"Manusia itu kadang cuman mau melihat apa yang ingin mereka lihat dan mendengar apa yang mau mereka dengar." -Agisa
***
"Eh guys, tahu nggak kasus anak hukum yang lagi rame itu?" Dina, salah satu teman sekelasku tiba-tiba datang dan ikut duduk di depanku yang kebetulan kosong. Aku dan lima orang teman sekelasku sekarang kebetulan lagi nongkrong di kantin, sambil menunggu kelas psikologi kepribadian yang akan mulai setengah jam lagi. Sebelum Dina datang tadi, kita lagi ngobrolin tugas psikologi industri yang harus menganalisis suatu jabatan. Dan melihat Dina yang datang sambil tersenyum lebar sekarang, kayaknya, kita harus ganti topik.
Aku udah mencium bau-bau nggak beres, sih. Melihat cara berbicara Dina yang dimulai dengan kata 'Tahu nggak?', aku udah menduga bahwa ini bakal berakhir ke mana.
"Tahu, dong." Seru Fika heboh. Aku meliriknya sambil mengunyah permen yupi yang baru aku beli.
"Katanya dia anak hukum 2015, udah mulai nyusun skripsi dan sekarang harus berhenti karena kasus ini. Kasian banget, nggak, sih?" Kata Dina memulai perghibahannya. Tanpa sadar aku menghela napas, lalu mengusap telingaku yang tertutup hijab biru. Kasihan telingaku ini pagi-pagi harus dengar gosip yang nggak penting. Jujur, aku paling tak suka ghibah. Selain ghibah itu nggak ada manfaafnya, menurutku ghibah juga nggak sehat buat mental. Dari dulu aku selalu berusaha untuk nggak ghibahin orang, tapi ternyata menghindar supaya nggak ghibah jauh lebih gampang daripada menghindar dari orang-orang yang suka ghibah. Serius, nggak pernah sekalipun rasanya telingaku nggak denger ghibahan. Kayaknya, mulut orang-orang, tuh, bakal gatel kalau sehari nggak ghibah.
"Dia cantik banget loh." Seru Zaki dengan wajah cengengesan. "Sayang udah dipake. Kalau gue tahu di FH ada anak secantik dia udah gue gebet dari dulu."
Aku berdecak pelan. Dua tahun lalu saat pertama kali melihat Zaki, aku cukup kagum padanya. Dia tinggi, punya wajah manis kayak Afgan (serius, dia mirip banget Afgan tanpa kacamata), dan pintar ngomong. Tapi sayang, mulut pintarnya kadang cuman bisa dipake buat ngomong hal-hal yang brengsek. Contohnya kayak tadi.
"Cowoknya anak mana, sih?" Tanya Fika, gadis berambut pirang di sebelah Zaki dengan heboh. Fika itu salah satu teman dekatku di kampus, dia orangnya friendly dan enak diajak diskusi. Cuman kadang suka gampang terhasut kalau denger omongan orang-orang.
"Kedokteran, Fik. Gila, kan?"
"Gila! Nggak nyangka gue anak kedokteran ada yang kayak gitu. Gue kira anak FK alim-alim." Fika pun tertawa ngakak sambil menepuk-nepuk pundakku. "Iya, nggak, Gis?" Tanyanya meminta persetujuan. Aku cuman diam. Memangnya sejak kapan aku mikir anak kedokteran alim-alim?
"Diem aja lo, Gis." Celetuk Fika. "Dalam hati pasti lo lagi ngomentarin kita yang lagi ngeghibah. Iya, kan?" Fika mengacungkan telunjuknya sambil menatapku curiga. Fika memang tahu kalau aku males buat dengerin orang ghibah.
"Iya." Jawabku langsung.
"Ini berita cukup penting lho, Gis. Ini kasus besar soalnya, coy. Dosen aja hampir ada yang turun tangan." Zaki berkata cuek sambil memakan baksonya.
"Iya, Gis. Ini lagian bukan gosip tauk. Ini berita hangat. Gila nggak, sih? Di kampus kita ada pelecehan seksual. Btw, yang gue denger dari anak FH, si korban itu sekarang depresi." Cerocos Dina lagi. Ya mau berita hangat pun aku nggak peduli. Memangnya hubungannya denganku apa? Aku tetep dapat C di matkul psikologi kepribadian.
"Eh tapi kata Dela katanya mereka ngelakuin "itu" suka sama suka. Kok ada berita itu, ya?"
Nah yang gini, nih, yang makin bikin aku nggak suka sama gosip. Kadang nggak ada bukti valid dengan apa yang mereka omongin, tapi kenapa mesti tetep diomongin? Kan belum tentu bener.
"Masa, sih?"
Ini juga yang aku nggak suka, masa mau percaya begitu aja? Nggak akan disaring dulu gitu infonya biar nggak langsung percaya?
"Tapi gue denger mereka emang pernah pacaran waktu jadi maba."
"Wah gila! Jangan-jangan kasus pemerkosaan cuman alibi lagi." Zaki tertawa ngakak dengan asumsinya.
Dengan kesal aku lalu melempar permen yupi ka wajah Zaki karena males melihat wajah ngakaknya. Zaki yang melihat itu langsung melotot tapi tangan lelaki itu malah mengambil yupi yang jatuh ke meja dan memakannya. Emang kelakuan sama wajah beda jauh, ya, sayang banget itu wajah Afgannya disia-siakan.
Aku ingin protes kalau temen-temen mulai gosip nggak jelas kayak gini. Tapi semua protesanku cuman keluar di dalam hati. Aku tipe orang yang jarang ngomong, bukan karena aku pendiem dan nggak berani ngomong, tapi karena aku kadang males buat menanggapi orang-orang. Tapi aku tetep manusia biasa, kok, yang suka seneng karena hal menyenangkan dan suka marah karena hal yang menyebalkan.
Dulu aku pernah negur beberapa temenku waktu mereka menggosipkan teman sekelasku yang kena skandal percintaan bareng dosen. Oke nggak pa-pa kalau apa yang mereka ngomongin memang apa yang sebenernya terjadi, tapi masalahnya apa yang mereka omongin itu jauh dari fakta (karena aku tahu fakta yang sebenarnya) dan aku malah balik disemprot. Katanya aku apatis dan nggak peduli sama sekitar. Well, padahal bukan itu maksud aku negur mereka. Dan yaps, dari situ aku nyesel untuk menegur orang-orang yang lagi sibuk ngedosa.
Beberapa manusia itu kadang cuman mau mendengarkan apa yang ingin mereka dengarkan dan melihat apa yang ingin mereka lihat. Mau seberapa besar keinginanku supaya mereka nggak kayak gitu, itu percuma karena mereka bukan ada di bawah kehendakku. Aku nggak bisa mengontrol mereka, begitupun mereka nggak bisa mengontrolku. Yang bisa aku lakukan cuman mengontrol diri aku sendiri. Mengontrol diri supaya aku bisa tetap sabar dan nggak terkecoh sama hal yang begituan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona | Seri Adolescence ✅
Ficção GeralManusia itu kadang sulit buat dipahami dan Agisa butuh proses seumur hidup untuk bisa terus paham dengan para manusia itu. Dan ini cuman tentang Agisa, mahasiswa biasa yang kehidupannya dikelilingi oleh berbagai macam manusia dan proses bagaimana ia...