Can We? 27

141 18 5
                                    

Jeo baru saja selesai menemui psikolog, dengan ditemani Tere, kini mereka akan pergi ke mall. Mereka akan sedikit bersenang-senang menikmati sisa hari-hari libur terakhir sebelum kembali masuk di semester ganjil.

Sebenarnya Tere sendiri kaget karena tiba-tiba pagi tadi Jeo meneleponnya untuk meminta ditemani ke psikolog. Entah mengapa Tere merasa senang, meski Jeo belum sepenuhnya terbuka, setidaknya Jeo sudah menganggap dirinya sebagai seorang teman.

Sepanjang perjalanan, Tere mengoceh tiada henti sembari tetap fokus mengemudi, sementara Jeo hanya mendengarkan sambil sesekali terbahak dan menanggapi.

Sesampainya di mall, Tere menggeret Jeo untuk pergi ke salah satu butik langganannya. Tere ingin mengubah penampilan Jeo agar terlihat lebih feminim. Hal ini dikarenakan malam nanti Jeo akan kembali manggung bersama Tunnel Band di acara festival.

Berkali-kali Tere memilih baju untuk Jeo coba. Yang jelas tentu saja baju-baju itu bukan style Jeo.

"Re lo yang bener aja dong ini gue udah coba yang keempat kalinya loh!" protes Jeo saat Tere kembali memberinya baju lain.

"Oke oke ini yang terakhir, please!!! Gue yakin kali ini pasti bakal cocok banget sama lo."

Jeo pun pasrah, lantas kembali mengganti baju yang Tere sarankan untuk terakhir kali.

Mata Tere pun berbinar kali ini. Jeo nampak begitu cantik dalam balutan gaun putih yang dipilihnya. Diacungkan ibu jari dengan wajah terkesima Tere membuat Jeo jadi salah tingkah.

Setelah membeli setelan tersebut, mereka pun pergi ke lantai food court. Perut mereka perlu diisi terlebih dulu.

Mereka pun duduk dengan nyaman sembari menikmati hidangan yang telah dipesan.

"Gue heran deh, kenapa Sena bisa-bisanya gak suka sama lo."

Hampir saja Tere tersedak mendengar ungkapan Jeo yang tiba-tiba itu. Maka buru-buru ia pun meminum sodanya.

"Je! Ngapain sih tiba-tiba ngomong gitu, bikin orang keselek aja!"

Jeo pun terbahak melihat wajah Tere yang memerah.

"Lo mau tau apa alasannya?"

"Apa?" balik tanya Jeo penasaran.

"Ya karena gue Tere! Gue bukan Jeo yang bisa buat Sena jatuh hati pada pandangan pertama. Bukan Jeo juga yang buat Sena jadi sebucin itu!"

Sial, kini justru wajah Jeo yang memerah. "Yeee apaan deh!"

"Jadi gimana? Kalian udah jadian belum?"

Pertanyaan Tere kali ini entah mengapa terdengar sulit untuk dijawab.

Jeo dan Sena sudah sama-sama tahu akan perasaan masing-masing, mereka saling menyayangi.

Tapi...

"Gak tau ah, biar waktu yang jawab!" pungkas Jeo pada akhirnya.

Entah mengapa Tere jadi ikut merasa sedih mendengar jawaban tersebut. Tere tahu pasti hubungan di antara Jeo dan Sena tidak bisa berjalan mulus karena suatu hal semenjak Jeo pingsan di rumah kakek Sena kala itu.

"Je, mulai sekarang kita temenan kan?" tanya Tere dengan wajah serius.

Jeo yang semula masih memegang sendok seketika diletakkannya kembali di atas piring, lantas menatap Tere heran. "Ya iya lah teman. Kenapa sih?"

Tere menggeleng, "Gue cuma— pengen punya sahabat yang bisa berbagi cerita satu sama lain, berbagi tawa dan kesedihan. Selama ini gue benar-benar gak punya seorang sahabat. Mungkin lo mikirnya selama ini gue gak kekurangan apapun. Banyak orang yang suka sama gue karena gue beauty vlogger, tapi— gak ada yang tau kalau selama ini gue gak punya orang terdekat."

Can We? [SELESAI✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang