17: lelah

78 37 168
                                    

Tubuh yang sudah lemah dan letih itu terus memaksa kakinya untuk melangkah. Dengan sisa tenaga yang ada ia berjalan dari sekolah hingga sampai ke rumahnya. Kaki yang bergetar kesakitan dan kedinginan itu masih terus saja berjalan.

"Assalamu'alaikum." Akhirnya kaki itu sampai ke tujuannya. Setelah sekian lama berjuang melangkah akhirnya kaki itu bisa di istirahatkan.

Dika membuka tasnya menaruh di atas  meja belajar. Lalu ia kembali melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah kurang lebih sepuluh menit, ia keluar dari kamar mandi, tak lupa ia mengambil wudhu dan menggelar sajadah. Bersiap untuk melaksanakan ibadah sholat Ashar.

Setelah empat rakaat itu selesai dan doa nya selesai laki-laki itu bangkit. Merebahkan dirinya di kasur memejamkan matanya perlahan. Setetes air mata jatuh. Sepanjang perjalanan ia hanya bisa menahan tapi kini, cairan bening itu keluar begitu saja.

Dika menghela nafas panjang. Ia begitu lelah. Hari ini ia begitu lelah, baik fisik maupun psikis nya. Hari ini semua rasa lelah itu datang begitu saja. Ingin rasanya ia menangis mengungkapkan semua rasa lelahnya, tapi masalahnya ia tidak tau apa yang menyebabkan dirinya sekarang begitu lelah.

Tok tok

"Dik, keluar makan dulu."

Dika bangkit kembali melangkahkan kakinya menuju meja makan. Suara Siska menyadarkan Dika dari lamunan yang sempat merenggut kesadarannya.

Dika duduk menyantap makanan di piring dengan sangat tidak ada minat.  Entah kemana arah pikiran lelaki itu sekarang.

"Aku kangen papa om," gumam Dika tanpa sadar.

Ari menghentikan aktivitasnya  sejenak, melihat Dika yang seperti tak sadar akan perkataannya. Ari meremas kuat sendok makan yang sedang ia pegang, mendengar perkataan Dika membuat amarah Ari memuncak.

Brakk

Suara gebrakan meja itu berhasil membuat Dika lagi-lagi tersadar. Ari menatap Dika tajam, sedangkan Dika menatap Ari ketakutan.

"Ngapain sih kamu nginget orang itu lagi?!" Siska berdiri mengelus bahu suaminya berusaha menenangkan Ari.

"Orang yang nggak bertanggung jawab itu, seharusnya di lupain bukan di inget!" Dika menunduk berusaha menahan tangis melihat kemarahan Ari.

"Udah, mas." Siska mengelus bahu Ari masih berusaha menenangkan sang suami.

"Orang yang buat kamu hampir mati itu NGGAK USAH DI INGET!!"

Ari mendorong kursi di belakangnya hingga kursi itu jatuh. Siska menyusul Ari yang sudah pergi lebih dulu. Dan sekarang yang tersisa disini hanya Dika. Hanya Dika seorang, seorang remaja yang sedang menggigit bagian bawah bibirnya karena tidak ingin ada air mata yang jatuh lagi. Seorang remaja yang mengatur nafasnya dan menyemangati diri agar tidak menangis.

Dika bangkit perlahan dari duduknya. Kembali melangkahkan kakinya menuju ke kamar. Dika merebahkan diri di kasur. Menatap langit-langit kamarnya.

Sial. Cairan bening itu lagi-lagi keluar tanpa izin. Dika sudah berusaha sekuat tenaga supaya cairan itu tidak keluar lagi. Ia tidak suka air mata, ia benci air mata.

Dika bangun melihat pantulan dirinya dari cermin. Dia menghapus kasar air mata yang baru saja turun itu. "Lo nggak boleh nangis, Dik. Kalau lo nangis berarti lo lemah. Dan lo nggak boleh lemah," ucapnya menyemangati diri sendiri.

Dari dulu ia selalu menganggap bahwa air mata itu adalah sebuah tanda kelemahan. Ia senang kalau orang lain bisa menangis, berarti mereka bisa mengungkapkan rasa lelahnya. Namun, Dika tidak ingin, dan tidak pernah ingin ia menangis. Ia kuat, ia tidak lemah, ia kuat, kuat dan kuat. Walaupun masalah datang bertubi-tubi dia adalah orang yang kuat, ia kuat. Ia harus kuat untuk Dira, Dira butuh sosok yang selalu ada disampingnya, dan hanya ia yang bisa disamping Dira.

ADIRA (regret)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang