19: kasian Aldiro

53 33 111
                                    

Kepercayaan adalah hal terpenting begi beberapa orang. Dan jika kepercayaan itu dihancurkan maka dia juga bisa tidak akan pernah percaya pada siapapun lagi.

Dan itulah Dira. Kepercayaan yang sangat ia junjung tinggi telah dihancurkan oleh seseorang yang fotonya saat ini sedang ia pandangi.

Mata Dira memerah melihat foto itu. Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju toilet rumah sakit. Dia membilas wajah nya dengan air. Dira menatap lirih pantulan dirinya dari cermin.

Setetes air mata jatuh begitu saja tanpa Dira ketahui. Tangan gadis itu memegangi dadanya tempat dimana jantungnya berada. Dira memejamkan matanya merasakan setiap detakan jantung yang sudah mulai melemah itu.

Gadis itu mundur beberapa langkah. Menghentikan aktivitasnya sejenak. Dia bahkan ketakutan ketika mendengar detak jantungnya sendiri.

Tubuh Dira melemas, gadis itu terduduk di lantai toilet. "Tuan, seperti yang saya katakan tidak ada lagi cara selain kita mendapat donor jantung untuk Dira. Hanya itu cara supaya Dira bisa tetap hidup."

Tangan gadis itu bergetar. Dadanya terasa sesak mengingat kata-kata yang dikatakan oleh dokter tadi. Dira kembali memandangi foto itu. Melihatnya sekilas lalu memasukkan foto itu kedalam tas kecilnya.

Dira kembali melihat dirinya di cermin. Wajah cantik yang ia punya sekarang sudah terlihat kacau karena air mata yang membasahi pipinya. Dira mulai  merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan mengatur nafasnya agar gadis itu merasa lebih baik.

Dira perlahan keluar dari toilet, berjalan menghampiri kedua orangtuanya. Langkah Dira terhenti saat dia melihat mamanya menangis di pelukan sang papa.

"Dimana lagi kita bisa dapat donor jantung buat Dira, Mas...," lirih Tinna di pelukan sang suami.

Padil terus mengelus punggung istrinya sekuat tenaga ia berusaha untuk menenangkan Tinna. "Kamu jangan putus asa, Dira pasti sembuh. Dia perempuan yang kuat, Tin."

"Aku gagal, aku udah gagal ngerawat Dira. Aku gagal, Mas," parau Tinna.

Dira memejamkan matanya sejenak, mengatur nafas dan memberanikan diri untuk mendekati orang tuanya.

"Ma...," panggil Dira.

Tinna menoleh. Tanpa aba-aba dia memeluk Dira erat. Sangat erat. Dengan tangan yang bergetar Tinna terus berusaha mengelus rambut Dira.

"Kamu pasti sembuh sayang, percaya sama Mama," tutur Tinna lembut yang di pendengaran Dira sudah terdengar sangat putus asa. "Kamu bakal sehat sayang. Kamu pasti sehat."

Dira perlahan membalas pelukan sang mama. Persetan dari ini di tempat umum atau bukan, Dira ingin menangis. "Kamu gak bakal ninggalin mama, kamu anak yang kuat, Dir."

Dira semakin mengencangkan pelukannya. Rasanya dadanya terasa sesak melihat Mamanya seperti ini. Oksigen yang ia hirup seakan menipis, baru kali ini ia melihat sang mama sangat hancur. Dan itu semua terjadi karena dirinya. Karena kondisi Dira yang lemah dan tak berguna.

"Ma...," panggil Dira. "Aku nggak bakal mati, Ma. Kalau Mama mau, Dira bakal tetap hidup, Dira janji," lirih Dira. Tinna semakin histeris. Sekarang orang tua ini merasa hancur dan bersalah sendiri mendengar perkataan anak satu-satunya. Ibu mana yang tak hancur melihat keadaan anak mereka seperti ini.

Berbeda dengan Tinna, Padil justru berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangis. Kalau dia lemah kali ini, siapa yang akan memenangkan istrinya dan siapa juga yang bisa memberi semangat untuk putrinya. Padil adalah kepala keluarga, dia adalah pilar rumahnya. Dia bertanggung jawab atas keselamatan dan kebahagiaan keluarga kecilnya.

Padil perlahan mendekat, mengelus rambut Dira. Dira melepaskan pelukannya menoleh ke sang Papa dan berganti memeluk Papanya. "Nggak papa sayang, kalau kamu mau nangis, nangis aja. Papa nggak bakal marah," ujar Padil.

ADIRA (regret)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang