Can We? 28

89 17 2
                                    

Memasuki semester 3, Jeo semakin giat belajar. Karena sudah tidak bekerja sebagai bodyguard Sena lagi, Jeo jadi memiliki waktu luang lebih. Sehingga selain fokus pada Tunnel Band, Jeo juga mulai aktif mengikuti beberapa organisasi seperti Mapala dan group padus.

Sementara itu Sena juga semakin rajin mengikuti perkuliahan meski sesekali harus izin karena syuting iklan hingga model video musik. Setelah beberapa kejadian yang dialaminya semenjak bertemu dengan Jeo membuat Sena belajar dan tumbuh semakin dewasa.

Hubungan di antara mereka pun semakin membaik, meski mereka sudah saling mengerti perasaan satu sama lain, mereka lebih nyaman menjalani hubungan tanpa status.

Hari menjelang malam, Jeo pun bergegas untuk pulang. Sebelumnya Jeo baru saja selesai rapat Mapala. Rencananya dalam waktu dekat ini anggota tengah mempersiapkan agenda mendaki lagi.

"Kira-kira nenek lo bakal setuju gak Je? Gimanapun ini kan bakal jadi pertama kalinya lo muncak," tanya Paul dalam perjalanan mereka menuju tempat parkir.

"Gimana ya, gue sendiri sebenarnya gak yakin sih bakal diizinin. Tapi gue bakal tetap ngomong pelan-pelan sih sama nenek. Soalnya niat gue gabung Mapala kan ya karena emang pengen naik gunung," jelas Jeo.

Ngomong-ngomong, Paul juga anggota Mapala kampus. Bahkan ia mengungkapkan bahwa ini akan menjadi momen terakhir ia naik gunung bersama anggota organisasi. Bagaimanapun saat ini ia sudah semester 7, sama seperti Dion yang mulai fokus dan bersiap untuk skripsi.

Jeo dan Paul pun sudah menaiki motor masing-masing hingga Paul bertanya, "Mau gue anterin gak?"

"Enggak usah, udah biasa kok pulang jam segini. Lagian masih sore juga."

Paul pun mengangguk mendengar jawaban Jeo.

¬¬¬¬

Minggu cerah membakar semangat Sena. Hari ini ia sudah membuat janji bertemu dengan Jeo. Yaa anggap saja kencan seperti pada umumnya, apalagi keduanya sama-sama sibuk dan sudah jarang bertemu.

Sena menyemprotkan parfum mahal di tubuhnya hingga Dion tiba-tiba mengetuk pintu kamar Sena dan masuk begitu saja.

"Lo mau kemana?" tanya kakaknya dengan wajah yang terlihat pucat.

"Weekend gini ya jelas kencan lah, emang lo jomlo!" hampir saja Sena meledek dengan tertawa puas sampai kemudian ia sadar bahwa Dion sedang terlihat tidak baik-baik saja. "Eh lo kenapa? Sakit? Pucet amat!"

"Gu—gue tadi ke gudang buat nyari buku-buku gue yang lama. Tapi gue gak sengaja malah nemu ini," Dion pun mengacungkan beberapa lembar kertas yang sudah kusut dan kumal.

Sena pun menarik kertas tersebut dan dibacanya dengan saksama.

Raut wajahnya yang semula cerah seketika berubah menjadi pucat melebihi wajah pucat Dion sebelumnya.

Sena pun ambruk di atas lantai dan kertas-kertas yang semula di pegangnya ikut berhamburan.

Bersamaan dengan itu ponsel Sena berdering dan layar yang menyala menampilkan nama "Jeo 💗" sedang memanggil.

Di sisi lain Jeo pun mematikan panggilan karena tidak ada jawaban. "Kayaknya Sena udah di jalan deh?"

Jeo pun lantas bersiap-siap memasukkan beberapa kue buatannya ke dalam paper bag.

Meskipun Jeo tidak terlalu pintar masak, namun ia pandai membuat kue ataupun roti. Dulu, ibunya memiliki toko pastry bakery. Hal itu membuatnya mulai mengenal dan belajar tentang dunia perbakingan.

Ponsel Jeo berdering, membuat senyumnya merekah seketika. Panggilan dari Sena tentu saja.

"Halo? Sen kamu udah berang—"

Can We? [SELESAI✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang