinya sekarang. Aku kesal dengan penjelasan panjangnya, tapi sayangnya aku setuju dengan omongannya.
Melihat keterdiamanku Ijal langsung menyela, "Bener, kan?"
Dengan pasrah aku mengangguk, "Yah lo bener, Jal. Gue juga heran kenapa juga si Putra ngehabisin waktu berharganya sama gue yang nggak ngasih benefit ke dia."
"Jadi bener si Putra nongkrong di rumah lo?"
"Hm, iya." Balasku malas dan aku bisa melihat Ijal yang sekarang berdecak kagum, "Daebak."
Fika pun langsung ngakak mendengar gumaman Ijal, "Lo habis maraton drakor, ya?"
Ijal tersenyum malu, "Iya, Fik. Gila Voice season 3 rame banget."
Fika dan Ijal lalu sibuk ngomongin drakor yang katanya seru banget itu. Aku sebenernya juga suka nonton drakor, tapi nggak sefanatik Fika. Di rumah pun yang lebih suka nonton drakor malah Mama. Anime jepang masih yang terseru menurutku.
Aku menatap Fika yang masih so-so an ceria. Asli, aku yakin si Fika lagi nggak baik-baik aja. Jadi, ketika Ijal pamit pergi ke kamar mandi aku langsung menodong Fika dengan pertanyaan, "Lo kenapa?"
Fika mengernyit, "Kenapa apa?"
"Lo." tunjukku padanya. "Ada yang lo rahasiain, ya?"
"Apaan, sih, Gis." Fika mengelak. "Tumben lo peduli sama gue."
"Fik, gue selalu peduli sama lo. Lo tahu itu."
Fika terdiam sebentar, entah apa yang dipikirin. "Iya gue tahu lo selalu peduli sama gue. Tapi lo juga selalu pura-pura cuek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona | Seri Adolescence ✅
Fiksi UmumManusia itu kadang sulit buat dipahami dan Agisa butuh proses seumur hidup untuk bisa terus paham dengan para manusia itu. Dan ini cuman tentang Agisa, mahasiswa biasa yang kehidupannya dikelilingi oleh berbagai macam manusia dan proses bagaimana ia...