oase Padang pasir

6 1 0
                                    

Tuhan telah memberikan kebahagiaan, dan kesedihan kepada setiap orang di dalam kehidupan. Semua hanya bagaimana kitaa akan merasakan keduanya, keindahan yang akan berbeda dari keindahan-keindahan sebelumnya.

Diana terjaga dari tidur, tersadar dari alam mimpi tatkala mendengar kumandang azan shubuh yang memanggil-manggilnya. Nyanyian pagi yang selalu menggetarkan kalbu, membangunkan umat-Nya yang tidak lalai. Lalu, ia beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju tempat berwudhu.

“Alhamdulillah, nikmat-Mu masih bisa kurasakan pagi ini.” Ujarnya seraya menghadap kiblat dan mengambil air untuk ber-wudhlu. Lalu di salah satu sudut ruangan shalat ia berdoa dan bertasbih memuji kebesaran Allah. “Aku hambamu yang selalu rentan oleh perbuatan dan perkataan salah ya Rabb izinkan aku berusaha melakukan kebajikan yang baik disetiap detik yang terus mengurangi usiaku,” rintihnya.

Diana adalah anak pertama dari empat bersaudara, anak perempuan satu-satunya yang sering membuat saudara-saudaranya iri oleh kasih sayang Abi dan Umi yang lebih menaruh perhatian pada anak perempuannya.
Mentari pagi mulai menampakkan cahaya. Mega merah perlahan terkuak seiiring waktu senja yang telah berlalu. Saat menatap kuasa Allah itu, membuat mata dan hati tentram akan rasa takjub luar biasa. Alam berkicau, bergemericik bersahutan, angin pagi menyejukkan jiwa. Semua di pagi hari terasa sangaaat indah.

Setiap pagi, Diana tidak ingin pernah melewatkan nutrisi jiwanya yaitu shalat subuh dan membaca sedikit ayat suci Al-Qur’an. Ia menghembus nafas lega setelahnya, kemudian terhentak ketika alarm mungil berdering. “Kringgg.. kriiiing..,” menunjukkan pukul 05.30 Wib. Kalender kecil di sudut dinding mengingatkannya akan sesuatu. Tidak terasa hari istimewa itu akan datang lagi, hari kelahirannya. Ia tersenyum ketika kenangan itu kembali berputar. Satu tahun yang lalu yang telah berlalu diwaktu yang hampir sama..

“Diana..?”
Suara lembut bagai beledu itu membuatku terlonjak, seorang wanita tepat berada di samping sajadahku. Bibirnya yang indah menyentuh keningku. Kulit tangannya yang lembut, membelai kepalaku. Lalu, merengkuh wajahku yang lebar. Suara selembut beledu itu berkata lagi, “selamat ulang tahun sayang. Semoga usiamu berkah. Semoga Allah menyelamatkan engkau di dunia dan akhirat. Semoga Allah selalu menuntunmu kejalan lurus-Nya. Semoga kelak Allah pertemukan dengan pasangan yang mampu menolongmu untuk beribadah sebaik-baiknya didunia. Manusia yang dapat membantumu meraih derajat yang tinggi di akhirat. Jodoh yang baik nan lembut yang akan selalu menjagamu disetiap keadaanmu seperti Umi dan Abi yang telah menjaga amanah dari Allah yang terindah ini,”
Senyum Diana mengembang sangaat indah seindah senyum wanita cantik itu.
“Aamiin, syukron ya Ummi, ana uhibbuka fillah ya ummi. Diana sayang ummi seperti bumi dan mataharinya,” jawabku dengan derai bening bahagia di pipi.
“Begitu juga ummi, sayang..”
Senyum di wajahnya membuat mata mungil itu terpejam sejenak kemudian terbuka lagi. Setiap kata yang keluar dari bibirnya begitu merdu. Namun, pagi ini disaat Ummi melangkah keluar dari pintu ruangannya ada perasaan yang mengganjal di hati Diana.
“Iyayaa, biasanya Ummi nanya mau dibeliin kado apa. Kok tadi ummi nggk nanya sihhh,” gumamku heran. Aku menatapnya hingga hilang dari sudut kelopak mataku.
“Masya Allah! Aku lupa, rok hitamku belum disetrika!. Aku melepaskan mukena lalu menyetrikanya. Tidak butuh waktu lama dan rok itu telah rapi. Aku menggantungkannya di sisi tempat tidur lalu mengambil handuk.

Empat puluh lima menit kemudian aku telah berada di depan meja makan. Sayang, jika masakan umi kulewatkan. Suasana pagi ini seperti biasa. Ketiga adikku pasti telah berangkat ke sekolah. Kami tidak pernah berangkat serentak karena sudah pasti jika mereka menungguku maka akan telat. Begitu juga dengan Abi dan Umi. Aku sangaaat menikmati sarapan pagi ini. Sekarang matahari sedang berjalan menuju petala langit, aku membereskan piring lalu merapikan baju kemudian mengambil tas dan melangkah ke ruang tamu.

“Happy birthday to you… Happy birthday too you… Happy birthday, happy birthday, happy birthday mbak Anaaa.”
Waah imutnya lagu yang dinyanyikan trio nyebelin itu, bahkan Ummi dan Abi juga waah…
Mereka memegang balon dan kue ulang tahun yang tidak terlalu besar. Aku benar-benar tidak menyangka mereka merencanakannya, detik-detik yang sangat berarti untukku.

Diana yang saat ini sangat bergembira, ia mengucapkan keinginannya. Meniup lilinnya. Memotong kuenya. Menyuapkan sepotong kecil kue kebahagiaan itu kepada orang-orang yang sangat ia cintai.
Dan…
“Umii.. Abii kita telat!!,” sentakku. Tanpa menunggu jawaban aku berlari ke depan.
“Diana ayo serempak” ajak abi.
“Yang bener bi?” Jawabku tercengang.
“Iyaa mbak Ana ayo barengan aja” ujar adik-adikku.
Hal yang tidak biasa ini membuatku tersenyum sepanjang perjalanan ketempat kerja. Kami bercanda bersama dan tertawa bersama.

“Mbak Ana, mau kado apa dihari ini?” Tanya sibungsu..
“Mbak Ana nggak minta apa-apa dedeekk” jawabku seraya menyubit pipinya yang cabi. Raut mukanya membuat kami tertawa.
“Mbak Ana bahagia?” Tanya adikku nomor 3.
“Tentu saja mbak Ana bahagia. Apalagi jika terus bersama kalian, mbak bahagia dan bersyukur sama Allah telah diberi keluarga seperti kalian, Faqih sendiri apakah bahagia bersama mbak Ana?”
“Faqih bahagia mbak, apalagi nanti kalo kita sama-sama bisa berkumpul kembali dalam janah-Nya, hehe” jawabnya terkekeh.
“Ciee anak-anak Abi akurnyaa” celetuk Abi seraya menyetir..
“Ih Abi, anak-anak Umi juga ini” rengek Umi.. Lalu kami tertawa bersama.

Dor!!
Jalanan bergema dengan suara letusan senapan berkekuatan tinggi. “Umii!” Secara naluriah aku merunduk. Rasa takut mengiris jantungku. “Masya Allah!” Aku mendengar Abi mengucap nama Allah. Umi merangkul ketiga adikku. “Abii kenapa begini bi,” tanya Umi histeris ..

Kendaraan ini berputar, bannya selip, sabuk pengaman mengekang dan kami tidak bisa berkutik. Abi berusaha mengontrol laju mobil. Jip ini berputar semakin cepat, tergelincir hingga ke tepi jurang. Dengan panik Riana mencengkeram ponselnya, namun benda itu jatuh dari tangannya ketika jip membentur dan menerobos pepohonan, meluncur tiba-tiba diatas bebatuan, logam-logamnya berderak, kaca dan udara dingin masuk ke dalam jip.

“Abiii..” Teriak Diana dan yang lainnya ketika kantong udara membentur tubuh Abi. Adikku yang pertama berusaha memotong tali sabuk pengamanku. “Mbak Ana, Fahri sayang mbak Ana. Harus ada yang selamat mbak, cari bantuan dan tolong urus jenazah kami nantinya. Mbak Ana yang baik-baik ya,” ucap Fahri dengan bening air mata yang terus jatuh, namun raut mukanya begitu tenang.

Brak! Jip mendarat miring, logam berderit, pecahan kaca dan batu tajam masuk melalui pintu. “Umii.. Faqih… Fitrah.. Abii isakku ketika melihat darah hangat mengalir dari kepala Umi dan memandang mereka yang tidak sadarkan diri lagi. Tiba-tiba Fahri mendorongku keluar dari pintu jip.. Jip tergeser, menyeruak melalui semak-semak seolah meluncur, lalu mulai berguling.

Abiiiii.. Fahrii..
Jeritan Diana tidak mengeluarkan suara, lalu ia mengucap ketika melihat jip itu menuruni lereng hingga ringsek. Ia hampir tidak bisa bernafas. Paru-parunya terasa sesak, sangat sesak. Dan rasa sakitnya… Ya Allah, rasa sakit itu.. Diana menggigil. Butiran-butiran air mata mengaburkan pandangannya hingga menenggelamkan Diana dalam ketidaksadaran..

rekomendasi cerita sadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang