"Kisahku nggak berakhir, kok. Cuman novel ini aja yang berakhir, soalnya takut pembaca bosen." -Agisa
***
"Menurut lo nggak apa-apa kalau kita ngelakuin ini?"
Bang Agra bertanya dengan wajah yang gusar. Wajar sih jika Bang Agra gusar, karena apa yang kami lakukan itu sangat berisiko. Tapi, rasanya aku butuh melakukan ini. Demi kedamaian hidupku.
"Nggak apa-apa, Bang, kalem." Jawabku mencoba santai.
"Gue takut ditanya kapan lulus." Keluh Bang Agra.
"Bentar lagi kan."
"Gue masih bab 3, Dek. Seminar proposal aja belum."
"Santai, Bang, santai. Papa nggak akan mungkin nanya itu." Ujarku menenangkan lagi tapi sepertinya Bang Agra nggak merasa tenang karena Abang langsung berdecak kesal.
"Ngapain juga sih lo ada ide kayak gini. Bikin canggung aja." Bang Agra kembali protes.
Aku berdecak, "Protes mulu lo, Bang. Kalau nggak mau pulang aja sana. Adek bisa sendiri."
Walaupun Abang protes akan ideku, tapi aku tau Abang setuju. Makanya, walaupun dengan cemberut, Abang tetap duduk di tempatnya, tak beranjak meski tadi sempat aku usir.
"Kalau suasananya nggak enak, lo yang harus tanggung jawab." Ujar Bang Agra sambil berbisik karena orang yang kami tunggu sudah datang. Mereka bahkan datang bersamaan.
Mama dan Papa tampak kaget saat melihat satu sama lain. Dan aku langsung tersenyum polos saat mereka melihatku.
"Ma! Pa! Sini." Sambutku ramah. Aku bukan tipe anak so manis seperti ini, makannya Bang Agra langsung berdecak kesal mendengar nada suaraku yang ramah dan manja.
"Kirain Mama nggak sama Papa." Seru Mama sambil duduk di depanku dan diikuti Papa yang duduk di depan Abang.
"Saya juga nggak tahu kamu datang." Ujar Papa pada Mama.
Aku masih tersenyum menanggapinya, sedangkan Bang Agra langsung meringis pelan.
"Kejutan! Hehe." Jawabku so asik. "Adek kangen banget bisa makan berempat. Nggak apa-apa, kan?"
"Iya, nggak apa-apa." Jawab Mama sambil senyum tapi sayangnya aku tahu Mama bohong.
Sebetulnya, yang aku perhatikan, hubungan Mama dan Papa itu baik-baik saja. Nggak pernah aku melihat mereka bertengkar. Bahkan saling menampilkan wajah nggak suka pun nggak pernah. Mama dan Papa memang juara dalam bersandiwara depan aku dan Abang. Sayangnya, sekarang aku bukan Agisa si anak kecil yang bisa dibohongi. Sekarang aku tahu bahwa hubungan mereka sama sekali nggak baik.
"Papa nggak sibuk, kan?" Tanyaku.
Papa menggeleng, "Nggak, cuman nanti sore mau ke sekolah ngaji Dilan, mau ambil rapot."
"Dilan udah Iqra berapa, Pa?" Tanyaku memperpanjang obrolan. Sungguh, sepertinya di sini hanya aku yang berniat basa-basi.
"Iqra empat."
"Wah, hebat udah Iqra empat lagi. Bang Agra aja tamat Iqra pas masuk SMP." Aku tertawa garing, sedangkan Abang yang aku ejek cuman mendengus doang.
"Bukannya Adek juga?" Tanya Mama dengan nada bercanda.
"Eh nggak. Adek Al-Quran dari kelas 5 loh, Ma." Sangkalku.
"Kamu kapan sidang, Bang?" Tanya Papa membuat Bang Agra langsung meringis dan menginjak kakiku.
"Targetnya sih bulan depan." Jawab Bang Agra.
"Oh, sidang skripsi kan?"
"Sempro." Bang Agra meringis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona | Seri Adolescence ✅
Fiksi UmumManusia itu kadang sulit buat dipahami dan Agisa butuh proses seumur hidup untuk bisa terus paham dengan para manusia itu. Dan ini cuman tentang Agisa, mahasiswa biasa yang kehidupannya dikelilingi oleh berbagai macam manusia dan proses bagaimana ia...