Seperti bukan negriku

0 1 0
                                    

Hari itu aku ingat sekali bagaimana wajah ayahku pulang dari kantor dengan wajah yang begitu marah dan menyedihkan. Aku ingat sekali bagaimana ibu menyambut ayah dengan tangisan yang tidak biasa. Aku ingat sekali bagaimana wajah kakak yang begitu terburu-buru menyambut ayahku. Sepertinya memang cuma aku yang tidak tau kejadian saat itu. Aku segera mendekati keluargaku itu dan bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi. Aku takut bertanya karena situasi saat itu benar benar tidak mendukung. Kuurungkan niatku dan kembali terhanyut dalam kesedihan keluargaku.

“Ayah di PHK bu”
“Kenapa bisa ya? Ayah kan pegawai tetap di sana!”
“Ibu maafkan ayah, tapi ayah memang sudah di PHK secara sepihak oleh kantor ayah tanpa pesangon atau uang pensiun apapun!”
“Apa karna ayah tidak menerima suap kemarin?”
“Iya bu, ibu benar! dan sekarang mereka mengancam ayah jika ayah buka mulut”.

Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti apa yang sedang terjadi. Walaupun tidak sepenuhnya tapi aku yakin ayahku berada di pihak yang benar. Aku pun memeluk ayah dan mencoba menenangkannya, kupegang tangan ibu agar ibu merasa bahwa ibu tidak sendirian, dan kuelus pundak kakakku berharap dia dapat tegar.

Ayahku bekerja di sebuah perusahaan bagian kontraktor dan ayah sudah menjabat tinggi disana. Akhir akhir ini ayah selalu bercerita tentang suap suap. Aku tidak tahu betul karena umurku yang baru menginjak 15. Yang kutahu adalah seseorang mencoba membuat ayahku melakukan dosa dan pelanggaran.
Aku begitu takut saat itu, kulihat kakakku menangis tiada henti di kamarnya. Ingin sekali aku mendatanginya tapi aku juga merasakan hal sama. Bagaimana bisa dua orang yang sedang terpuruk saling menguatkan pikirku. Dan aku memilih menemani ibuku yang lagi duduk di ruang tamu dengan mata yang begitu layu dan tangan yang tak berhenti menghapus air mata. Ayahku sedang istrahat tapi aku begitu yakin ayahku tidak akan bisa tidur.

“Ibu, apapun yang terjadi di keluarga kita, kita harus kuat bu dan terus mendukung ayah”
“Iya len, ibu akan tegar!” Ibu memelukku erat sekali seperti ingin meluangkan kesedihannya dengan pelukan itu, walaupun sakit aku mencoba menahannya.

Keesokan paginya, aku turun ke bawah dan segera melakukan aktifitas pagiku yaitu lari pagi. Dengan celana pink ponggol dan baju tanpa lengan ditemani handuk kecil di leherku. Tak lupa aku memakai headset untuk membuatku lebih rileks dan fokus.

Sudah dua kali aku keliling pagi itu, tapi aku merasa seseorang sedang mengikutiku. Aku tidak tau pasti namun dia menggunakan motor yang begitu besar dan menggunakan masker wajah. Aku melihatnya melalaui handphoneku. Aku begitu takut dan mengirim pesan kepada kakakku menyuruh dia menyusulku. Aku begitu takut sampai tidak sanggup berjalan lagi apalagi jalan pulang menuju rumah sangat sepi dikarenakan semua orang komplek sedang weekend.

Belum ada balasan dari kakakku namun sepertinya orang itu sudah menghilang. Kukumpulkan tenagaku untuk berlari sekencang kencangnya menuju rumah.

Sesampai di rumah, kakak, ayah dan ibuku sedang berbicara di teras.
“Ayahhh aku tadi diikuti seseorang!”
“Siapa? Apa kamu baik baik saja?” Ayahku berlari kearahku dan memeriksa tubuhku.
“Aku baik baik aja ya, tapi tadi lena sangat ketakutan bahkan sudah mengirim pesan ke kakak untuk menjemputku.
“Maaf, HP kakak di kamar, apa dia menyakitimu?” Kakakku tak kalah panik dan mengambilkan aku secangkit air.
“Tidak kak”
“Ya sudah kamu istirahat biar kakak antar”

Semakin lama rumah kami semakin menakutkan, lemparan batu, orang yang menguntik dan beberapa ancaman lainnya.

Sore itu ibu pergi ke rumah nenek dan ayah pergi ke rumah teman ayah. Hanya aku dan kakak di rumah. Tiba tiba aku ingin sekali menonton TV dan berhentilah di channel berita dan saat melihatnya hatiku seperti pecah dan seluruh badanku membatu tanpa bisa kugerakkan sedikitpun.
Aku melihat ayahku di TV, ayahku sedang diborgol, ayahku berada di penjara dan kulihat juga ibuku memakai penutup wajah sampai aku tidak mengenalinya tapi aku yakin itu ibuku.

Aku berlari menuju kamar kakak dan ingin segera memberitahunya tapi sepertinya kakakku sudah tahu karena saat itu sudah bersiap pergi dengan sebuah tas di tangannya.
“Kakak ke mana? Kakak jangan tinggalkan aku!”
“Kamu segera bereskan barangmu sebelum para reporter datang! Ibu menyuruh kita ke rumah nenek di depok!”
“Iya kak, lena ke kamar dulu” dengan air mata yang terus mengalir, dan tangan yang gemeteran aku menyusun bajuku dan pergi bersama kakakku.
Dan betul apa yang dikatakan kakakku tak lama kami pergi dari rumah para reporter datang!

Di perjalanan kakakku menceritakan semuanya bahwa ayahku tidak bersalah, ayah hanya dijebak oleh mereka para penguasa yang takut kebusukannya terbongkar.
Dulu SD aku sangat ingat bagaimana ayah mengajarkanku berbuat kebaikan, dan sekarang kenapa ayah bisa dipenjara karena kebaikannya? Mana keadilannya?!

Ibu sekarang semakin lama semakin tidak sehat, gangguan kesehatannya makin buruk, aku dan kakak berhenti sekolah karena semua uang habis untuk biaya perkara ayah dan pengobatan ibu. Namun walaupun begitu ayah tetap dipenjara karena kurangnya bukti atau karena si penguasa yang tidak ingin ayah keluar bahkan kata ayah dia dapat ancaman, jika ayah bongkar semuanya, kami akan dibunuh.

Ayah rela membusuk di penjara demi kami. Kuingat wajah ayah yang begitu penuh kesedihan namun tetap tersenyum padaku. Ayah begitu terpukul tapi tetap bahagia di depan kami seperti tidak ada kepedihan tapi ayah tidak bisa menyembunyikan itu dari kami karena ayah menjadi sedikit bicara.

Kenapa bisa negeriku begini? Orang yang baik harus masuk penjara karena membela kebenaran, sedangkan para penguasa yang gila uang terus bernafas bebas di luar sana! Katanya negaraku penuh keadilan! mungkin keadilan itu hanya untuk mereka yang punya banyak uang.

rekomendasi cerita sadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang