"Kadang manusia itu selalu nutup mata dan hanya mau melihat apa yang mereka percayai. Tapi, ketika mereka membuka mata dan sadar dengan apa yang sebenarnya terjadi. Cuman rasa malu yang dirasa." -Agisa
***
"Dek, Bang Agra di kampus sekarang gimana, ya?" Mama bertanya dengan wajah serius sedangkan aku menatapnya heran, ngapain juga Mama nanya kayak gitu ke aku?
"Adek kan jarang ketemu Abang di kampus, Ma."
"Tapi, kan, fakultas kalian sebelahan." Sangkal Mama.
"Memangnya kenapa, sih?"
"Nggak tahu, Mama ngerasa heran aja tiba-tiba Abang semangat buat nyusun skripsi." Mama menjawab sambil membuka kuaci dan memakannya. Yaps, malam ini aku dan Mama lagi nonton sambil nyemil kuaci yang aku beli tadi. Kita nggak bener-bener nonton, sih, toh daritadi Mama ngajak ghibah mulu. Daripada ghibah sama temen-temenku, aku lebih suka kalau ghibah sama Mama, soalnya ghibahnya bermanfaat. Mama selalu ngomongin hal-hal yang langsung diselipi pelajaran hidup, makannya aku suka.
"Ya bagus dong Abang mulai serius hidup, emang Mama mau Abang sibuk maen-maen aja."
"Bukan gitu, Dek. Mama juga seneng lihat Abang jadi semangat gitu, padahal sebelumnya Abang pernah bilang nggak akan lanjut kuliah karena males nyusun skripsi."
Aku tersedak, heran dengan jalan pikir abangku sendiri. "Gila aja kalau Abang mau keluar kuliah, nggak mikir apa? Emangnya kuliah itu nggak bayar?!" Aku berseru kesal.
Mama menepuk pahaku pelan, "Sttt.. nanti Abang denger. Ya, Mama mah nggak apa-apa, Dek, kalau Abang mau keluar, Mama nggak mau bikin Abang tertekan."
Aku mendengus pelan. Yah, kayaknya omongan Bu Iis ada benarnya juga, Mamaku itu terlalu baik, sumpah. "Ya, tapi, kan, nggak gitu juga, Ma. Mama udah kerja banting tulang buat Abang kuliah tapi masa putus di tengah jalan. Nggak lucu dong."
"Daripada Abang stress karena tertekan." Mama masih menyangkal.
"Harusnya Mama semangatin lah, jangan malah dukung keputusan nggak gunanya Abang." Nasehatku so tahu. Asli, aku nggak berhak sebenernya ngomong gini, tapi aku kesal karena sebetulnya Abang sering banget memanfaatkan kebaikan Mama. Abangku itu emang sebangsat itu, kan? Kayaknya emang image abang di otakku udah jelek semua.
"Dek," Mama mengusap lenganku pelan, kebiasaannya kalau aku lagi kesal. "Mama paham Adek ngomong gini, tapi kamu juga harus paham cerita dari sudut pandang Abang. Hidup Abang itu nggak seselow yang kamu pikirkan loh."
Aku cemberut kesal tapi tetap memasukkan nasehat Mama ke otakku. Kayaknya aku memang harus mulai belajar buat mau tahu tentang Abang. Tapi sumpah, males.
"Makannya lihat Abang yang semangat gini bikin Mama bingung, kira-kira motivasinya datang darimana, ya?"
Aku mengedikkan bahuku, "Nggak tahu."
"Adek cari tahu dong, bantu Mama."
"Nggak ah, males."
"Ehhh, budak teh nya." Mama mencibir.
Aku lalu membereskan sampah kuaci dan beranjak, "Adek bobo dulu, ya."
Saat melewati kamar Abang aku liat dia lagi dengerin musik sambil fokus natap layar laptop. Karena kepo, aku pun masuk ke kamarnya. Melihat kedatanganku, Bang Agra tanpa ragu langsung mengusirku, "Ngapain? Abang lagi sibuk, sana jangan ganggu."
Aku tak pedulikan sahutannya dan malah duduk di kasurnya lalu melirik layar laptopnya yang menampilkan jurnal yang sedang ia baca. Wah, omongan Mama terbukti. Abang memang lagi nyusun skripsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona | Seri Adolescence ✅
Ficção GeralManusia itu kadang sulit buat dipahami dan Agisa butuh proses seumur hidup untuk bisa terus paham dengan para manusia itu. Dan ini cuman tentang Agisa, mahasiswa biasa yang kehidupannya dikelilingi oleh berbagai macam manusia dan proses bagaimana ia...