Sebabas kupu kupu(2)

22 1 0
                                    

Tiap hari, ribuan tetes air mata telah ia tumpahkan untuk mewakilkan isi hatinya. Kondisi Hana pun kini semakin melemah.

Suatu hari, Dirga mengajak Friska, kekasihnya masuk ke kamar Hana untuk menjenguknya. Batin Hana semakin memberontak. Tak ada lagi semangat hidup yang terpancar dari dirinya.
“Hana, ini Friska datang untuk menjenguk kamu.” Jelas Dirga.
Friska melempar senyum manis pada Hana. Friska terlihat amat dewasa, sesuai dengan kriteria wanita idaman Dirga selama ini. Semuanya terlihat jelas dari caranya berpakaian, berdandan, dan berbicara. Umurnya pun lebih tua dua tahun dari Hana. Friska kini berusia sembilan belas tahun, sedangkan Hana baru berusia tujuh belas tahun. Dirga meninggalkan Friska bersama Hana di dalam kamar. Hanya berdua.

“Hana, semoga kamu cepat sembuh ya…” ucap Friska halus.
“Makasih!”
“Apa kamu lagi kesal? Kamu bisa cerita sama kakak kalau kamu mau.”
“Nggak usah. Hana ingin tanya sama kakak. Apa boleh?”
“Silahkan. Anggap saja aku ini seperti Dirga.”
“Kakak nggak sama seperti Kak Dirga! Nggak ada yang bisa nyamain Kak Dirga dan nggak ada yang bisa ganti posisi Kak Dirga di hati Hana!” tegas Hana.
Friska terdiam sejenak. Ia kembali mencerna kata-kata yang dilontarkan Hana padanya. Setelah ia mengerti akan semua kata-kata itu, ia hanya tersenyum menatapi Hana. Hana pun kembali bertanya pada Friska.
“Kak, apa yang kakak rasakan selama ini dengan Kak Dirga?”
“Memangnya kenapa?” tanya Friska tak mengerti.
“Cuma ingin tahu aja. Kakak sayang sama Kak Dirga?”
“Kakak sayang sama Dirga. Selama kakak berada di sisi Dirga, kakak merasa nyaman. Jiwa kakak menjadi damai. Kakak juga nggak akan biarin seorang pun merebut Dirga dari kakak.”
“Siapapun?” tanya Hana memperjelas.
“Siapapun!” jawab Friska mempertegas.

Batin Hana semakin sesak. Mata Hana serasa amat panas dan perih. Tenggorokan Hana seolah diganjal sesuatu. Ia tak dapat berucap apa-apa lagi setelah mendengar jawaban dari Friska. Selang beberapa detik, Hana memuntahkan sesuatu dari mulutnya.
“Darah…” desahnya.
Semakin lama, darah itu semakin banyak. Friska yang panik, langsung memanggil Dirga. Ia kebingungan mengatasi situasi ini. Dirga dengan sigapnya menelepon dokter. Hana pingsan seketika di tempat tidur.

“Penyakit Hana sudah semakin parah. Sebaiknya ia dirawat di rumah sakit. Kalau tidak…” suara dokter terputus.
“Kalau tidak kenapa, dok?” tanya papa Hana.
“Penyakit ini dapat mengancam jiwanya.” ucap dokter tegas.

Setelah dokter pergi meninggalkan rumah, papa, mama, Dirga dan Friska berkumpul di ruangan keluarga untuk berbicara.
“Apa yang terjadi? Mengapa bisa begini? Hana belum pernah seperti ini sebelumnya.” sesal mama Hana.
“Maaf om, tante. Tadi saya yang terakhir kali berbicara dengan Hana. Sepertinya ia menyimpan sebuah harapan khusus dalam hatinya. Sebuah angan yang tak mampu ia gapai.” sela Friska.
Akhirnya Friska menjelaskan semua isi pembicaraannya dengan Hana tadi. Setelah mendengar penjelasan itu, mereka berempat beranjak memasuki kamar Hana. Mama memangku kepala Hana dengan perlahan. Tak ada satu pun yang berani berucap. Semuanya terdiam membisu. Hening. Papa memperbaiki posisi selimut Hana. Tiba-tiba secarik kertas jatuh dari balik selimut itu. Mereka berempat saling berpandangan, hingga akhirnya papa membacakan isi dari kertas berwarna merah jambu itu.

“Wahai para malaikat, jika kini ku harus pergi… Kirimkan aku beribu ekor kupu-kupu yang mampu mengajakku terbang. Taburiku dengan penuh cinta kasih, kehangatan, kedamaian dan kebahagiaan. Kuingin bebas sebebas kupu-kupu. Melayang, menyimpan beribu misteri dalam setiap kepakan sayapnya. Menebarkan cinta dan kekaguman pada orang-orang yang kusayangi. Harapan terakhirku… kuingin meninggal dalam pelukan Kak Dirga.”

Semuanya hanya membisu. Air mata menetes perlahan. Dirga merasa bersalah telah mengingkari janjinya untuk selalu menemani Hana.

Keesokan paginya, mereka sekeluarga pergi bersama ke puncak. Tak ketinggalan, Friska pun ikut diantaranya. Seharian penuh Friska bermanja-manja dengan Dirga. Berjalan-jalan, sembari meresapi wangi angin yang terpercik di udara. Hana hanya bisa menangis dalam kesendirian, meratapi nasibnya di atas sebuah kursi roda.

Malam harinya, Dirga mengajak Hana untuk melihat cahaya bulan. Friska menyiapkan makanan bersama papa dan mama Hana. Hana kembali meneteskan darah dari hidungnya. Seolah tak ingin membuat Dirga panik, Hana pun segera menghapusnya. Dirga menggiring tubuh Hana untuk bersandar dalam dekapannya. Mereka duduk berdua di bangku taman, hanya disaksikan oleh ribuan kerlip bintang dan terang cahaya rembulan.

“Maaf, aku mengingkari janjiku selama ini.” sesal Dirga.
“Kakak nggak ngingkarin janji kakak kok. Buktinya saat ini, kakak menemani Hana. Harusnya Hana yang minta maaf karena selalu merepotkan kakak dan Hana mengganggu liburan kakak dengan Kak Friska.” Hana mengusap air matanya. Perut Hana rasanya amat perih. Seperti ditusuk ribuan jarum.
“Ini liburan kita bersama, Hana.” ucap Dirga mencairkan suasana.
“Bintang nampak amat indah ya, kak. Bulanpun tersenyum indah ke arah Hana.” ucap Hana lirih. Hana berusaha menahan sakit di perutnya.
“Hana…”
“Rasanya, hidup Hana selama ini hanya penuh kesepian, kesendirian, dan tangisan. Tak pernah sekalipun bisa bebas. Tapi Hana yakin, tidak lama lagi, pasti Hana akan mendapatkan kebebasan. Bisa bebas menari di angkasa seperti kupu-kupu yang menemani Hana selama ini, kak.”

Hana memejamkan matanya perlahan. Ia pergi dengan hati yang bahagia. Dirga yang sadar akan hal itu, langsung memanggil kedua orangtua Hana. Friska pun menyusul dari belakang. Mereka semua menangis histeris. Friska berusaha menenangkan hati Dirga.

Kini, jiwa Hana telah bebas. Bebas sebebas kupu-kupu. Menari di angkasa dengan anggunnya. Harapan terakhirnya telah terwujud. Ia meninggal dalam pelukan Dirga. Itu saja sudah cukup untuknya. Batin Hana yang memberontak kini tersenyum manis meninggalkan semua kesedihan.

Dalam pemakaman, terlihat beberapa ekor kupu-kupu hinggap pada bunga yang telah tertabur di atas gundukan tanah itu. Bunga yang menyelimuti Hana dalam keharuman dan ketenangan. Kupu-kupu itu datang. Seolah menjemput Hana untuk menggapai angannya.

Papa, mama, Dirga dan Friska tersenyum sembari menitikkan air mata bahagia menyaksikannya. Mereka pun yakin bahwa Hana bahagia di alam sana. Hana akan selalu ada di sisi mereka, walaupun tanpa mereka sadari. Menebarkan kebahagiaan, bersama kupu-kupu yang menari anggun. Bagi keluarga Hana, kupu-kupu merupakan lambang keindahan dan kebahagiaan, mereka selalu dapat menari indah di udara dengan sayap rapuh mereka yang berwarna-warni. Sayapnya yang rapuh tidak membuat mereka takut untuk terus terbang dan menebar kekaguman, begitulah Hana. Meskipun Hana rapuh, tetapi kasih sayangnya tidak akan pernah luntur.

rekomendasi cerita sadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang