Can We? 17

101 22 1
                                    

Sena hanya diam, sementara Jeo memandang laki-laki itu cemas.

Hari ini weekend, sehingga Jeo datang ke rumah Sena hanya untuk memastikan bosnya tidak marah padanya setelah kemarin laki-laki itu tiba-tiba pulang dan tak jadi melihatnya latihan.

"Lo masih gak mau ngomong nih?" ucap Jeo setelah mereka hanya berdiam diri dengan pikiran masing-masing di ruang tamu.

"Kalau misalnya lo gak suka, yaudah gue bisa keluar kok dari Tunnel Band!"

Sena nampak kaget, "siapa yang nyuruh lo keluar?"

"Lah gimana sih? Kan lo marah sama gue karena gue gabung sama band kakak lo!" Jeo jadi bingung sendiri dengan tingkah laku Sena.

"Ya gue emang gak suka sama Dion, tapi gue gak punya hak atas pilihan lo."

"Jadi maksud lo- gak masalah kalau gue tetap gabung sama Tunnel Band?" Jeo memastikan.

Walau berat, Sena pun tetap mengangguk. Ia tak mau egois, apalagi Jeo juga terlihat senang berada di sana.

"Eemm lo- gak mau cerita gitu sama gue?" bagaimanapun Jeo peduli pada Sena, jadi ketika melihat laki-laki itu memiliki hubungan buruk dengan kakaknya -Dion, Jeo rasa masalah itu perlu diselesaikan.

Sejenak Sena memandang Jeo, lantas berujar, "Lo tau kan kalau kedua orangtua gue sibuk banget? Dan hal itu udah terjadi sejak kita masih kecil. Kita tumbuh tanpa kasih sayang orangtua, meskipun mereka ada. Dan entah sejak kapan, kakak gue punya ambisi, dia pengen sukses dan terkenal tanpa bantuan orangtua."

Jeo menyimak dengan sungguh-sungguh. Lalu ia dapat melihat dirinya sendiri ada pada diri Sena, tumbuh tanpa kasih sayang orangtua. Namun Jeo pikir apa yang Sena rasakan lebih sakit darinya, ada namun seperti tidak ada.

"Terus, kenapa lo benci sama kak Dion?" Jeo masih meminta kejelasan.

"Mungkin kalau lo ada di posisi gue, lo juga akan benci sama dia. Karena di saat seharusnya kita saling menguatkan, dia malah lepas tangan. Dia pergi dengan membawa semua keegoisannya tanpa peduliin gue yang sebenarnya juga sama-sama sakit."

Perlahan Jeo mulai mengerti perasaan Sena. Alasan itu sudah mampu menimbulkan rasa kecewa sekaligus marah pada diri laki-laki yang selama ini Jeo kira hanyalah remaja labil yang berusaha beranjak dewasa itu.

"Belum lagi gue yang harus nanggung resiko atas perbuatan dia."

Mendengar pernyataan itu, Jeo mengangkat sebelah alisnya bingung.

Sena pun memandang Jeo penuh, bersiap mengungkapkan semua kegelisahan yang selama ini hanya ia pendam sendiri.

Ya, ini adalah kali pertama Sena berani bercerita tentang keluarganya pada orang lain, yang itu berarti Jeo adalah satu-satunya orang yang Sena percaya.

"Semenjak Dion kabur dari rumah, mama selalu khawatir sama dia. Mama selalu jadiin gue umpan supaya Dion bisa pulang lagi. Bahkan gue kuliah di sana ya karena keputusan mama gue, alibinya supaya gue bisa terus mantau dan perhatiin Dion. Di situ gue benar-benar capek sama semuanya, merasa bahwa gue udah gak ada artinya di mata orangtua gu-"

Sena tercekat, tiba-tiba saja Jeo menggenggam tangannya. Gadis itu terlihat menggeleng lantas berujar, "lo gak boleh ngomong kayak gitu, seenggaknya lo masih punya orangtua yang lengkap. Gue gak bermaksud untuk adu nasib, tapi gue cuma mau bilang kalau lo pasti bisa bertahan."

Bagaimanapun Jeo ikut merasa sakit mendengar cerita Sena.

Sementara itu entah sejak kapan jantung Sena berdebar cukup cepat. Lantas ia memandang tangan mungil Jeo yang masih menangkup tangannya.

Can We? [SELESAI✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang