29: pulang?

80 18 369
                                    


Sebuah kamar, yang berada di sebuah rumah besar, dengan seorang lelaki yang di tangannya bertengger sebuah cutter dan di hadapannya ada sebuah tali gantung yang sudah berbentuk bulat, sangat pas untuk masuk ke kepalanya.

Lelaki dengan pakaian merah dan celana pendek hitam, naik ke sebuah kursi kecil, bersiap untuk mengakhiri hidupnya.

Drrtt... drrtt...

Drrtt... drrtt...

Handphone Dika berdering, suara yang keluar itu, berhasil mengalihkan perhatian Dika sejenak. Diliriknya nama yang tertulis di layar handphone itu. Siska. Siska lah yang tengah menelepon Dika saat ini. Dika turun dari kursi kecilnya, menjawab panggilan masuk itu, ia berfikir, bahwa dia harus pamit dulu sama Tantenya sebelum pergi.

"Halo, Tan."

"Dik...." Suara Siska terdengar sangat bergetar, dengan suara isakan yang mendominasi pendengaran Dika.

Dika mengerutkan keningnya, "Tante, kenapa?" tanya Dika mulai khawatir karena suara isakan itu kian terdengar jelas.

"Dik, mama kamu...." Ucapan Siska terhenti, seakan belum siap untuk memberi tahu yang sebenarnya.

"Mama, kenapa Tante? Tante jangan buat Dika cemas di sini."

"Mama, kamu udah nggak ada, Dik." Suara pelan dari Ari, tapi terdengar jelas oleh Dika, membuat dunia Dika runtuh.

Handphone yang semulanya berada di tangan, kini jatuh begitu saja ke lantai, dengan layar yang masih menyala, dan panggilan yang masih tersambung dengan Siska.

"Saat perjalanan ke rumah, mobil yang di tumpangi Mama kamu, kecelakaan, Dik. Sampai di rumah sakit, Mama kamu udah nggak bisa ketolong." Ari melanjutkan perkataannya walaupun suara isakan Siska sangat mendominasi.

Dika masih diam, menatap datar ke depan, dengan air mata yang sudah turun tanpa henti sejak ia mendengar kabar ini.

"Sekarang Tante jemput kamu, ya, Dik." Dika tak menjawab, "Dika," panggil Siska.

"MAMA!" Dika berteriak, berlari keluar dari kamarnya bahkan keluar dari rumah Siska. Siska yang kaget karena Dika tiba-tiba berteriak, langsung mematikan telfonnya, dan menyuruh Ari langsung menancapkan gasnya.

"MAMA!" Dika berlarian di jalan raya, sembari menangis histeris seperti orang gila. Terus berteriak dan menangis membuat sebagian orang-orang menatap Dika heran, dan beranggapan bahwa Dika sudah kehilangan akalnya. Dika sudah tak menghiraukan orang-orang yang sedang membisikkan dirinya dengan hal-hal yang tak masuk akal, yang sekarang di pikirannya, bagaimana dia bisa bertemu dengan ibunya.

"Mas, Mas, berhenti!" Siska menepuk-nepuk, pundak Ari, menyuruh pria itu berhenti. Ari berhenti, melihat Siska yang menunjuk ke arah luar jendela mobil mereka. "Itu, Dika, Mas!" Tunjuk Siska membuat Ari langsung menengok ke arah yang dimaksud Siska.

"Aku turun dulu, mau nyamperin, Dika." Siska membuka sabuk pengamannya, membuka pintu mobil, dan berjalan keluar untuk menyusul Dika yang masih berlarian seperti orang gila.

"DIKA!" jerit Siska, Dika yang merasa seperti mendengar suara, melihat ke sebrang jalan dan dilihatnya lah sang Tante, yang tengah melambaikan tangan ke arahnya.

"Tante!" Tanpa melihat keadaan sekitar Dika langsung berlari begitu saja.

"Dika," panggil Ayu. Dika berhenti tepat di tengah-tengah jalan, mencari dari mana suara itu berasal. "Dika, Mama, kangen kamu, Nak." Dika melihat bahwa Ayu sekarang berada di hadapannya--—dengan pakaian serba putih, dan rambut yang terikat, Ayu merentangkan tangannya, seakan ingin memeluk Dika.

ADIRA (regret)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang