65. Kekejian Keluarga Illarion (b)

22.5K 3K 143
                                    

"Setelah mendengar cerita dari wanita itu, sudah terbukti bahwa raja berada di balik semua ini. Semua tepat seperti yang dikatakan oleh ayah dan ibu."

Archas langsung bersuara tepat setelah dia melewati pintu ruang bawah tanah dan menutupnya. Pria itu sedikit mengangkat kepalanya, menatap Larz yang berhenti melangkahkan kakinya menaiki anak tangga untuk menuju ke atas.

Ekspresi wajah Archas terlihat tenang, namun matanya menatap lekat pada Larz yang membelakanginya. "Sekarang, apa yang akan kau lakukan, Larz?"

Larz bergeming di tempatnya untuk beberapa saat. Dia lalu pelan-pelan mendongak, menatap langit-langit lorong yang terdapat seekor laba-laba yang tengah mendekati serangga kecil yang terperangkap oleh jaringnya.

Larz pelan-pelan membuka mulutnya.

"Saat tahu kalau aku berhasil lolos menjadi ksatria, aku merasa sangat senang dan bangga pada diriku sendiri. Kerja kerasku akhirnya telah terbayarkan." Suaranya terdengar tenang saat dia berbicara. "Aku berusaha sangat keras hingga bisa berada pada posisiku sekarang. Tidak peduli seberapa susah tantangan di depanku, aku terus mengayunkan pedang tanpa henti. Berlatih, membunuh, dan melindungi kerajaan."

Archas tetap diam di tempatnya. Dia sama sekali tidak menginterupsi dan membiarkan Larz terus berbicara.

"Tidak ada orang selain diriku yang lebih tahu penderitaan yang telah kualami untuk bisa sampai di titik ini." Kepala Larz perlahan mulai turun, lalu tertunduk dalam. Tangannya mengepal erat. "Aku telah berusaha dengan sangat keras untuk mendapatkan kekuatan dan kehormatan yang kumiliki sekarang."

"Kenapa?" Archas tersenyum kecil setelah menanyakan pertanyaan yang dia sendiri pun sepertinya tahu jawabannya.

Terdengar helaan napas dari Larz. Pria itu pelan-pelan berbalik menatap kakak tertuanya dengan tatapan datar.

"Bukankah kakak sendiri tahu jawabannya?"

Archas mengedik, "entahlah?"

"Kakak tahu alasannya. Alasan kenapa aku berusaha keras untuk menjadi Ksatria yang berkemampuan hebat dan sulit untuk dikalahkan, itu sama dengan alasan kenapa kakak belajar siang dan malam tanpa henti, berusaha sangat keras untuk menjadi penerus yang berbakat."

Archas tidak menjawab. Matanya sedikit melebar seolah ucapan adiknya itu melesat tepat sasaran.

"Bukankah dia juga menjadi alasan kakak menolak menikah sampai sekarang?" Larz menyeringai saat Archas semakin membatu. "Kakak khawatir dia akan merasa kesepian, atau merasa kalau posisinya telah digantikan oleh wanita asing yang dibawa masuk oleh kakak yang dia sayangi."

"Sepertinya sekarang aku mengerti kenapa Chryssa selalu menyerapahimu." Archas balas tersenyum. Namun matanya yang menyorot Larz terlihat kesal. "Kau cukup menyebalkan, ya, adikku."

Seringaian Larz semakin bertambah setelah mendengar ucapan Archas. "Kau tidak perlu menutupinya di depanku, kakak. Karena kita berdua memiliki alasan yang sama."

"Yah, aku tidak akan mengelak." Archas menghembuskan napas pelan. Ekspresi wajahnya kembali terlihat santai. Dia tersenyum dan menatap Larz dengan mata yang berkilat. "Jadi, kau akan bagaimana sekarang?"

"Bukankah itu sudah jelas? Aku tidak akan pernah memaafkan semua yang telah menyakiti adikku."

"Kau yakin ingin bergabung ke sisi ini?" Senyum Archas semakin melebar. "Bukankah dulu kau menolak dengan sangat keras karena posisimu sebagai Jenderal dan juga sumpahmu?"

"Aku memang menolak karena tidak bisa menerimanya. Chryssa yang telah membuatku berusaha keras untuk meraih posisi ini, tapi dia tiba-tiba merencanakan sesuatu yang membuat kita menjadi lawan. Aku juga tidak bisa mengingkari sumpahku begitu saja."

"Tapi sekarang situasinya sudah berubah. Raja telah melakukan kesalahan dengan melakukan itu pada Chryssa." Ekspresi Larz perlahan mulai mengeras setelah dia mengucapkan itu. Urat-urat di wajahnya menonjol. Tangannya mengepal semakin erat dan matanya menyorot bengis. Dia menggeram saat mengatakan, "aku akan menganggap dia telah menusuk jantungku dan menghancurkan sumpah yang mengikatku. Mulai sekarang... pedangku akan mengarah padanya."

***

Entah sudah berapa kali hembusan napas kasar terus lolos dari bibir pria paruh baya yang ekspresi wajahnya menunjukkan rasa depresi yang sangat kentara.

Penampilannya tidak terlihat baik. Dia duduk di dalam keretanya yang tengah berjalan dengan pundak terkulai lemas dan kepala yang tertunduk dalam. Matanya menyorot dengan tatapan tajam yang tidak biasa.

"Bagaimana bisa raja melakukan ini padaku?!"

Count Bennet lagi-lagi mengerang frustrasi. Dia hampir gila karena putri satu-satunya telah ditangkap dan dibawa pergi dengan alasan yang sangat konyol.

Dia telah mencoba menyusul pergi ke kediaman Duke Phaelathon, tapi dia diusir bahkan sebelum melewati gerbang. Mereka benar-benar tidak membiarkan dia lewat meski hanya beberapa inci saja.

Lalu yang paling membuatnya geram, adalah perlakuan raja padanya. Padahal dia telah mencoba menemui raja, mengajukan permohonan berkali-kali tapi raja sama sekali tidak mau bertemu dengannya.

Raja hanya mengirim utusan untuk berkali-kali menolak permohonan kunjungannya dengan alasan yang kentara sekali dibuat-buat. Bahkan meski Count bersikeras menunggu di depan istana sampai tengah malam sekali pun, raja seolah tidak peduli dan menutup mata. Tidak menemuinya meski hanya sebentar saja.

Bukankah... ini artinya dia telah dibuang?

"Sial!"

Count Bennet lagi-lagi merengut. Pikirannya sangat kalut sekarang. Karena raja terlihat seolah membuangnya, semua orang pun menolak permintaan bantuannya. Satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya, Marquess Lysander, sekarang sedang berada di wilayah orang tuanya. Count Bennet telah mengirim surat, tapi sampai sekarang belum ada balasan yang datang.

Ini sudah hampir pagi, tapi dia hampir tidak bisa melihat harapan untuk menyelamatkan putrinya dan juga reputasi keluarganya.

Count Bennet termenung cukup lama, tenggelam dalam pikirannya sendiri sebelum dia mendengar suara kusirnya yang memanggilnya dengan suara yang bergetar.

"T-Tuan!"

Count Bennet menyahut geram, "tidak bisakah kau menutup mulutmu saja dan mengerjakan pekerjaanmu dengan baik?!"

"I-itu... Tuan..."

"Apa lagi?!"

"Sepertinya... ada kebakaran di kediaman!"

Seperti mendapat hantaman di dadanya, jantung Count Bennet seolah berhenti setelah mendengar ucapan kusirnya.

"Apa yang kau bicarakan--"

Ucapannya terhenti seketika saat dia melihat ke luar jendela. Badannya gemetar hebat dengan wajah yang terlihat pasi. Mata pria itu terbuka sangat lebar.

Tepat beberapa ratus meter di depan sana, tepatnya di tempat yang sedang dituju keretanya ini. Di tempat itu, berlatarkan fajar yang mulai menyingsing... kediaman yang dia bangun susah payah telah dimakan oleh kobaran api.

***

Lady Antagonist [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang