Can We? 22

88 18 4
                                    

--

"Lo suka kan sama Jeo?" tanya Caka tiba-tiba.

Dan jelas saja pertanyaan itu ditujukan pada Sena. Namun anehnya Sena masih terlihat santai mendengar pertanyaan itu. Sementara Jeo yang berada di tengah-tengah mereka seakan sesak menahan napas.

"Iya! Gue suka sama Jeo! Dan gue harus milikin dia!" jawab Sena masih dengan santai namun ucapannya terdengar tegas dan tidak main-main.

Jeo terkejut, tubuhnya terasa lemas dan jantungnya derdegup cukup kencang.

"Oke, siapa takut?! Kalau gitu mulai sekarang, kita bersaing secara secara sehat, deal?" Caka mengangkat tangannya dan dengan segera dijabat oleh Sena sebagai tanda persetujuan. "Deal!"

Tentu saja Jeo membelalakkan kedua matanya lebar menyaksikan negosiasi antara kedua laki-laki itu. Maksudnya, bagaimana mungkin mereka membicarakan hal seperti itu di depan dirinya langsung?

"Dah gila ya lo berdua? Tau ah mending sekarang kalian pergi dari rumah gue!" usir Jeo lantas bergegas masuk ke dalam rumah dan menutup pintu dengan keras.

¬¬¬¬

Keesokan harinya Jeo mengajak Jovan untuk jogging di sebuah taman. Sebenarnya Jeo juga sekaligus ingin curhat mengenai masalah yang terjadi kemarin.

Lama-lama, Jovan sudah seperti konsultan bagi Jeo.

Setelah merasa lelah, mereka pun duduk di salah satu kursi taman sembari meneguk air mineral yang telah dibeli sebelumnya.

"Jadi gimana?" mulai Jovan yang sudah tau garis besarnya mengenai apa yang akan Jeo katakan.

"Ya gimana, gue sendiri juga bingung. Nih lo bayangin aja, masa mereka berdua ngomong kayak gitu dong di depan gue langsung. Gimana gue gak syok coba!"

"Ya bagus dong, berarti mereka tuh gentleman! Mereka emang serius sama lo! Cuma sekarang itu masalahnya ada di diri lo sendiri Je," tanggap Jovan yang menimbulkan raut tanya pada wajah Jeo.

"Lah kok gue?"

"Dasar gak peka!" ledek Jovan seraya mengacak gemas rambut gadis di sampingnya itu. "Ya lo jadinya sekarang suka sama siapa? Sena atau Caka?"

Jeo terdiam. Ia bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

"Gini ya Je, sebagai seseorang yang udah gue anggap sebagai adek gue sendiri, tentunya gue peduli sama lo. Gue mau lo mulai tegas sama perasaan lo sendiri dan biarin hati lo yang memilih tanpa ada unsur keterpaksaan suatu apapun."

Jeo makin tak paham, "Maksud lo?"

"Gue tau dulu lo sama Caka emang saling suka. Tapi gimana sama perasaan lo yang sekarang? Mungkin lo akan merasa bersalah sama Caka, tapi yang namanya perasaan, sekeras apapun lo bertahan kalau emang rasa itu udah gak ada ya terus buat apa? Apa yang mau lo pertahankan?"

Entah mengapa semua yang Jovan katakan begitu tepat sasaran. Padahal selama ini Jeo tidak pernah mendeskripsikan dengan jelas apa yang sebenarnya ia rasakan. Namun Jovan sudah hafal betul akan segala sikap yang Jeo tunjukan, jadi tanpa mengatakannya pun Jovan bisa menebak dengan mudah.

"Seperti yang udah pernah gue bilang, lo harus jujur sama diri lo sendiri. Dan kemarin mungkin gue bilang lo gak perlu buru-buru, tapi karena sekarang situasinya udah beda, lo harus segera mungkin pastiin hati lo itu. Yaa lo gak mau kan terus-terusan gantungin mereka berdua? Kasian tau!" pungkas Jovan mengakhiri wejangannya.

Sementara itu Jeo mengacak rambutnya sendiri frustrasi. "Tau ah pusing gue!"

Jovan terbahak, lantas kembali meminum air mineralnya.

Can We? [SELESAI✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang