"Ternyata pacaran bisa seribet ini." -Agisa
***
Tawaran Putra semalam yang katanya ingin menjemputku dan sarapan bareng aku tolak. Meskipun aku udah nerima dia jadi pacarnya, dan mimpiin dia semalam, nggak lantas buat aku siap ketemu dia hari ini. Makanya, aku beralasan mau berangkat ke kampus bareng Fika meskipun temenku itu sama sekali nggak tahu pas pagi ini aku tiba-tiba nongol di depan rumahnya.
"Ngapain, Gis?" Tanya Fika heran. Sekarang jam tujuh pagi dan jadwalku hari ini jam sepuluh. Biasanya aku pergi ngampus mepet jam sepuluh, tapi karena hari ini aku butuh "asupan" dulu sebelum nanti akhirnya ketemu Putra di kampus. Aku nggak seberani itu ketemu dia sedangkan status kami sudah berbeda. Ini pertama kalinya aku pacaran, woy! Aku nggak tahu harus gimana.
"Kita berangkat bareng ya, Fik." Aku melewati Fika dan dengan nggak tahu malu masuk ke rumahnya dan menyalami Bunda Fika yang lagi mageran sambil nonton gosip.
"Maaf ya, Bun, Gisa pagi-pagi udah ke sini." Seruku pura-pura nggak enak.
"Nggak apa-apa, Gis, sarapan di sini aja." Tawarnya yang langsung ku iyakan sedangkan Fika langsung mendengus kesal.
"Gis, seger amat kamu pagi ini, makin cantik lagi, mau ketemu pacar, ya?" Celetuk Bunda Fika yang langsung buat aku melotot.
"Apaan, Bun? Gisa ini biasa aja, nggak dandan, nggak seger-seger amat juga. Lagian ketemu pacar apaan, Bun. Gisa nggak gitu ih." Well, aku nggak tahu kenapa aku harus sepanik ini menjelaskan. Fika dan Bundanya pun cuman menatapku heran dan karena malu aku pun langsung masuk ke kamar Fika yang kebetulan dekat dengan ruangan TV tempat Bunda Fika bersantai.
"Ngapain sih lo Gis, pagi-pagi udah ke sini, gue masih ngantuk, nih."
"Gue butuh lo, Fik." Ujarku ketika duduk di atas kasur Fika yang berantakan. Kayaknya bener deh, dia tadi masih tidur pas aku datang.
"Apaan?" Fika kembali rebahan dan menarik selimutnya. "Gue bener-bener ngantuk, Gis. Gue baru tidur habis shubuh tadi, lagian kuliah kan nanti jam 10."
"Tapi gue butuh bantuan lo, Fik."
"Hm, ya gimana?" Tanyanya yang malah memejamkan matanya.
"Manfaatnya punya pacar apa, Fik?" Tanyaku langsung. Sekali lagi aku tekankan, aku memang menerima Putra jadi pacarku dan mau belajar suka dia, tapi tetap aja aku sekarang butuh alasan yang kuat untuk aku bisa komitmen dengan dia.
Fika membuka matanya sedikit lalu menjawab, "Ada yang anter kemana-mana."
Oke, alasan pertama ditolak karena aku punya motor dan bisa kemana-mana sendiri.
"Yang lain?"
"Ada yang nyemangatin."
"Nyemangatin dalam hal apa?" Tanyaku meminta jawaban spesifik.
"Ya, nyemangatin belajar, ngerjain tugas, kerja dan lain lain."
Oke, alasan kedua ditolak karena aku nggak butuh seseorang untuk nyemangatin aku. Aku punya motivasi sendiri untuk supaya tetap semangat. Biasanya, cara belajarku pas mau UTS atau UAS itu pakai sistem self reward. Kalau aku bisa belajar, maka hadiahnya aku bisa nonton film yang mau aku tonton. Tapi sayangnya, aku lebih banyak ngasih reward ke diri sendiri, padahal belajarnya belum.
"Yang lain?"
"Ada yang ngehubungin tiap hari."
Aku langsung menggeleng. Kemarin dapat chat bertubi-tubi dari Karendra aja aku langsung resah nggak jelas.
"Yang lain?" Fika membuka matanya dan menatapku kesal, tapi untungnya sahabatku itu tetap menjawab, "Ada yang perhatiin kita."
"Perhatiin kayak gimana?"
"Kayak ngingetin kita makan, nyuruh hati-hati kalau kita mau kemana-mana, peduli kalau kita sakit, eung.. apalagi ya? Yaaa orang perhatian aja sih, Gis."
Tanpa sadar aku menggeleng. Alasan ditolak lagi. Karena aku nggak butuh pengingat untuk makan, aku bakal tetap hati-hati di mana pun tanpa ada yang ngingetin dan kalau aku sakit masih ada Mama yang bakal ngurus aku.
"Yang lain coba, Fik?" Cercaku lagi pada Fika yang sekarang bener-bener menatapku kesal.
"Gis, lo pagi-pagi ke sini cuman mau nanya ini?"
Aku mengangguk.
"Buat apa Agisa?" Tanya Fika sebal. "Hal-hal yang gue sebutin tadi mah nggak akan mempan buat lo."
Aku mengernyit, kok Fika tahu?
"Jadi maksud lo gue nggak cocok pacaran gitu?" Tanyaku sedikit kesal. Ya kesal lah soalnya sekarang statusku sudah menjadi pacar orang.
"Nggak." Balas Fika langsung. "Dan kalau pun lo pacaran, lo nggak akan butuh hal-hal yang gue ucapin tadi."
"Kok lo gitu sih, Fik?" Aku mendesah dan mengerucutkan bibirku.
"Karena lo tuh kadang terlalu sering pake logika, jadi lupa pake hati." Perkataan santai Fika membuatku langsung melebarkan matanya dan berseru nggak terima, "Enak aja lo, Fik! Lo pikir gue nggak punya hati apa?"
Fika mengedikkan bahunya santai, "Gue yakin, apa yang gue sebutin tadi pasti lo sangkal di otak lo." Ujar Fika so tahu yang sayangnya bener.
"Tapi gue yakin, Gis, meskipun hal-hal yang gue sebutin tadi lo sangkal, pada akhirnya, nanti pas lo punya pacar lo bakal nyadar kalau semua itu bikin hati lo seneng."
Aku menatapnya sangsi, "Masa sih?"
"Tuh kan lo mah nggak percaya." Fika berdecak. "Gis, walaupun IPK lo lebih gede dari gue, tapi untuk urusan hati lo payah banget, Gis."
"Lo juga payah, Fik." Ujarku tak mau kalah. "Lo kemarin hampir masuk ke hubungan toxic sama Imam." Aku mengingatkan.
Fika mengibaskan tangannya, "Ah, itu mah anggap aja gue lagi khilaf. Lagian bisa jadi pengalaman juga, Gis."
Aku mendengus kesal mendengarnya. Tapi setelah dipikir-pikir, omongan Fika bener juga. Dulu Ijal pun pernah bilang kalau aku bakal sulit untuk diajak pacaran oleh cowok-cowok, aku nggak tahu maksudnya apa. Tapi kenapa aku sekarang jadi kepikiran, ya? Gimana kalau Putra malah mutusin aku karena aku nggak seru untuk dijadiin pacar? Eh, tapi kan aku juga nggak mau-mau amat pacaran sama Putra, jadi nggak apa-apa dong kalau putus juga? Eh, tapi aku merasa nggak terima aja kalau ternyata aku nggak bisa jadi seseorang yang baik buat pacarku. Eh, tapi. Eh, kok aku labil gini, sih?
"Fik, kalau gue punya pacar gimana?" Aku mendekati Fika yang sekarang kembali berbaring.
Fika melirikku lalu dengan nggak ada akhlaknya dia langsung tertawa ngakak seolah pertanyaanku adalah pertanyaan yang bodoh. Aku mengeryit, menatapnya nggak suka. Emang salah pertanyaanku?
"Kenapa ketawa, sih?"
"Ya lucu aja, Gis. Kebayang nggak sih, nanti kalau pacaran mau pacaran kayak gimana? Lo diajak main sama kita aja suka males, diajak nongkrong nggak mau, diajak nyari tempat buat feed IG nggak mau, diajak nonton ke bioskop nggak mau kalau selain sama gue, diajak belanja apalagi." Fika berkata panjang dengan nada yang mengebu-ngebu. Aku jadi mikir kalau ini curhatan Fika aja tentangku.
"Tapi lo masih mau temenan sama gue, Fik, walaupun gue males diajak kemana-mana."
"Ya itu mah gue aja yang sabar."
"Memang pacaran harus kayak gitu ya, Fik?"
"Iya, liat aja di IG-IG."
"Tapi lo nggak tuh." Seruku nggak terima.
"Suka, tapi nggak sering." Balas Fika.
"Kenapa?"
"Gue nggak punya duitlah, tekor duit gue dipake jalan mulu mah."
"Berarti pacaran butuh modal dong?" Aku mengernyit.
"Ya iyalah. Belum lagi skincare dan parfume supaya tetap tampil kinclong depan doi."
"Kok pacaran ribet banget sih?" Aku menatapnya heran. Tapi aku setuju dengan omongan Fika. Kenapa aku baru kepikiran sekarang ya kalau pacaran bikin seribet itu?
"Ya makannya," Fika menepuk tanganku, "Lo mah nggak akan sanggup pacaran, Gis. Lo kan anti ribet."
Tapi.. gue udah terlanjur pacaran, Fik, ujarku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona | Seri Adolescence ✅
Fiction généraleManusia itu kadang sulit buat dipahami dan Agisa butuh proses seumur hidup untuk bisa terus paham dengan para manusia itu. Dan ini cuman tentang Agisa, mahasiswa biasa yang kehidupannya dikelilingi oleh berbagai macam manusia dan proses bagaimana ia...