"Kalau tuker tambah makhluk kayak Abang, ada yang mau nggak, ya? Kalau nggak mau, gratis juga gapapa, deh." -Agisa
***
"Ma Adek pingin punya adik."
Aku berkata seperti itu pada Mama waktu umurku 11 tahun. Aku masih kelas lima SD, pikiranku masih pikiran anak kecil tapi aku udah merasa frustrasi karena punya Abang kayak Agra yang nggak pantes dikasihsayangi.
"Lho, kenapa? Kok tiba-tiba."
Mama jelas heran. Selama ini aku menikmati hidup sebagai anak bungsu. Tapi setelah mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Bang Agra, aku bertekad bahwa aku ingin menjadi seperti Bang Agra yang bisa memperlakukan adiknya semena-mena. Iya, motifku punya adik cuman karena aku ingin balas dendam.
Sampai sekarang umurku 20 tahun, aku masih pingin punya adik. Tapi jelas, keinginanku nggak akan berkabul karena Mama dan Papa udah cerai sejak delapan tahun yang lalu. Mama juga pernah operasi rahim sehingga Mama nggak bisa punya anak lagi. Kemungkinanku untuk balas dendam udah nggak ada. Dan Bang Agra pasti tertawa ngakak kalau tahu motifku ingin punya adik.
Aku merasa ketidaksukaanku pada Bang Agra sangat mendasar. Aku orang yang selalu berpikir objektif dan nggak pernah gampang terbawa perasaan. Dan itu berarti, Bang Agra udah amat keterlaluan sampai bisa buat aku setidaksuka itu padanya. Ada beberapa moment yang pernah aku ingat darinya.
Pertama, pas kelas dua SD aku pernah ditinggal pulang sama Bang Agra dengan alasan dia lupa punya adik. Bayangkan aku duduk di depan sekolah selama dua jam karena nggak berani pulang sendiri. Kebetulan nggak ada yang bisa jemput aku hari itu. Akhirnya aku diantar pulang guruku dan di rumah aku mendapati Bang Agra yang asik main PS. Dan untuk pertama kalinya aku merasa nggak dihargai.
Kedua, masih di kelas dua SD aku pernah menangis karena kepalaku nggak sengaja kena bola sama kakak-kakak kelas enam yang nggak lain adalah teman-teman Bang Agra dan lelaki itu sama sekali nggak peduli dengan keadaanku. Dan untuk kedua kalinya aku merasa nggak dihargai lagi.
Ketiga, saat kelas tiga SMP, saat aku sedang jadi remaja yang mulai memperhatikan penampilan, Bang Agra pernah memanggilku sambil berteriak di depan sekolahku, "EH ITEM." Aku ingat dengan jelas beberapa temanku sempat terkekeh mendengar panggilan Bang Agra padaku. Aku malu, serius. Pulangnya aku langsung nangis dan nggak ngomong tiga hari sama Abang. Sumpah, omongan Bang Agra itu emang sempet bikin masa remajaku jadi remaja yang insecure. Padahal aku nggak item, kulitku cuman agak gelap doang, tapi kata Mama itu manis, kok.
Dan banyak lagi pengalaman menyebalkan yang aku alamin karena Abangsat itu. Orang yang paling paham dengan perasaanku itu cuman Mama. Tapi Mama nggak pernah ada di pihakku. Mama selalu jadi orang di tengah-tengah kita yang kadang bikin aku kesal karena Bang Agra bisa nambah semena-mena padaku.
Dan seperti hari ini, aku pulang naik gojek dengan wajah bertekuk kesal. Mama yang kebetulan sudah ada di rumah langsung menatapku heran, "Motor Adek kemana?"
"Dibawa bangsat." Jawabku.
"Innalilahi. Astagfirullah. Kenapa bisa?!" Mama berseru heboh. Aku dengan cepat meralat, "Dibawa Bang Agra maksud Adek."
Mama menghela napas lega lalu memukul lenganku, "Ih bikin kaget aja. Emang motor Abang kemana?"
"Di bengkel."
"Kenapa nggak pulang bareng aja?" Mama bertanya heran. Iya, aku pun heran kenapa Bang Agra lebih memilih orang lain dibandingkan adiknya sendiri.
Aku menghela napas lagi dan menatap sendu Mama. "Ma, boleh nggak, sih, Abang kita tuker sama kipas angin aja?"
***
"Ini kunci motor lo." Bang Agra membuka pintu kamarku dengan seenaknya dan melempar kunci motorku ke kasur.
"Kemana aja tadi?" Tanyaku yang sedang berbaring di kasur sambil mengerjakan tugas.
"Kepo lo."
"Bensinnya diisi lagi, kan?"
"Nggak. Cuman dipake dikit, kok."
"Terus mana uang ganti ongkos ojeg adek?" Aku mengadahkan tanganku dan Bang Agra hanya mengedikkan bahunya dan keluar dari kamarku tanpa menutup pintunya lagi. Aku menggeram. Sabar, Gis, sabar.
***
Kecurigaanku pada Bang Agra dan Dina sudah terbukti. Pagi ini aku datang ke kampus, dan Dina langsung menghampiriku lalu dengan ramah mengajakku ngobrol. Bahkan dia juga dengan sabar mengajarkan skoring alat tes Pauli yang menurutku malesin banget.
"Gue jadian sama Agra kemarin." Bisiknya lalu tersenyum.
Aku balas tersenyum kaku, "Kok mau?" Seolah tersadar, aku langsung memukul mulutku sendiri. Serius, aku nggak sengaja ngomong itu tadi. Sebangsat-bangsatnya Bang Agra, aku tetep nggak mau image dia jelek di mata orang-orang. Aku nggak mau orang-orang kasihan karena aku punya Abang kayak dia.
Dina terkekeh pelan, "Abang lo lucu, tauk."
Aku hampir tersedak saat sedang minum. Apa katanya tadi? Lucu? Nggak salah, si Dina?
"Lucu apaan?" Heranku.
Dina masih terkekeh, "Lucu tau. Dia juga so sweet."
Duh, lama-lama aku bisa mual nih denger pujian Dina pada Bang Agra.
"Gue juga nggak nyangka ternyata Agra sesayang itu sama lo. Gue kira hubungan lo sama Abang lo nggak bagus-bagus amat, soalnya lo paling males kalau ngungkit Bang Agra." Dina tersenyum dan aku menatapnya makin heran. Nggak salah, tuh?
"Duh, gue nggak mau sebenernya ngomong ini, Din. Tapi sorry banget, kayaknya lo udah ketipu, tuh, sama Bang Agra. Asli, Bang Agra nggak sebaik yang lo kira." Ujarku sungguh-sungguh. Aku cuman kasihan kalau Dina terus terjebak dengan orang seperti Agra.
Dina malah tertawa ngakak. Lah? Apa yang salah dari ucapanku?
"Udah gue duga lo bakal gini." Katanya disela tawa. "Kalian lucu, sumpah."
"Apaan, sih?" Seruku mulai tak suka.
Dina tersenyum lalu menepuk bahuku, "Gis, lo, tuh, terlalu berpikir luas. Coba, deh, lo mulai membuka mata lo dan rasakan gimana sayangnya Agra sama lo. Image Agra kayaknya udah buruk banget di mata lo sampai lo nggak sadar kalau Agra itu selalu ngelibatin lo dalam hal apapun."
Aku terdiam. Memikirkan semua ucapan Dina. Sampai beberapa detik kemudian, aku masih tak paham dengan ucapannya dan aku masih belum sadar dimana letak kesalahanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona | Seri Adolescence ✅
Fiksi UmumManusia itu kadang sulit buat dipahami dan Agisa butuh proses seumur hidup untuk bisa terus paham dengan para manusia itu. Dan ini cuman tentang Agisa, mahasiswa biasa yang kehidupannya dikelilingi oleh berbagai macam manusia dan proses bagaimana ia...