Can We? 15

136 22 5
                                    

"Sen gue mau ngomong sama lo!" ujar Jovan seusai menemui dokter.

Mereka pun duduk kembali di luar ruangan.

"Kenapa?"

"Tadi dokter bilang, Jeo perlu konsultasi ke Psikolog."

"Psikolog?" ulang Sena kaget.

"Kalau gitu kenapa gak dari dulu?"

Jovan menyandarkan dirinya pada tembok seraya menghembuskan napas berat. "Jeo mana mau. Meskipun pahit, Jeo gak akan pernah bisa ngelepas masa lalu itu."

Lantas Jovan menatap Sena, "mungkin lo bisa ngebujuk Jeo?"

Sena tidak yakin, mengingat betapa keras kepalanya seorang Jeo. Namun ia pikir, selagi hal ini demi kebaikan gadis itu, Sena akan berusaha. "Gue usahain!"

Jovan pun mengangguk percaya.

Hingga satu jam lamanya, akhirnya Jeo pun sadar.

Seperti yang pernah Sena lihat saat pertama kali mendapati Jeo pingsan karena suara letusan, gadis itu terbangun dengan cucuran air mata.

"Je, lo gak apa-apa?" tanya Jovan kemudian.

Masih berbaring, Jeo menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Jovan.

Gadis itu lantas memandang Sena, sementara Sena yang masih saja merasa bersalah tak berani untuk membalas tatapan Jeo.

"Tadi syutingnya gimana?" tanya Jeo dengan suara yang terdengar lemah.

Sena tak habis pikir, bagaimana mungkin Jeo masih menanyakan perihal syuting sementara dirinya kini tengah berbaring di ranjang rumah sakit.

"Je, bisa gak lo lebih khawatirin diri lo sendiri?" balas Sena kemudian.

Jeo mengangkat alisnya heran, "dih, biasa aja kali! Orang cuma nanya juga."

Jovan hanya memandangi kedua temannya itu. Di saat seperti ini, masih saja mereka bertengkar.

Pikirnya.

¬¬¬¬

Jeo pun sampai di rumahnya malam hari dengan diantar oleh Sena. Sementara Jovan tadi pulang dengan motornya.

"Lo boleh cuti untuk beberapa hari atau beberapa minggu," ujar Sena sebelum Jeo hendak membuka pintu mobil.

"Cuti? Buat apa?"

"Ya buat istirahat lah!"

"Lebai banget orang gue gak kenapa-nap—"

Tiba-tiba Sena mendekap tubuh Jeo, lalu mengelus rambut gadis itu lembut. "Stop bilang gue gak kenapa-napa, sementara lo sedang gak baik-baik aja."

Jeo terdiam dalam dekapan Sena, kata-kata yang Sena lontarkan cukup menohok. Meskipun ia tau bahwa ucapan Sena adalah sebuah fakta.

Selama ini Jeo selalu berpura-pura kuat, tangguh, dan berani. Padahal kenyataannya ia tak sekuat itu, bahkan kadang ia dihantui oleh rasa ketakutan.

"Jovan?" tanya Jeo menebak seseorang yang telah memberitahu masa lalunya pada Sena.

Ia tau, perilaku Sena tentu disebabkan karena mendengar cerita pahit dari masa lalunya itu. Dan tentu Jovan adalah tersangkanya.

Sena mengangguk, benar.

Jeo pun melepas rangkulan Sena seraya berujar, "gue gak selemah itu. Dan— gue gak suka belas kasihan."

Can We? [SELESAI✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang