6| Perfect

938 149 7
                                    

"Katanya, kalau seorang manusia nggak kelihatan sama sekali kejelekkannya, bukan berarti dia nggak punya kejelekkan tapi karena dia bisa nyembunyiin kejelekkan dia dengan apik." -Agisa

***

"Mohon maaf apabila ada kesalahan dari saya dan teman sekelompok saya. Ambil positifnya dan buang negatifnya. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya."

Putra, lelaki jangkung yang sedang tersenyum di depan kelas itu menutup persentasi hari ini dan aku langsung mendengar dercakkan pelan dari gadis yang duduk di sebelahku, Irma. "Kenapa?" Tanyaku.

Irma menggeleng pelan, "Gue cuman nggak ngerti kenapa si Putra bisa se-perfect itu."

Aku menatap kembali ke depan dan lelaki yang baru saja dipuji oleh Irma itu sedang sibuk melepaskan sambungan kabel proyektor dari laptopnya. Aku memperhatikan detail lelaki itu, aku akui Putra memang punya wajah yang tergolong tampan. Apalagi kalau lagi senyum, manis banget. Putra itu tipe mahasiswa pinter dan rajin yang selalu dapat A di hampir setiap matkul. Setahuku juga dia menjabat jadi wakil ketua himpunan mahasiswa psikologi di kampus. Apa yang Irma katakan bisa jadi benar, sih, tapi nggak. Aku percaya bahwa semua hal itu ada sisi negatif dan positifnya. Termasuk manusia. Apalagi Putra yang cuman manusia biasa yang sama sepertiku.

"Pasti punya kurangnya juga, kok, dia."

"Selama dua tahun gue sekelas sama dia nggak pernah sekalipun gue liat kejelekkan dia, Gis."

Iya, sih, aku pun nggak pernah. Malah pernah dulu aku satu sekelompok dengan dia dan aku kelupaan ngerjain bagianku. Aku pikir dia bakal marah mengingat dia cukup perfeksionis untuk urusan tugas tapi ternyata tidak. Putra hanya bilang agar aku segera mengerjakannya dan kalau aku kesulitan aku boleh minta bantuan dia.

"Tapi dia kan juga manusia kayak kita, Ma." Ujarku lagi. "Dia pasti punya kekurangan. Pasti." Tekadku.

"Mau bantu gue nggak?" Tiba-tiba Irma mendekatkan wajahnya padaku sambil tersenyum misterius.

"Bantu apa?"

"Bantu gue buat nemu kejelekkan si Putra."

Aku berdecak dengan keras. Sungguh, nggak ada guna banget permintaan yang ditawarkan Irma. "Nggak mau. Mending gue ngerjain laporan, Ma."

"Serius, Gis." Irma menatapku lekat. Aku bisa melihat kesungguhannya dan itu yang buatku merasa lucu.

"Ngakak banget sih lo." jawabku sambil terkekeh.

"Gue traktir lo makan seminggu."

"Nggak tertarik."

"Gue kasih 2 bungkus donat kesukaan lo." Tawarnya lagi.

Aku terdiam, sedikit tergiur juga tapi.. "Nggak, makasih." jawabku datar.

"Album DAY6 yang eutropy gue buat lo." Tawarnya lagi dengan semangat dan aku langsung menatapnya nggak percaya, "Serius lo?!" Makiku dengan suara kencang dan begonya aku lupa kalau Pak Ilham, dosenku masih ada di kelas dan sekarang beliau sedang menatapku heran.

***

"Tada!" Irma mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya lalu tersenyum lebar sambil menunjukkan barang itu di depanku.

"Liat Gis, album dari band favorit lo udah di depan mata. Gue tau sebenernya lo pingin beli album ini tapi nggak kesampaian sampai sekarang. Kalau gue, sih, nggak terlalu suka DAY6, ya, cuman kebetulan aja Kakak gue beli ini dua." Irma tersenyum mengejek dan aku berusaha menahan keinginanku untuk memaki dia.

"Lo kan tau, Ma, gue nggak deket sama Putra." Ujarku sambil menahan kesal. Sungguh, aku tahu dengan pasti banget kalau si Irma ini sengaja main-main kayak gini karena tau aku nggak deket sama Putra plus aku orang yang paling males buat basa-basi dan deketin orang lain duluan.

Persona | Seri Adolescence ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang