7| Akibat Omongan Tetangga

915 139 11
                                    

"Hidup kita yang jalanin ya kita. Orang lain cuman tahu luarnya aja. Mereka berhak buat ngomong sesuka hati mereka. Dan kita juga punya hak untuk dengerin mereka atau nggak. Tapi please, sekalipun kita punya hak untuk ngomong, alangkah baiknya mulutnya di kontrol. Bisa, kan?" - Agisa

***

Hari ini tanggal merah. Tapi ini nggak lantas buat hariku jadi kosong dan bisa sibuk rebahan. Planingku tadi malem adalah aku pingin hari libur ini cuman diem di kasur dan ngelanjutin anime Snk yang belum aku tamatin. Tapi takdir berkata lain karena aku baru ingat kalau aku punya tugas laporan PD (Psikodiagnostika) 1 yang harus dikumpulin 3 hari lagi. Sebenernya bisa aja aku kerjain nanti, tapi bikin laporan hasil pemeriksaan psikologis itu butuh tenaga yang ekstra banget, asli. Nggak bisa kita kerjain asal dengan sistem kebut semalem. Aku masih punya cita-cita lulus tepat waktu, makannya aku berusaha sebisa mungkin supaya matkul PD ini bisa lulus. Soalnya kalau aku nggak lulus, aku nggak bisa ambil matkul PD selanjutnya dan yang paling parah aku harus ngeluarin uang lagi buat praktikum dan amdat. Btw, praktikum jurusan psikologi itu butuh dana yang nggak sedikit. Kita harus mikirin uang ongkos OP (objek penelitian), makan siang OP, dan segala kenyamanan OP kita. Karena mau bagaimana pun juga mereka harus dibayar karena udah bantu tugas kita. Belum lagi kalau kita ketemu OP yang nggak kooperatif. Ah ribet. Kemarin aja Fika pas amdat kedua, dia dapat OP yang ngerjain soal dengan asal-asalan otomatis itu buat Fika stress pas skoringnya. Huft. Sebenernya kadang susah bertahan di sini tapi mau gimana lagi? Ini udah pilihan.

Jam sembilan pagi aku keluar kamar, berniat sarapan. Sepi. Bang Agra masih di kamarnya entah lagi ngapain. Dan aku ngeliat Mama yang duduk di teras bareng dua ibu-ibu. Aku mengernyit, ngapain Mama pagi-pagi gini udah ngegosip? Biasanya jam segini di hari libur Mama sibuk buat sesuatu dan bereksperimen di dapur atau kalau nggak beliau sibuk ngurus bunga-bunganya. Tapi kok sekarang malah ngegosip?

Serius, aku baru denger sedikit pembicaraan mereka dan mereka lagi ngomongin tetangga baru di RT 3 yang katanya selingkuh sama pria beristri. Aku lalu memutuskan ke teras dan nyapa ibu-ibu itu.

"Eh Gisa, libur, ya?" Sapa Bu Ike, tetanggaku, di dekat meja banyak kresek hitam berisi belanjaan. Jadi aku memperkirakan, Mama dan ibu-ibu ini habis berbelanja lalu memutuskan buat singgah di rumahku dan ngajak Mama ghibah.

"Iya, Bu, kan tanggal merah." Jawabku lalu duduk di samping Mama. Btw, sepengamatanku, Mama ku itu orang yang enak diajak ghibah. Kenapa? Karena Mama ku itu ngangguk-ngangguk aja meresponnya seolah percaya dan terbawa emosi sama si topik ghibahan. Padahal, sebenernya Mamaku itu nggak tahu harus ngerespon apa.

"Mama iya iya aja, Dek, toh itu kan yang mereka mau." Jawab Mama pas aku tanya apa Mama keberatan dengan gosip yang selalu dibawakan ibu-ibu komplek.

"Gisa teh semester berapa?" Tanya Bu Iis, salah satu tetanggaku juga.

"Empat, Bu."

"Nggak kerasa, ya, udah dua tahun kuliah, perasaan baru kemarin Dek Gisa bilang mau kuliah. Alif juga sekarang lagi nyusun skripsi, sibuk anak Ibu itu sekarang. Tapi Ibu seneng karena semester 7 kemarin matkul-matkulnya udah beres semua. Alif juga bla bla bla bla.."

Yeps. Bu Iis adalah salah satu Ibu komplek yang selalu membangga-banggakan anaknya. Nggak salah, sih, tapi kadang kesel aja gitu. Padahal setahuku, Bang Alif, anaknya Bu Iis itu anaknya selow abis. Dia juga sering nawarin berangkat ke sekolah dulu pas aku belum punya kendaraan sendiri.

Aku cuman ngangguk dan tersenyum kaku. Nggak masalah sebenarnya kalau seorang ibu membanggakan anaknya, masalahnya adalah..

"Kalau De Gisa IPK kemarin berapa?"

Yah, masalahnya adalah beliau itu selalu menjatuhkan anak orang lain. Dan yang sering jadi korban adalah Mamaku.

"3." Jawabku seadanya.

Persona | Seri Adolescence ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang