"Gimana sih, rasanya pacaran itu?" -Agisa
**
Malam ini aku sulit tidur.
Seumur hidup, punya pacar nggak pernah masuk sebagai list hidupku. Hal yang aku inginkan cuman ada beberapa, diantaranya menuntaskan semua list tontonan film, drama dan animeku yang rasanya nggak pernah berkurang, lulus kuliah, nonton konser DAY6, pergi umrah dan jalan-jalan ke Korea Selatan bareng Mama. Udah, cuman itu. Dan punya pacar nggak pernah aku pikirkan sebelumnya, yang sering aku pikirin cuman halu gimana kalau aku pacaran sama Jae DAY6 yang nggak akan mungkin kesampaian.
Oke!
Aku bangun dari rebahanku, dan mulai berusaha untuk fokus. Tarik napas.. buang.. tarik napas.. buang. Oke.. aku harus berpikir jernih.
Apa alasanku mengiyakan permintaan Putra jadi pacarnya?
Aku terdiam merenung, berusaha mencari jawaban lain selain karena aku terpaksa supaya cepet-cepet bisa ke kamar mandi. Dan hampir setengah jam aku berpikir, aku nggak menemukan alasan yang logis kenapa aku nerima Putra jadi pacarku. Putra emang ganteng, pinter, baik, asik diajak ngobrol, dan banyak hal baik lainnya yang cowok itu punya, tapi itu nggak lantas buat aku nerima dia jadi pacarku. Terlebih, aku juga nggak ngerti kenapa pula seorang Putra yang ganteng, pinter, wakil ketua himpunan, dan baik itu harus nembak aku yang hobinya rebahan jadi pacar dia.
Ini nggak ngeprank, kan?
Dan semakin aku berpikir, semakin pula aku nggak menemukan jawabannya. Aku nggak tahu besok harus bagaimana menghadapi Putra. Yang aku tahu, aku yakin hidupku akan berubah total besok.
Hp ku bergetar dan ada satu pesan masuk dari Putra. Putra lagi?
Satria Putra Mahendra : Gis, besok ngampus gue jemput yaa
Satria Putra Mahendra : Jangan sarapan di rumah ya, kita cari sarapan bareng ajaKarena tidak tahu harus menjawab apa, terlebih aku masih dalam proses berpikir untuk menerima ini semua, aku pun menyimpan kembali ponselku. Tapi beberapa detik kemudian, ponselku bergetar kembali dan Putra menelponku.
Aku mendadak panik. Ngapain pula Putra nelponku malam-malam begini? Niatku ingin mematikan ponsel tapi karena ponselku licin, jariku malah terpeleset dan menerima panggilan Putra. Sialan.
"Halo, Gis?"
"Eung.. halo Put?"
"Gis, kenapa chat gue tadi cuman diread doang?"
Aku memejamkan mataku sekilas.
"Eung.. gue belum sempet balas." Bohongku.
"Gis, sekali lagi makasih ya, udah nerima gue."
"Eung.. Put.. tadi itu serius?"
Putra tertawa kecil, "Ya iyalah serius. Masa gue nembak lo main-main."
"Kenapa, Put?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari bibirku. Selain aku bingung mengapa aku menerima Putra, aku juga bingung kenapa Putra menembakku.
"Karena gue suka sama lo, Gis. Gue nyaman sama lo. Gue juga belajar banyak dari lo. Rasanya, kalau perasaan gue lagi nggak baik, gue selalu bisa merasa lebih baik kalau sama lo. Mungkin lo nggak tahu, tapi selama ini gue ngerasain itu, Gis."
"Gue.. nggak tahu." Balasku. Sungguh, aku nggak tahu harus merespon omongan Putra gimana. Semua ini terlalu mendadak. Meskipun kadang sikap Putra selalu aneh, tapi selama ini aku nggak pernah berpikir kalau cowok itu menyukaiku. Bukannya aku merasa nggak pede, tapi memang aku benar-benar nggak kepikiran Putra bisa suka aku di saat aku merasa nggak melakukan apa-apa untuk cowok itu.
"Gue tahu ini mendadak buat lo. Mungkin perasaan yang lo punya ke gue nggak sebesar apa yang gue punya, tapi gue berharap kedepannya kita bisa sama-sama, Gis. Aku.. butuh kamu untuk diri aku, Gis."
Aku terdiam lama. Dan Putra pun ikut terdiam.
"Eung.. sejujurnya gue masih ragu." Aku pun memutuskan untuk jujur. Kayaknya, aku harus jujur pada Putra daripada ke depannya aku nyakitin dia. Terlebih, sejujurnya sejak tadi sore aku memikirkan bagaimana caranya untuk putus dihari jadianku sama Putra. Itu terdengar sangat jahat, aku tahu itu. Rasanya aku memberikan harapan pada cowok itu di saat aku pun masih ragu dengan keputusanku. Aku nggak tahu harus nyalahin siapa selain perut laknatku yang pingin boker di waktu yang tidak tepat.
"Gue suka sama lo, Put. Tapi.. nggak sedalam itu."
Aku memang suka Putra. Suka sama kepinteran dia, kerajinan dia, kehebatan dia dan segala hal yang Putra punya yang nggak aku punya. Mungkin cuman rasa kagum aja yang aku punya, itu pun nggak sedalem itu.
"Gue kecepetan ya, Gis?" Putra tertawa kecil. "Maaf Gis, kalau tindakan gue buat lo kaget. Gue cuman.. cuman.." ada nada ragu dan jeda yang Putra berikan sebelum akhirnya melanjutkan, "Gue cuman takut."
"Takut apa?"
"Liat lo deket sama Ijal dan Zaki aja kadang bikin perasaan gue nggak enak. Dan denger ada Karendra yang deketin lo bikin gue harus melangkah lebih cepat."
Aku menggaruk tengkukku yang nggak gatal, merasa nggak habis pikir dengan apa yang Putra jelaskan. "Gue sama Ijal dan Zaki cuman temenan, Put. Gue juga nggak suka sama Karendra." Aku nggak tahu kenapa aku harus menjelaskan ini, aku cuman ingin meluruskan kesalahpahaman saja.
"Tetep aja, Gis, gue merasa terancam." Ungkap Putra membuatku menahan napas sejenak, ternyata begini ya rasanya dicemburuin.
"Put.. gue belum pernah pacaran. Kepikiran pacaran pun sebenernya nggak." Jujurku.
"Gue juga, Gis. Gue nggak pernah pacaran dan nggak pernah kepikiran untuk punya pacar sebelum kenal lo. Sekarang gue cuman mikir, gue butuh seseorang selain diri gue sendiri."
Aku terdiam, kenapa omongan Putra jadi manis gini sih? Aku nggak mau baper, tapi rasanya baru pertama kalinya ada cowok yang ngomong semanis itu padaku. Maklum, aku memang kekurangan bubuk bucin.
"Put.. tapi.."
Gimana ngomong supaya Putra ngerti kalau aku nggak niat nerima dia tadi. Tapi mendengar semua penjelasannya tadi membuat hatiku sedikit luluh. Aku nggak tahu perasaan Putra sedalam itu padaku. Dan aku akan sangat merasa bersalah jika menyakitinya. Tapi aku pun masih ragu untuk nerima ini semua. Aku juga takut kalau aku melanjutkan hubungan ini di saat perasaanku sekarang nggak jelas malah nyakitin Putra kelak.
Aku galau.
"Lo.. nyesel nerima gue tadi, Gis?" Tanya Putra dengan suara pelan.
"Ng..nggak, Put, bukan gitu." Aku memukul kepalaku pelan, kenapa pula aku jawab nggak? Padahal kan memang benar aku menyesali keputusan begoku. Tapi aku benar-benar nggak ingin nyakitin Putra sekarang. Mama, Adek galau..
"Put.. kita coba dulu, ya? Gue bakal belajar buat balas perasaan lo sedalam yang lo punya. Jadi, bantu gue."
Aku memejamkan mataku dan mengangguk meyakinkan diriku sendiri bahwa keputusanku ini benar. Ya, kayaknya nggak ada salahnya aku mencoba menjalin hubunganku dengan Putra. Dan meski ragu, aku akan terus meyakinkan diriku sendiri bahwa aku memilih keputusan yang tepat. Aku tahu semua konsekuensi pacaran itu apa baik negatif dan positifnya, dan mulai sekarang aku akan belajar siap untuk menerima itu semua.
"Makasih, Gis. Gue bener-bener seneng sekarang." Putra berseru senang. Dari nadanya pun aku tahu kalau dia lagi seneng dan anehnya, tanpa sadar aku tersenyum.
"Sama-sama, Put. Bantu gue ya, gue nggak ahli pacaran."
Putra tertawa dan sekarang tawanya terdengar manis ditelingaku. "Gue juga, Gis. Kita sama-sama belajar aja."
Aku tersenyum, "Iya, Put."
"Eung.. udah malam, Gis. Lo tidur gih, gue tutup ya, telponnya?"
"Hm, malam, Put."
"Malam juga, Gis. Mimpiin gue, ya?"
Dan besoknya aku bangun dan sadar bahwa aku benar-benar mimpiin Putra semalam. Gila!
***
Ada yang nyangka ga Gisa bakal jadian sama Putra? Wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona | Seri Adolescence ✅
Ficção GeralManusia itu kadang sulit buat dipahami dan Agisa butuh proses seumur hidup untuk bisa terus paham dengan para manusia itu. Dan ini cuman tentang Agisa, mahasiswa biasa yang kehidupannya dikelilingi oleh berbagai macam manusia dan proses bagaimana ia...