Chapter 25

1.1K 160 33
                                    

Ia tak habis pikir bagaimana cara kerja otak Shin Yuri. Harusnya Yuri bilang kalau dirinya sedang tak baik-baik saja, bukan malah bungkam sampai menahan kesakitan, bahkan berniat melakukan perjalanan jauh. Jimin tak mengerti Yuri, dan ia merasa gagal menjadi seorang sahabat jika begini.

Yuri dilarikan ke rumah sakit dan tentu keberangkatan batal. Sudah dua jam sejak ia dan Saehan sampai di sini, Jimin harap Yuri tak kenapa-kenapa. Semoga saja hanya pendarahan biasa. Jimin pernah dengar, katanya itu biasa dialami ibu hamil ketika sedang stress berat.

Semoga saja begitu.

Jimin remas surainya lagi untuk kesekian kali, ia hilir mudik di lorong-lorong yang dipenuhi kursi tunggu. Sesekali ia sempatkan pula memebenturkan kening ke dinding, sementara di sebelah sana Saehan hanya menatapinya dengan kegelisahan yang sama.

Sempat Jimin bilang pada istrinya untuk pulang saja lalu tunggu kabar dari rumah. Tapi, wanita itu tak mengindahkannya. Kekeras kepalaan Seahan memang tak jauh beda dengan Yuri, atau entahlah Jimin tak mengerti wanita, kenapa kepalanya bisa sekeras batu begitu. Padahal ia khawatir Saehan kelelahan lalu terjadi apa-apa lagi.

Ia gagal peka dengan kesehatan Yuri, dan ia tak mau gagal peka pula pada kesehatan Saehan. Yuri memang penting, tapi Saehan juga penting.

"Pulanglah." Jimin putuskan untuk memaksa Saehan pulang lagi, Jimin raih pergelangan tangan istrinya. Tapi, Saehan enggan beranjak bahkan malah menepis tangannya.

"Aku bilang tak mau, jangan mendebatku," final Saehan kekeh seperti sebelumnya.

Jimin mendecaki Saehan kesal, lalu Saehan juga balas membuang tatapannya seakan ikut kesal juga karena Jimin terus-terusan menyuruhnya pulang.

"Terserah kau saja!" Jimin menyerah sejenak.

Lalu Jimin alihkan pandangannya ke arah pintu di mana Yuri sedang berada di dalamnya. Kalau dipikir-pikir, ini salahnya juga. Akhir-akhir ini ia memang sangat sibuk bersama Saehan, sampai ia tak menyempatkan waktu memperhatikan Yuri. Padahal Jimin paham betul, Yuri sedang dalam kondisi yang sewaktu-waktu bisa genting tiba-tiba. Harusnya, Yuri tidak ditinggal sendirian.

Wanita itu pasti merasa tak enak untuk mimintai pertolongannya. Yuri sudah biasa merepotkannya, Yuri sudah biasa mengadu padanya. Ia mengerti sekarang Yuri dalam masa keterpurukan, harusnya Jimin selalu berada di sampingnya saja. Jika ia lakukan hal itu dari awal, Yuri tak akan kesakitan seperti itu.

Entah level kesakitannya separah apa di dalam sana, yang jelas Jimin tak bisa melihat sahabatnya kesakitan begitu. Taehyung sialan, Jimin pastikan tinjunya ini mendarat di rahang Taehyung. Tapi, ia  telampau muak menemui Taehyung saat ini, apalagi mengabari kondisi Yuri. Pria itu pasti senang melihat Yuri kesakitan dan anak mereka hampir mati.

Saat Jimin sedang berkecamuk, memaki Taehyung dalam kepala. Tahu-tahu saja, Saehan beranjak dan mengehentak lantai. Melenggang pergi, tapi sebelum langkahnya jauh Jimin tarik lengan istrinya. "Mau ke mana kau?" katanya masih diselipi rasa kesal untuk Saehan.

Saehan lirik Jimin, pria itu masih memasang air muka kesal untuknya. "Kau pria tolol, sedari tadi hanya kelimpungan tak tahu arah tanpa bertindak."

Kalimat Saehan cukup sarkas di telinga Jimin. Pria itu menautkan alis karena kekesalannya semakin menjadi pada Saehan. "Tolol? Kau mengataiku begitu? Padahal dirimu sendiri lebih tolol karena tak menurutiku untuk pulang. Ingat kandungamu, dan jangan terus-terusan mendebatku di sini!" Jimin hempas tangan Saehan kuat-kuat.

"Kau suruh aku pulang, kau pikir aku selemah itu Yuhn Jimin! Persetan dengan kau, aku ingin mencari Taehyung dan menghajarnya dengan sepatuku!" Saehan carut-marut saraya menatapi Jimin sinis.

Red Lipstick [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang