Pertarungan yang menjadikan tim tiga sebagai sasaran empuk dini hari berakhir dengan tim tiga sendiri yang memenangkannya. Hal itu tak luput dari ingatan Kaleya tentang Saireen yang tampak---errr, menyeramkan.
Melihat bagaimana kelincahan dan kepekaan Saireen terhadap sekitar membuat Kaleya teringat akan sebuah cerita yang Ibu nya ceritakan dahulu sewaktu kecil, saat dimana dirinya tengah terbaring lemah diatas kasur dikamarnya. Mengingat cerita itu, ia sedikit menarik sudut bibirnya. Jika memang cerita yang ibu nya dahulu ceritakan adalah tentang Saireen, maka sudah dipastikan bahwa Saireen adalah anak dari sahabat sang ibunda.
Yang artinya, kemungkinan Saireen akan menjadi kakak iparnya lebih besar. Ah, apasih yang sedang ia pikirkan? Kaleya segera menggelengkan kepala nya ke kanan dan ke kiri, sedikit memukul kepalanya agar pemikirannya itu hilang. Jika Saireen akan tahu, atau setidaknya kakak nya yang kaku itu tahu, sudah dipastikan Kaleya akan tinggal nama.
Membayangkan ke murkaan kakaknya saja membuat dirinya ketar ketir.
"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Romazha, berjalan mendekat kearah Kaleya sehingga keduanya terlihat berjalan beriringan.
"Aku?"
"Bukan," Ketus Romazha, sedikit jengah atas keterlambatan sang bungsu kerajaan dalam menangkap sebuah pembicaraan.
"Oh, oke."
Baru saja Kaleya akan menghirup udara, suara dengan aksen dingin tak tersentuh dari arah samping membuat niat nya urung selama beberapa detik.
"Oke bagaimana, huh? Aku saja bertanya kepadamu, bocah!" Kaleya sedikit membenarkan jaket kulit setengah lengah miliknya, lalu menggeser sedikit baju bawahnya agar terlihat lebih rapih.
Melihat respon yang ditunjukkan Kaleya sangat tidak bersahabat, membuat Romazha berfikir bahwa Kaleya sedang menyombongkan lekuk tubuhnya yang sangat terlihat ketika memakai jaket ketat itu. Ya walaupun tidak seindah lekuk tubuh Saireen dan Jeruby.
"Hey aku tahu kalau---"
"Aku bukan bocah, dasar keparat!" Ujar Kaleya, memukul lengan Romazha hingga laki laki itu hampir terjatuh.
"Apa---"
"Ekhem!" Matthew sengaja berdehem dengan kencang, menatap kedua muridnya dengan tangan bersedekap dada.
"Jadi?"
"M-maaf, kapten." Ucap Kaleya, sedikit memberikan senyumannya sebagai pengganti respon menunduk.
"Hm,"
Saireen menatap tidak suka kearah Romazha yang berjalan dengan santai melewati orang yang jauh lebih tua daripada mereka. "Gunakan sopan santunmu, bocah." Ucap Saireen. Lalu menunduk sebagai ucapan permisi yang sangat malas ia ucapkan kearah Matthew dan Akari.
"Hah, merepotkan." Keluh Matthew, yang diangguki Akari dan Kaleya.
"Baiklah, ayo lanjutkan." Kaleya berseru senang, melompat dengan riang menyusul Saireen dan Romazha. Kemudian disusul oleh Matthew dan Akari dibelakang.
"Hoi, kalian jangan bermesraan didepan anak dibawah umur!" Teriak Saireen, menatap geli kearah kedua insan yang tadi terciduk sedang saling menatap.
"A-apa?" Akari bertanya dengan terbata, pipinya yang merona membuat kesan menggemaskan di mata Matthew.
"Orang tua selalu aneh ketika sedang bermesraan." Sahut Romazha.
Keempat orang yang berdiri dengan jarak diantara masing masing menatap horor kearah laki laki itu. "Aku tidak tua," Matthew menjitak dahi Romazha sampai ringisan kecil keluar begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
saireen : to eternal peace
Fantasybagi Saireen, kedamaian yang abadi adalah segalanya. tidak ada yang lebih penting daripada membuat seluruh kejahatan dan peperangan musnah dari alam semesta. juga, tidak ada yang lebih penting lagi, selain membuat takdir bertekuk lutut dalam kendali...