Chapter 21

985 178 34
                                    

~Read slowly end enjoy~




Jimin sengaja menghindari Saehan, karena itu selama persidangan ia tak berada di samping Yuri. Beralibi sepintar mungkin pada wanita cantik itu, lalu menyibukkan diri di antara gedung-gedung kota. Memotret beberapa sudut, yang disoroti oleh kiasan senja sore ini. Bersama kaus hitam yang bersablon tulisan 'Good boy' lalu dibalut oleh kemeja yang motifnya kotak-kotak yang sengaja kancingnya tak disatukan. Jimin terlihat seperti mahasiswa keren yang membawa kamera ke mana-mana.

Dirinya ini sedang dilanda kebimbangan. Antara harus memilih Saehan atau memilih Yuri. Jika pada Saehan ia manaruh cinta, tapi pada Yuri ia menaruh sayang. Tentunya ia tak mau wanita yang ia sayang Shin Yuri harus hidup melajang dengan keadaan hamil begitu, meskipun hal itu tidak tabu di negara ini. Tapi Jimin yakin, hidup melajang dengan anak tanpa ayah pasti sulit. Ia tak mau Yuri kesulitan, anak itu butuh ayah dan Jimin tak masalah jika dirinya harus jadi ayah untuk wanita yang ia sayangi.

Sementara Saehan, wanita itu bisa bergerak bebas. Saehan tidak seperti Yuri yang tengah dilanda kelimpungan. Meskipun Jimin mencintainya, tapi posisi Saehan itu tidak lebih sulit dari posisi Yuri sekarang. Maka dari itu, ia memilih meninggalkan Saehan demi Yuri, sahabatnya.

Padahal Saehan baru diperawani, tapi ditinggal begitu saja. Jimin tahu resikonya meninggalkan Saehan, pasti yang ia dapat adalah kebencian. Itu sebabnya Jimin tak menampakkan diri di depan Saehan sebisa mungkin.

Langit sudah menggelap saat Jimin memasuki mobilnya untuk berpacu. Sidang pasti sudah usai, sekarang, ia bisa menemui Yuri, seraya berkendara dengan harapan 'semoga saja Saehan tidak sedang bersama Yuri sekarang' sebelum sampai ke tempat hunian Yuri, Jimin menyempatkan singgah di sebuah kedai makan, Yuri pasti belum makan malam. Membelikan makan malam untuk Yuri adalah tugasnya akhir-akhir ini. Biasanya Yuri minta tiga porsi karena semakin besar perutnya, makannya pun semakin banyak.

Jimin menarik tuas rem saat mobilnya sampai di pekarangan hunian Yuri. Mengambil kresek makanan di jok belakang lalu melangkah tanpa beban. Jimin memang tidak terbiasa mengetuk pintu saat masuk ke rumah ini, jadi dengan enteng ia buka saja pintu itu. Tak disangka-sangka wajah Saehanlah yang ia temui. Wanita itu sempat terkejut, berusaha menghindari tatapannya.

"Tikus pengecut baru saja menampakkan diri hari ini...." Saehan bergumam, tapi gumaman itu seperti sengaja dibesarkan intonasinya agar mirip seperti sindirian.

"Yuri sedang apa?" Jimin melenggang pergi, melewati Saehan begitu saja.

"Kau ke mana hari ini? Menghindariku begitu?" Saehan membalik tubuh, melipat tangan dan menyandar pada daun pintu yang sudah tertutup lagi.

"Untuk apa aku menghindarimu?" Jimin juga membalik tubuh. Tapi kini alisnya ditautkan, pertanda ia tak suka dengan intonasi Saehan yang sinis.

Saehan menatap dada bidang Jimin yang kausnya bersablon tulisan 'Good boy' pria itu berdiri gagah memasang wajah tak bersalah. Di mana Jimin menaruh rasa bersalahnya? Setiap hari Saehan merasa ditersayat-sayat. Tapi, lihat si Jimin ini, raut wajahnya tampak seperti orang bahagia yang dungu.

Saehan mau mendengar Jimin meminta maaf sampai seribu kali. Harus seribu!

"Aku ini apa bagimu Jim?" Saehan melirih, matanya menunduk sampai Jimin bisa melihat bulu mata lentik Saehan yang indah.

"Kau anggap aku ini mainan begitu?" lanjutnya lagi.

"Saehan..."

Red Lipstick [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang