27: ketahuan

75 22 222
                                    

Seorang remaja laki-laki berseragam putih abu-abu layaknya anak SMA lengkap dengan simbol sekolah yang menempel di seragamnya. Simbol--SMA Persatuan Bangsa, menyelinap masuk ke dalam sebuah ruangan pasien rumah sakit, yang sepertinya sedang tertidur.

Mendengar sang pasien telah sadarkan diri, membuatnya terburu-buru datang ke rumah sakit. Mungkin, dia ingin menjenguk pasien lebih awal daripada teman-temannya yang lain. Terbukti, sekarang dia mengunjungi pasien tepat di jam 04.00 pagi.

Setelah mendapat izin dari suster, lelaki itu menyelinap bebas ke dalam ruangan yang hanya terdiri oleh sang pasien tanpa ada orang lain.

Lelaki itu mendekati sang pasien perlahan, "Irham!" bisik, lelaki itu, tepat di telinga Irham. Membuat Irham yang semula tertidur nyenyak kini terbangun akibat kaget.

Dengan keadaan setengah sadar, Irham melihat kesekeliling ruangan, mencari dari mana suara itu berasal. Hingga akhirnya, ia berhasil melihat siapa orang yang sudah mengacaukan tidurnya.

Dalam sekejap Irham berhasil berkeringat dingin, tangannya bergetar karena takut, jidatnya di penuhi keringat, karena melihat dengan jelas dan nyata, seorang Abim--teman sekelasnya ada di depannya sekarang.

"Gue, mau ngomong sama lo." Suara pelan dan sedikit serak yang keluar dari mulut Abim, membuat Irham benar-benar bergidik ngeri.

Irham menelan salivanya payah, "A...apa?" Irham yang ketakutan bertanya dengan gelagapan. Sepertinya, dia masih trauma dengan kejadian yang baru saja terjadi padanya, yang mengharuskan Irham berada di rumah sakit.

"Jangan pernah lo bilang sama pihak sekolah, kalau gue yang udah dorong lo," ujar Abim jelas.

Irham menatap Abim heran, membuat dahinya berkerut, "Maksudnya?" tanya Irham tak mengerti, lagian Abim jelasin pagi-pagi begini, Irham kan jadi nggak bisa mikir.

Abim berdecak pelan melihat kebodohan Irham. Selain lemah, Irham itu juga lemot. "Kalau pihak sekolah nanya sama lo, tentang kejadian kemarin, dan siapa yang udah dorong lo. Bilang aja, anak kelas sebelas IPA 1 yang namanya, Dika. Jangan pernah lo sebut nama gue," jelas Abim.

"Dika? Siapa tuh?" tanya Irham semakin bingung atas perkataan Abim.

"Udahlah lakuin aja apa yang gue suruh!" tekan Abim.

"Kalau gue bilang si Dika, gue fitnah dong," ujar Irham cemas. "Fitnah kan dosa," sambungnya.

Abim yang geram menoyor kepala Irham, yang sedang terbalut perban, membuat Irham memekik kesakitan. "Lakuin aja apa susahnya sih?!"

"Gue nggak bisa fitnah orang!" balas Irham kesal, sembari mengelus kepala yang terasa sakit.

Abim menghela napas dalam, berusaha mengontrol emosinya yang sekarang sudah memuncak.

"Lo nggak bisa... Okey, gue tau." Abim memberi jeda, "Tapi, lo yakin udah nggak sakit lagi?" Suara dari Abim yang pelan, tatapannya yang mengintimidasi membuat Irham benar-benar diam terpaku seribu bahasa.

"Jangankan, buat lo berakhir di rumah sakit. Gue bahkan bisa nganter lo ketanah," lanjut Abim, yang benar-benar membuat Irham ingin menghilang saja rasanya. "Mau gue anter ke peristirahatan terakhir lo?" Abim menyunggingkan bibirnya, "Nggak mau kan? Makanya nurut!" Abim menepuk pundak Irham yang masih terdiam, lalu keluar dari ruangan itu begitu saja.

*****

Di sini sekarang, Dika, serta Siska, dan juga Irham dan kedua orangtuanya, beserta para guru, berkumpul di ruang 'Pembinaan dan penyelesaian kasus Siswa'.

Setelah surat pemanggilan keluar, Siska segera datang ke sekolah menemani keponakannya sebagai wali dari Dika. Dan tak lupa juga orang tua dari Irham, yang siap datang untuk mencari keadilan untuk anak mereka.

ADIRA (regret)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang