SATU DUA TIGA

5 1 0
                                    

Dengan susah payah karena selang-selang rumah sakit memenuhi wajah dan tubuhnya, Arki memanggil-manggil orangtuanya. Suara lemah tak berdaya terdengar, bagai sebuah melodi sedih yang menggugah hati.
“Ayaah… Ibu… Ayah… Ibu…,”
Arki terus memanggil-manggil orangtuanya. Berharap suara kecilnya terdengar oleh orangtuanya di luar sana.

Beruntung, satu detik setelah Arki berhenti memanggil orangtuanya, ada dokter datang ke ruangannya.
Senyuman sang dokter mengembang manis.
“Wah, Arki sudah sadar, ya? Syukurlah.” Dokter bernama Dr. Ferry itu menghampiri Arki.
Arki tersenyum. “Dok, boleh minta tolong panggilkan orangtua saya?”
Dr. Ferry mengangguk cepat. Ia pun ke luar untuk memanggil orangtua Arki dan kembali sejurus kemudian.

“Yah, Bu.. Arki ingin minta satu boleh?” suara lemah Arki semakin melemah.
“Tentu saja boleh sayang,” sahut Ayah dan Ibu hamper serempak.
“Arki ingin…,”


Ruangan ICU serba putih itu kini hanya diisi oleh dua orang. Satu orang adalah pasien yang sedang berbaring lemah bernama Arki dan satunya adalah teman dari pasien tersebut. Namanya adalah Glen.
Percaya atau tidak, Glen sebenarnya sangat membenci Arki. Glen bersama teman-temannya, selalu mengejek Arki, membully Arki ketika di sekolah. Bahkan Glen senang ketika tahu Arki mengidap penyakit kanker otak stadium dua dan harus dirawat di rumah sakit.
Tapi, entah mengapa tiba-tiba setelah Arki siuman, Arki ingin bertemu dengan Glen. Pasalnya, dari banyak teman yang menjenguk Arki, belum pernah Glen ikut menjenguk sekalipun.

Glen memasang muka kesal. Ia sebenanrya tidak ingin datang ke sini, tapi apalah daya. Orangtua Arki memohon-mohon di telepon kepada Glen untuk menemui anaknya walau sebentar saja.

“Glen,” Arki membuka percakapan. Suara parau nan lemahnya mendominasi ruangan ICU itu.
“Aku tahu kau malas menemuiku. Tapi, aku mohon. Aku minta 3 menit saja wkatuku untuk berbicara. Jadi, setelah aku berbicara ini, kau hitung setiap satu menit hingga tiga menit. Setelah itu, aku tidak akan berbicara lagi dan kau boleh pulang.”
Hening menjeda. Glen tidak berkata-kata.
“Kumohoon…,” Arki memohon dengan wajah memelas. Glen pun mengangguk.

“Baiklah, ayo mulai.” Glen menarik napas, lalu lanjut berbicara seraya melirik jam tangannya, “Satu menit.”
“Ini adalah satu menit pertamaku untuk berbicara kepadamu. Aku hanya ingin bilang, jangan perlakukan yang lain seperti kau memperlakukan aku. Aku tidak mau, ada orang yang dibully denganmu lagi. Karena kau tahu, dibully itu sangat-sangat tidak enak. Tapi biarlah, aku dibully. Walau memang rasanya sangat perih sekali. Aku berani taruhan, kalau kau dibully oleh orang lain, pasti kau akan sedih bukan main dan kau pasti tidak akan terima. Jadi, aku minta jangan bully siapapun lagi. Toh, bully itu tidak ada gunanya untukmu kan?”

Tepat ketika Arki selesai berbicara, satu menit berlalu.
“Dua menit.” Glen berbicara.
“Ini adalah menit keduaku untuk berbicara kepadamu, Glen. Aku hanya ingin bilang, seperti ada pepatah mengatakan, satu orang musuh itu sangatlah banyak sedangkan seribu teman sangatlah sedikit. Jadi, aku tidak mau kau menganggapku musuh. Karena kalau kau menganggap aku musuh, berarti itu banyak sekali. Apalagi, kalau kau punya lebih dari satu musuh. Wah, berarti sangat-sangat banyak bukan? Dan walaupun kamu selalu membullyku, sekarang aku sudah ikhlas. Aku tidak menganggapmu musuh. Kau adalah temanku, Glen. Dan…,”

Belum sempat Arki menyelesaikan pembicaraannya, Glen sudah memotongnya duluan sebab dua menit telah berlalu.
“Tiga menit.”
Arki menarik napas panjang, tak lupa mengeluarkannya.
“Ini adalah menit terakhirku untuk berbicara kepadamu. Menit ketigaku. Aku akan menegaskan lagi kata-kataku yang sebelumnya. Aku minta, kamu jangan mebully lagi dan janganlah memiliki musuh walau itu satu orang. Lalu, aku ingin meminta maaf kalau aku ada salah. Terakhir, aku akan bilang, terimakasih sudah menjadi temanku. Aku takkan pernah melupakanmu. Aku ingin berterimakasih kepadamu, karena dengan ejekan-ejekanmu itu aku bisa mempunyai semangat yang membara. Terimakasih, Glen.”

Tiga menit pun berakhir sudah. Dan tepat pada menit ketiga, Arki menutup matanya. Bersamaan dengan itu, nafasnya pun terhenti ditandai dengan terdengarnya suara-suara nyaring yang panjang dari sebuah mesin penanda detak jantung.
Mendengar hal itu, dokter yang berada di luar segera berlari masuk ke ruangan ICU. Dan memeriksa kembali seorang anak laki-laki berusia 14 tahun yang mengidap kanker otak bernama Arki itu.
Hasilnya adalah benar, bahwa Arki dinyatakan berpulang untuk selamanya.

Sepersekian detik, keluarga Arki termasuk orangtuanya menghambur ke ruangan ICU. Menghampiri anak kesayangannya yang sudah angkat kaki dari dunia yang fana.

Glen terdiam membeku di tempatnya. Ia tak menyangka, bahwa di menit-menit terakhir yang Arki punya untuk hidup, digunakan untuk berkomunikasi dengan dirinya: seorang yang malah bukan sahabatnya sekalipun.

Satu, dua, tiga. Ketiga angka tersebut takkan pernah Glen lupakan, karena ketiga angka itulah yang menyihir hatinya menjadi luluh. Tak sebeku es lagi, tak sekeras batu lagi. Dan itu semua karena Arki.

rekomendasi cerita sadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang