prolog

479 78 508
                                    

Drrrt...drrrt

Drrrt...drrrt

Suara getaran dari handphone nya mampu menyadarkan seorang gadis yang dari tadi termenung menatap jendela kamarnya tersadar.

"Halo."

"Dir, kita ketemu di tempat biasa."

Tut

Dira segera beranjak dari kasur nya, berjalan menuju keluar rumah nya. Dia berlari bak kesetanan dari rumah nya, agar segera sampai ke sana. Gadis itu tidak peduli orang-orang menatapnya aneh, yang terpenting sekarang menurut nya adalah bertemu orang yang menelepon nya tadi sekarang juga.

"DIKA!" teriak Dira. Seorang laki-laki yang merasa namanya dipanggil pun membalikkan badannya dan berjalan mendekati Dira.

Plakk

Bukan sapaan ramah, bukan senyuman manis dan bukan pula lah pelukan yang hangat. Tapi sebuah tamparan lah yang ia dapat dikala ia bertemu Dira.

"Lo udah gilak ya?!"

"Maksudnya, Dir?" Tanya Dika keheranan.

"Eh, taik gak usah sok polos deh, gue udah tau semua kebusukan lo."

Dika yang menyadari maksud dari kemarahan Dira, segera berlutut dihadapan gadis itu.

"Gue minta maaf, Dir. Gue bisa jelasin semuanya."

"Jelasin apalagi lo, semuanya udah jelas!"

Dika berdiri dari tempat nya, pria itu hendak menggenggam tangan Dira, tapi apalah daya, Dira tidak sudi tangannya disentuh oleh nya.

"Dir, tenang dulu ya. Aku jelasin semuanya, aku ngelakuin ini karena terpaksa, karena aku sayang sama kamu, Dir."

Plakk

Satu tamparan lagi mendarat di pipi Dika. Membuat pipinya yang semula merah kini bertambah merah.

"Gilak ya lo, ngelakuin ini semua karena perasaan." Perlahan tapi pasti, setetes demi setetes air mata berhasil jatuh membasahi pipi gadis itu.

"Lo udah buat Abim hampir di keluarin dari sekolah. Dan sekarang lo juga udah buat dia kritis di rumah sakit...." Dira histeris. Tapi Dika hanya diam menunduk melihat Dira yang hancur sekarang.

"Gue bener-bener kecewa sama lo, Dik." Dira terduduk di kursi yang ada dibelakang nya.

"Iya, gue tau makanya sekarang gue mau minta maaf sama lo."

Dira beranjak dari duduknya. Menatap Dika tajam, seolah-olah dia menatap seorang musuh bukan teman.

"Udah terlambat BODOH!"

"Semuanya udah hancur gara-gara lo. Semua kepercayaan gue udah lenyap gara-gara lo, Dik,"

"Semua opini gue tentang seorang sahabat udah hancur gara-gara lo,"

"LO, ITU ADALAH PENGHANCUR NAMA BAIK SEORANG SAHABAT."

Dira benar-benar menangis histeris sekarang. Dia memukul dada bidang Dika, menyalurkan semua kesedihan nya. Dika hanya diam pasrah melihat Dira terus memukulnya. Karena sejujurnya dia juga gak tau apa cara yang tepat untuk menenangkan sahabat masa kecilnya itu.

"Lo, jahat banget, Dik...hiks...lu udah ngancurin hubungan kita,hiks...," Isak Dira yang masih terus memukul Dika.

Dika membawa Dira kedalam pelukannya, tapi Dira malah mendorong tubuhnya menjauh dari dirinya.

"Lo, gak usah sok baik sama gue bangsat!"

Mata Dika membelalak. Apa yang baru saja ia dengar? Dira yang selama ini akan tenang dalam pelukannya, tapi sekarang gadis itu menolak nya, bahkan berkata kasar kepadanya.

Dira hendak pergi dari tempat itu. Menurut nya dia bisa gila kalau harus terus bertemu dengan orang gila ini. Tapi lagi-lagi Dika menahan tangan nya, tapi dengan cepat Dira menghempaskan tangan Dika dari pergelangan tangan nya.

"Mau apalagi sih, lo?!" Bentak Dira.

"Dir, jangan marah sama aku dong," ucap Dika memelas.

"Setelah semua yang udah lo lakuin, lo mau gue maafin lo? Setelah apa yang udah lo lakuin ke—"

"Dir, gue minta lo kesini, karena gue mau pergi ke luar kota sama orang tua gue, dan gak tau pulang nya kapan."

"Gak usah ngubah topik pembicaraan GOBLOK."

Dira sudah benar-benar dibuat emosi oleh orang yang ada dihadapannya ini. Bisa-bisanya dia membawa hal lain, padahal pembahasan yang pertama aja belum selesai.

"Dir, dengerin gue, dengan lo marah sama gue, itu gak bakal nyelesain masalah kita,"

"Dengan lo benci gue, itu gak bakal buat Abim langsung sembuh. Yang sekarang harus lo lakuin itu cuman ikhlasin semua aja dan nerima semua yang udah terjadi," jelas Dika panjang lebar.

Plakk

"Udah puas ngomong nya? Udah puas bela diri lo sendiri? Udah puas?!"

"Dir...."

"Lo, lama-lama emang gak tau diri ya," emosi Dira.

"Bukannya nyesel, malah ngelunjak," sambungnya.

Dira menatap tak habis pikir orang yang ada dihadapannya. Beneran gilak ni orang, batinnya.

"Lo, udah bener-bener berubah Dik, gue ternyata salah nilai lo selama ini. Salah Abim apa sih sama lo?" Tanya gadis itu dengan berderai air mata.

"Aku gak bisa ngeliat kalian bareng Dir, itu buat aku sakit hati," jawabnya.

"Tapi gak gini caranya."

"TERUS GIMANA?!" Bentak Dika tepat di wajah Dira.

Gadis itu mematung. Apa yang baru dia dengar? Dika membentak nya? Selama ini tidak ada yang berani membentak nya. Tapi, Dika sudah melakukan nya. Semuanya hening seketika, tidak ada lagi yang membuka suara. Dika dengan penyesalan nya karena telah membentak Dira, dan Dira masih dengan keterkejutan nya.

Drrrt...drrrt

Drrrt...drrrt

Suara dering handphone Dira memecah suasana. Dira mengeluarkan handphone nya dari saku celananya. Tapi, belum sempat dia mengangkat telepon nya, handphone nya sudah lebih dulu diambil Dika.

Dika me-reject panggilan yang ternyata itu dari ibunya Abim. Mungkin ibunya ingin memberitahu Dira tentang kondisi anak nya, secara kan Dira pacar Abim sekarang.

Dika menekan tombol off di handphone nya Dira. "Sekarang udah ga ada yang bisa hubungi lo"

"Sialan, balikin hp gue," pinta Dira.

"Lo pilih Abim atau gue?"

"A...apa?" Dira terkejut. Pilihan macam apa ini.

"Lo pilih Abim atau gue? Kalo lo pilih gue, berarti lo harus jauhin Abim, begitupun sebaliknya," ujarnya santai.

Dira masih diam, berusaha untuk mencerna ini semua. Bagaimana mungkin Dika-Sahabat masa kecilnya, memberi pilihan berat seperti itu. Menerima satu dan melepaskan yang lain? Dira merasa dia diberi kabar kematian seseorang bukannya sebuah pilihan.

"Buru Dir, lo pilih gue atau Abim?" Tanya Dika lagi dengan raut wajah tidak berdosa.

"Ya udah kalo itu yang lo mau, HUBUNGAN KITA BERAKHIR DISINI!" Sulit untuk mengatakan hal ini, tapi Dira sudah mengambil keputusan. Dira lebih memilih Abim dari pada Dika.

Dira mendorong tubuh Dika hingga laki-laki itu terjatuh. Dira mengambil handphone nya yang ada ditangan Dika, lalu pergi dari tempat itu.

"Dir..., Tunggu!" Dika meneriaki namanya, tapi Dira tidak peduli. Dia pergi naik taksi yang kebetulan lewat di sana.

Dan sejak hari itu mereka tidak pernah saling berhubungan lagi. Dika benar-benar sudah tak tinggal lagi di Jakarta, dan Dira mengganti nomor ponsel nya supaya Dika tak pernah lagi menghubungi nya. Dan kisah mereka berdua berakhir di malam itu. Mungkin.

***

HAI SEMUA, INI CERITA PERTAMA SAYA. SAYA MASIH PEMULA JADI MAAF KALAU MASIH BANYAK YANG KURANG.

TERIMA KASIH.

ADIRA (regret)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang