"Dengerin orang ngomong itu gampang, tapi nggak semua orang mau sukarela ngasih telinganya dan bersedia dengerin orang lain. Padahal alasan kenapa Tuhan nyiptain dua telinga dan satu mulut itu supaya orang lebih banyak mendengarkan daripada ngebacot. Iya, kan?" -Agisa
***
"Kenapa masuk Psikologi?"
Jujur, aku bosan sebenarnya dengar pertanyaan kayak gitu sejak dua tahun yang lalu aku memutuskan untuk masuk jurusan psikologi. Dari teman sekolahku, guru, dosen, teman sejurusan, teman kampus, kakak tingkat, dan juga Mas-mas ojeg online yang aku pesan.
"Karena saya mau belajar tentang manusia, Mas." Jawabku seadanya. Lebih tepatnya malas, sih, lagipula Mas ojeg ini juga nggak butuh cerita detail bagaimana akhirnya aku memutuskan masuk jurusan ini.
"Terus Neng bisa baca pikiran saya nggak?" Tanya Mas Supri. Daritadi sejak aku naik ke motornya, nggak sedikitpun lelaki itu berhenti bercerita. Entah pengalamannya sebagai driver ojeg online, anaknya yang baru lahir, temannya yang kehilangan motor, dan bahkan sampai istrinya yang selalu mengeluh akan penghasilan Mas Supri yang nggak seberapa. Dan yang aku lakuin daritadi cuman merespon cerita itu seadanya dan sesekali ikut mengomentari. Sebenernya aku malas menanggapi itu, apalagi dengerin orang yang ngomong diatas motor yang kadang suaranya nggak jelas. Lagipula, aku juga nggak terlalu peduli sama cerita si Mas Supri ini. Well, aku cuman menerapkan apa yang selalu Mama katakan padaku kalau aku harus belajar untuk menghargai kalau ada orang berbicara meskipun perkataan itu cuman bacot nggak jelas.
"Bisa nggak Neng?" Tanya Mas Supri lagi.
Sering banget rasanya aku dapat pertanyaan kayak gini. Dulu, aku bisa dengan sabar menjelaskan kalau anak psikologi itu nggak bisa baca pikiran, tapi sekarang, karena malas untuk menjelaskan kayaknya nggak apa-apa bohong dikit."Bisa." Jawabku langsung.
"Wah.. coba apa yang lagi saya pikirin?" Mas Supri melirikku dari kaca spion. Aku pun mengernyit, pura-pura berpikir.
"Mas lagi mikir, kenapa saya mau aja dengerin bacotan Mas dari tadi." Seruku asal yang anehnya membuat Mas Supri melebarkan matanya dan berseru kencang, "Betul, Neng."
Aku ikut melebarkan matanya, "Hah?"
"Wah.. saya nggak nyangka Neng bisa baca pikiran saya, padahal setahu saya psikologi, kan, bukan berarti bisa baca pikiran orang. Tapi, Neng, kok, tahu, sih?"
Aku menggaruk pipiku yang tak gatal, merasa heran juga dengan situasi ini. Aku, kan, cuman asal nebak masa bisa bener, sih?
"Saya itu kalau lagi narik pelanggan emang banyak omong, Neng. Saya bisa ngantuk kalau nggak ngobrol. Biasanya orang-orang suka protes denger bacotan saya, tapi si Neng meuni bageur mau dengerin saya." Mas Supri lalu tertawa senang.
Aku ikut tertawa kaku.
Setelah beberapa menit, akhirnya motor Mas Supri sampai di depan gerbang kampusku. Aku langsung turun, lalu menyerahkan uang yang sudah aku siapkan sebelumnya pada Mas Supri, melihat penampilannya aku pikir umurnya sekitar di bawah tiga puluh tahun.
"Nggak usah, Neng." Tolak Mas Supri langsung.
"Hah? kenapa, Mas?"
"Ini gratis buat Neng. Itung-itung dari awal naik sampai turun Neng dengerin cerita saya terus." Mas Supri tersenyum lebar.
"Ya nggak ada hubungannya atuh, Mas. Ini tetep ongkos yang harus saya bayar." Aku menyerahkan kembali uangnya yang langsung ditolak lagi olehnya.
"Nggak usah, Neng. Serius."
"Bener, nih?" Aku memastikan. Sedikit tergiur juga, sih, dengan gratisan yang ditawarkan Mas Supri. Karena bagaimana pun juga, aku cuman mahasiswa biasa yang sering banget punya penyakit kantong kering. Kalau benar ongkos ojeg ini nggak aku keluarkan, otomatis aku bisa makan makanan lebih mahal nanti siang.
"Bener." Mas Supri masih menampilkan senyum lebarnya. "Saya seneng karena pagi ini Neng bisa buat saya ngomong banyak. Lega rasanya, saya lagi mumet, Neng, karena istri saya marah-marah terus."
Aku pun tersenyum lalu memasukan kembali uangku ke dalam dompet. "Nggak bisa ditarik lagi, ya, uangnya." Seruku girang.
"Iya, Neng, kalem."
"Kalau gitu makasih, ya, Mas. Mudah-mudahan istrinya cepet sadar kalau marah dan ngeluh itu bikin capek."
"Aaamiin. Nuhun ogenya, Neng."
Aku memperhatikan Mas Supri yang menyalakan motornya dan berlalu dari hadapanku. Dalam hati aku berucap syukur karena uangku aman. Tak banyak yang aku lakukan tadi. Aku cuman mendengarkan dan mencoba memahami apa yang Mas Supri ceritakan. Dan aku nggak mengira bahwa itu bisa buat Mas Supri lega dan berterima kasih padaku. Well, salah satu kebutuhan manusia itu ingin didengarkan dan dipahami, tapi dari cerita Mas Supri, aku sadar bahwa nggak semua orang mau memberikan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona | Seri Adolescence ✅
Ficção GeralManusia itu kadang sulit buat dipahami dan Agisa butuh proses seumur hidup untuk bisa terus paham dengan para manusia itu. Dan ini cuman tentang Agisa, mahasiswa biasa yang kehidupannya dikelilingi oleh berbagai macam manusia dan proses bagaimana ia...