5.KISAH NARA

76 1 0
                                    

Hatinya kembali sesak dan sakit ketika Nara menatap wajah separuh baya itu yang terlelap lelah mengerutkan wajah setelah mereka berdebat hebat. Hati kecilnya kembali menimbulkan sebuah pertanyaan siapa dirinya. Apakah ia hanya seorang yang tidak penting di mata wanita itu? Pertanyaan itu tak pernah lepas dari pikirannya.

“Apa salahku?! Mengapa dia tak pernah tau betapa sakitnya aku. Tak adakah sedikit sayangnya untukku?” Nara terisak.
Nara berlalu pergi meninggalkan wanita setengah baya itu menuju kamar dan bersiap-siap pergi membawa ninja merah kesayangannya. Hatinya terlalu sakit jika berada dalam satu ruangan dengan orang yang telah mencabik hatinya dengan kejam. Tak ada cara yang membuatnya dapat lebih tenang selain berhuru-hara memuaskan rasa amarah dan kecewanya kepada wanita paruh baya itu. Naumi, kakaknya lah yang mengajarkannya untuk menghilangkan rasa sedihnya dengan membawa ninja segila-gilanya. Nara selalu ingat akan hal itu. Naumi dan Nara sama-sama hobi berninja. Bahkan, kakaknya Naumi merupakan pembalap ninja wanita terbaik di Indonesia. “Seandainya saja kakak disini. Sudah kupastikan bintang-bintang malam ini akan menyaksikan pertandingan ninja kita. Kakak, cepatlah enyah dari negara rangkaian-rangkaian sakura itu. Aku merindukan kakak.” Batin Nara. Langkahnya terhenti sejenak di ruang tamu. Wanita itu memandangnya benci. Mata Nara berkaca-kaca dan berlalu pergi.

Teriris bagaikan sembilu. Miris kemudian pilu. Hatinya ngilu. Pikirannya kelu. Laju gas ninja identik merah itu semakin kencang. Sepertinya Nara benar-benar puas melampiaskan amarahnya.

Kumandang azan menyeru umat manusia. Mentari telah berada di titik lelahnya, membuat Nara memainkan ninjanya menuju rumah yang sangat Agung, rumah yang tak pernah tutup bagi orang-orang yang berpikir akan kehadiran-Nya. Dalam rumah terbaik itu, ia mencurahkan segala kelemahannya dalam jiwa wanita ninja yang selalu dilihat orang seperti itu. Hanya di rumah itu, ia merasa benar-benar lemah.
Di tempat yang sama, seorang wanita sedang melipat jubah putihnya. Wanita itu berperawakan sama dengan Nara, masih muda. Kira-kira dia dan Nara seumuran. Tentu saja. Karena tak lain dan tak bukan ternyata wanita itu adalah Jihan, sahabat Nara yang juga kebetulan mengadukan jiwanya di rumah itu. Jihan menoleh Nara. Namun, Nara belum menyelesaikan keluhan hatinya kepada-Nya. Hati Jihan tersentuh mendengar hal itu.

“Ya Allah, jika memang aku bersalah, hukumlah hidupku sekejam-kejam yang Engkau mau. Hanya saja kumohon, izinkan aku sekali saja untuk dia menyayangiku, mencintaiku, membuat aku merasakan bahwa bidadari bersayap itu benar-benar ada. Engkau menghadiahkan dia aku, sebagai kesempurnaan hidupnya di dunia. Tapi mengapa aku terlihat seperti sampah, bukan hadiah di matanya? Apa yang harus kulakukan Ya Allah? Semoga Engkau selalu bersamanya, orang yang kusebut ibu.” Air mata Nara tak terbendung.

“Justru kamu adalah hadiah terindah yang dititipkan Allah kepada ibumu Ra. Maaf, jika aku telah lama menyembunyikannya darimu.”
“Jihan??”
“Ra, ibumu memintaku menyembunyikan ini darimu. Tapi, aku tak bisa menahannya terlalu lama. Tahukah kamu akan keadaan kakakmu Naumi?”
“Kak Naumi? Bukankah kita sama-sama tahu bahwa kak Naumi masih melanjutkan kuliahnya di Jepang? Lalu, apa hubungannya dengan Ibuku?”
“Sekali lagi maafkan aku Nara. Kakakmu Naumi, telah menutup masa hidupnya.”
“Jihan, tolong katakan padaku dengan jelas. Ada apa ini? Apa maksudmu mengatakan itu?”

“Kakakmu Naumi telah meninggal Ra. Dia meninggal di Jepang, karena kecelakaan beruntun di arena balap ninja pada saat libur musim panas. Saat itu, ia ingin kembali ke Indonesia untuk memberikanmu hadiah di ulang tahunmu yang ke-17 tahun. Dia telah merencanakan itu semua sebelumnya. Dia ingin menghadiahimu sebuah ninja terbaru produk Jepang asli saat itu. Pada waktu liburan musim panas, ia mengikuti perbalapan ninja libur musim panas di Jepang, dengan hadiah pemenangnya adalah ninja itu. Namun, ajalnya tak mengizinkannya untuk memberikan sesuatu yang spesial untukmu. Ia meninggal, dan ibumu tahu itu Nara.”
“Tidak!! Tidak mungkin. Jihan, hiburlah aku dengan cara yang lain. Bukan dengan mendongengiku hal yang tidak aku suka.”
“Tapi ini bukan untuk menghiburmu Nara, ini memang cerita yang sudah dua tahun kuketahui dan kupendam darimu. Tahukah kau?? Sebenarnya ibumu merasa tertekan selama ini. Melihatmu selalu dengan ninja membuat bayang-bayang kakakmu Naumi terekam dalam memori ibumu. Ibumu amat menyayangimu. Beliau tak ingin nasibmu seperti kak Naumi, yang berakhir hanya karena ninja. Beliau tak ingin membiarkanmu mengikuti jejak kak Naumi. Aku akui, cara beliau memang salah yang tak pernah memberitahukanmu tentang kakakmu dan alasan beliau seperti itu kepadamu. Tapi bagaimanapun, beliau tetap seorang ibu, yang tak ingin kehilangan anaknya. Jika kamu mengatakan bahwa kamu adalah sampah untuknya, kamu salah besar. Aku mengerti, alasanmu mengatakan itu. Pasti kamu menyimpulkannya karena beliau tak penah memperlihatkan kasih sayangnya secara nyata kepadamu, karena kamu selalu berdebat dengannya. Tapi yakinlah Ra, tak ada seorangpun yang dapat mencintai kita lebih dari seorang ibu.”
“Jihan, benarkah yang kamu katakan itu? Mengapa kamu baru mengatakannya? Dua tahun aku tak mengetahui hal ini, dan kamu diam saja selama ini?? Sahabat macam apa kamu ini?” Air mata Nara berjatuhan tak henti-henti.
“Aku benar-benar minta maaf Ra. Aku..” Perkataan Jihan terhenti.
“Sudah, tak perlu diteruskan lagi. Aku akan pergi menenangkan hatiku dari semua kenyataan ini.”

Nara mencoba berdiri dari tempat Shalatnya. Ia benar-benar lemah saat ini. Kenyataan yaang harus ia terima adalah kematian kakaknya yang sangat disayanginya yang ternyata telah lama tak ia ketahui. Kakinya untuk berdiri goyah. Lututnya seakan lumpuh. Hatinya rapuh. Lagi-lagi Nara membanting stir ninja merahnya dan meninggalkan Jihan begitu saja. Ia kecewa kepada Jihan yang telah menutupinya selama ini. Ia merasa bersalah karena secara tak langsung ia telah membunuh kakaknya dan membuat ibunya seperti ini kepadanya.

Beberapa kilometer ia mengendarai ninja, dan kemudian mendadak menghentikan mesin ninjanya. Tepat di depan sebuah toko ia berhenti. Hujan deras menghentikan niatnya untuk melampiaskan kekacauan hatinya di malam itu. Matanya berkaca-kaca. Air matanya runtuh bersama air hujan. Dapat dipastikan saat itu bahwa tak ada yang dapat melihatnya menangis sejadi-jadinya di tengah derasnya hujan.

Tiba-tiba, pandangan Nara terfokus kepada sebuah toko yang ada di depannya. Wajah ibunya terbayang di pikirannya. Kedua tangannya tergerak untuk menghapus air mata di pipinya, kemudian mengambil langkah untuk memasuki toko itu. Beberapa helaian penutup kepala bergoyang kena hembusan angin, ketika Nara membuka toko itu. seorang pelayan toko mencoba berbicara dengannya.

“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” Sapa pelayan toko ramah dengan senyum mengembang di pipinya.
“Maaf, bisakah anda memperlihatkan kepadaku hijab hijau muda bermotif sederhana namun terlihat anggun? Adakah anda menjualnya?”
“Oh, tunggu sebentar. Sepertinya kami memiliki produk seperti itu.”

“……”
“Apakah seperti ini yang anda cari?” Pelayan toko memperlihatkan benda yang dimaksud Nara.
“Benar. Tolong bungkuskan ini untukku, dan bisakah aku meminta secarik kertas disini?”
“Tentu saja.”
“Terima kasih.”
Nara menancapkan gas ninjanya lagi. Kali ini ia mencoba berdamai dengan takdir. Nara menuju rumahnya dengan ninja merahnya.

Di rumah, Nara melihat ibunya telah tertidur dengan fotonya bersama kakaknya Naumi dan ibunya. Nara memandanginya. Air matanya lagi-lagi turun karena merasa bersalah kepada ibunya. Ia meletakan sesuatu yang baru saja dibelinya di samping wanita paruh baya itu, lalu pergi menghidupkan ninjanya. Tapi takdir tak bisa dicegah. Tiba-tiba ninja yang dikendarainya menabrak sebuah mobil truk besar. Nara terhempas ke jalanan, tak sadarkan diri. Allah telah mengajaknya untuk bertemu dan bersama dengan Naumi, kakaknya. Sementara itu, ibu Nara terbangun dari tidurnya dan melihat benda di sampingnya. Hijab sederhana namun terkesan anggun, indah di matanya dan sepucuk surat di sampingnya.

Ibu, maaf jika aku telah membuatmu terluka dengan kesalahanku. Aku telah mengetahui semuanya. Ibu, maaf jika ternyata secara tak langsung aku membunuh kak Naumi. Tapi sungguh, aku sama sekali tak pernah tahu akan hal itu. Baru kali ini aku mengetahuinya. Maaf jika ibu membenci aku dan membuat ibu tersiksa selama ini dengan mencemaskanku mengendarai ninja. Aku akan tetap menyayangimu ibu.

Takdir Nara telah terhenti. Ibunya dan sahabatnya Jihan, mendapatkan kabar tentang Nara. Namun takdir tak bisa ditolak, ataupun disesali. Itu memang rencana Allah, yang Maha Berkuasa. Wallahualam.

rekomendasi cerita sadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang