cokelat terakhir ( part 2)

93 1 0
                                    

“Arsy di luar aja ya! Biar Ai bicara sama kakak.”
“Iya deh.” Arsy pun duduk di sofa ruang tamu.

“Kak?” Airin mulai memasuki rumah dan mengetuk di pintu kamar Mawar.
“Kak Mawar.” Perlahan Airin membuka pintu, ia melihat Mawar sedang bersolek di depan cermin.
“Kak?” Airin mendorong kursi rodanya mendekati Mawar.
“Kak, Ai dapet piala, ini Ai persembahin buat kakak.”
“Emang lo fikir, gue bodoh apa? Pake persembah-persembahin, gue gak butuh.”
“Kak Ai mo ngomong sesuatu, ini penting.”
“Lo ngapain sih masuk kamar gue, keluar!”
“Tapi kak,” Mawar mendorong Airin dengan kakinya.
“Kak Seto…”
“Kak Seto apa?”
“Kak Seto selingkuh.”
Plak… Mawar menampar keras pipi Airin yang duduk di atas kursi roda.
“Beraninya lo, dasar gak tau diuntung, anak pembawa sial. Setelah lo bikin gue ama bunda ribut, lo juga mau bikin gue sama Seto ribut. Lo kenapa sih selalu gak suka lihat gue bahagia? Gue benci lo anak pembawa sial, benci.”
Brak.. Mawar mendorong kursi roda Airin keras hingga Airin jatuh terduduk di lantai.
“Lo itu ya, semenjak ada lo, bunda udah ngelupain gue, bunda cuma perhatian sama lo, ayah juga ninggalin gue gara-gara lo lahir, padahal ayah sayang banget sama gue. Dan semenjak ada lo, gue udah gak punya siapa-siapa, gue ngerasa gue anak yatim piatu. Dan gue gak pernah punya adek, apalagi cacat kayak lo.”
Ketika Mawar mengangkat tangan untuk menampar Airin lagi, sebuah tangan menahannya.
“Buktikan! Kak Seto dan Clara masih ada di lab TIK SMA kita.” Kata Arsy.
“Ini lagi, anak bau kencur sok pahlawan.” Mawar pun pergi dari rumah.
Tiba-tiba bunda datang dan memeluk Airin erat.

Bunda membawa Airin ke sebuah taman favorit Airin, hanya disanalah Airin bisa menenangkan diri.
“Bunda, Airin kasihan sama kakak, dia terlalu menderita bun.”
Bunda, memeluk Airin dengan mata berkaca-kaca seraya berkata,
“Bunda sangat bersyukur punya anak kayak kalian berdua, punya Airin yang berhati berlian dan punya Mawar yang kuat sekeras baja.”
Mata Airin menangkap sosok sebuah keluarga, dua orangtua, dan tiga anaknya.
Andai, ayah dan kakak masih disini, keluarga kita akan seperti mereka. Tertawa, tersenyum dan selalu bersama. Terima kasih ya Allah sudah memberiku bunda sehebat bundaku.

“Ai mau es krim?” tanya bunda ketika melihat anaknya menatap sekawanan anak kecil yang sedang menikmati es krim, padahal ia tak tau betapa mirisnya hati Airin ketika melihat kebersamaan keluarga mereka.
Airin tak menjawab,
“Bunda belikan dulu ya sayang.” Bunda pun segera meninggalkan Airin untuk membeli es krim di seberang jalan.
Tak berapa lama, Airin menangkap sosok Mawar di tengah hingar bingar kota, lalu lalang orang yang berjalan pun agak menutupi wajah milik Mawar yang sepertinya muram itu.
“Kak Mawar?” ucap Airin, Airin mulai mendorong kursi rodanya, sekuat tenaga ia memutarkan roda kursi hingga mendekati sosok itu.
Tampak Mawar hendak menyeberang dari trotoar sana,
“Kak Mawar mau kemana ya?”
“Kak Mawar.” Teriak Airin.
“Ai.”
“Ai, kamu diam, kakak kesana ya!”
Apa? Kakak memanggilkan kakak untukku? Oh ya Tuhan ini benar-benar taufik hidayahmu. Apa yang sudah terjadi? Apa kakak sudah tidak membenciku?
Mawar berhasil mendekati Airin sampai ke trotoar seberang.
“Ada apa kak?” tanya Airin senyum.
“Kali ini dugaanmu benar, Seto dan Clara emang selingkuh, dan aku sudah gak punya hubungan dengan Seto.”
“Benarkah kak?” Airin senyum.
“Tapi, asal lo tau ya! Aku gak akan minta maaf dan terima kasih sama lo, lo tetep aja jadi anak pembawa sial, dan selamanya jadi pembawa sial, liat aja! Clara itu temen lo kan. Gue benci lo.” Maki Mawar, setelah itu Mawar melangkah pergi, hendak menyeberang jalan lagi.
“Kak Mawar mau kemana?” tarik Airin,
“Jangan kak! Jalannya ramai banget.”
“Lepasin!” Mawar melepas tangan Airin kasar.
“Kakak…” teriak Airin ketika Mawar menyeberang sebuah truk kuning hendak melintasi jalanan itu dengan kecepatan tinggi.
Sekuat tenaga Airin memajukan kursi rodanya, ia mendorong Mawar, hingga terhempas ke trotoar, akibatnya Airin tertabrak truk itu, tubuhnya terhempas jauh, darah mengucur dari segala penjuru tubuhnya, semua yang ada disana menatap tanpa bisa bergerak, rohnya sudah melayang tinggi meninggalkan jiwanya.
“Airin. Adikku…” teriak Mawar berlari mendekati tubuh yang sudah tak berdaya di atas aspal itu.
Mawar mendekap tubuh itu dengan segenap pelukan, air matanya mengalir deras di wajah cantiknya, sungguh ia terenyuh melihat darah segar dari wajah Airin.
“Sayang, jangan tinggalin kakak, kakak minta maaf, kakak sayang kamu. Kamu adik kakak, kamu bukan anak pembawa sial. Kamu anak yang baik.” Teriak Mawar di sela isak tangisnya.
Bunda yang melihat kejadian itu nyaris pingsan ketika seseorang menangkap tubuhnya.

Tubuh Airin akan dimasukkan ke dalam ambulan yang baru saja datang itu,
“Adikku. Airin jangan tinggalin kakak!” kata Mawar memegang erat tangan Airin sebelum akhirnya mereka dipisahkan mobil ambulance.
“Mawar, kita bertemu di rumah sakit.” Teriak bunda dari dalam, Mawar hanya mengangguk.

Sudah satu minggu sejak kecelakaan itu, Airin koma di rumah sakit, Mawar selalu menungguinya, di kursi sebelah ranjang milik Airin. Mawar tak mau makan, ia sungguh kacau. Semenjak kejadian itu, batinnya sadar, bahwa ia tak seharusnya menyiksa Airin, membuatnya lumpuh, mencacinya, menghina dan berlaku kasar padanya, ia selalu mengatakan bahwa ia malu punya adik cacat padahal ia yang membuatnya cacat.
“Mawar makan dulu ya! Biar bunda yang menjaga Ai.”
“Tidak bun, Mawar gak akan makan sebelum Ai makan,”
Otak Mawar seakan menjadi sebuah strip film yang memutar potongan-potongan peristiwa saat ia berlaku bengis pada Airin, saat membuatnya lumpuh, saat mendorong kursi roda, saat mencaci dan memakinya. Air matanya sudah mengalir deras sejak seminggu yang lalu, membuat kedua bola matanya memerah.
“Mawar janji, jika Airin sudah bangun, kita berlima akan menikmati cokelat hangat bersama.” Kata Mawar kepada bunda, kakak dan juga ayahnya yang telah kembali, persis seminggu yang lalu.

Dua hari kemudian, kedua kelopak mata milik Airin mulai bergerak-gerak, ia mencoba membuka kelopak matanya, terlihat samar-samar sebuah wajah yang selalu ia impi-impikan.

Kakak.

Bunda.

Mata Airin mulai menatap orang di belakng mereka yang sedang tersenyum.
“A… ayah…” kata Airin lemah, sang ayah pun mendekatinya dan mengangguk, lalu mereka berpelukan erat, Airin menangis tersedu-sedu, sungguh ia tak percaya bahwa ia akan melihat seseorang yang hanya bisa ia lihat dalam figura di mejanya selama ini, seseorang yang selalu ia bayangkan bisa membuatnya tertawa, seseorang yang tak pernah ia panggil ayah sejak lahir, seseorang yang hanya ilusi hidupnya selama ini sudah berada di depan matanya.

Setelah pertemuan yang mengharukan itu, mereka mengadakan makan malam dengan cangkir cokelat di atas meja, secangkir untuk berlima, secangkir yang akan mengisi kebahagiaan bersama, secangkir yang merupakan bukti cinta, kasih sayang dan kehidupan yang menyatu.
“Secangkir cokelat impianmu.” Kata kak Mawar, lalu mereka meneguk bergantian.
Mawar dan ayahnya kembali seperti 16 tahun silam, ceria dan tertawa bersama.

Airin sungguh terenyuh bisa melihat Mawar kembali tersenyum dan bahagia.
“Airin. Sekarang kamu percaya kan kalau kakak sudah berubah?” tanya bunda.
“Kak Mawar minta maaf ya sayang, sudah sering membuatmu terluka, ini semua takdir kita, itu bukan karema kamu, dan anak pembawa sial itu tidak ada. Itu hanya karena kakak ketika itu masih tersesat, jauh dari agama, hingga menyalahi takdir.” Mawar pun memeluk Ai erat.
“Ai pengen kalian menjadi satu keluarga yang bahagia lagi.” Kata Airin lemah sebelum akhirnya tubuhnya terjungkir ke belakang.
“Airin. Airin.” Senyum di bibir Mawar langsung lenyap digantikan dengan wajah paniknya, ia mengguncang tubuh Airin.
“Airin…” teriak Mawar ketika ayah dan bunda membawanya ke rumah sakit.
“Airin…” teriak Mawar lagi ketika ia tau bahwa mata indah itu sudah tertutup untuk selamanya, sudah tiada lagi yang memanggilnya kakak, sudah tiada lagi yang menangis di tengah malam, sudah tiada lagi caci maki yang menghiasi pondok kecil itu, tiada lagi rembulan bersinar di malam hari, mawar yang layu akankah semakin layu atau berusaha untuk bersemi kembali, mekar kembali

rekomendasi cerita sadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang