KETIKA HARUS MEMILIH

18 1 0
                                    

Selamanya selagi nafas masih dikandung badan kita akan terus dihadapkan pada suatu keadaan dimana kita harus memilih. Seperti ketika aku lebih memilih untuk menikah dengan Heru yang hanya pegawai biasa dan usianya terpaut 5 tahun lebih muda dibawahku, daripada menerima lamaran Faris seorang pengusaha rumah makan.

Pada awalnya tak mudah untuk mendapatkan restu dari kedua orangtuaku, aku memahami kekhawatiran mereka. Sebagai orangtua tentu mereka menginginkan jodoh yang terbaik untuk anak mereka satu satunya. Mungkin itulah yang disebut cinta, rela dan ikhlas menerima apapun kekurangan pasangan kita.

Heru baru saja berangkat kerja ketika tiba-tiba saja ibuku datang dengan raut wajah keruh.
“ada apa lagi buk?” tanyaku demi melihat raut murung ibuku.
“Bapakmu benar-benar keterlaluan Sri, aku gak sanggup lagi kalo terus-terusan seperti ini” kulihat mata tua ibuku mulai basah.
“Diminum dulu buk” kubelai punggungnya perlahan sekedar menenangkan emosinya yang mulai bergolak.

“Aku mau minta cerai saja nduk, aku sudah ndak kuat lagi menghadapi bapakmu”.
“Bapak judi lagi buk?”
Dua tahun terakhir ini bapakku kecanduan judi. Semua harta yang diperoleh dengan kerja keras mobil, tanah, sawah habis di meja judi. Satu satunya harta yang tersisa hanya rumah yang kini ditempati oleh orangtuaku.
“Semalam juragan Warso datang ke rumah nduk, dia bilang kalo ndak segera dilunasin hutang-hutang bapakmu maka rumah kita akan disita”. Ibuku mulai terisak.
Aku terdiam entah harus berkata apa, tulang-tulangku seperti dilolosi, tubuhku lemas.
“Berapa hutang bapak buk? kok sampai rumah kita mau disita?”
“78 juta Sri, belum termasuk bunganya”
Juragan Warso adalah seorang saudagar raya di kampungku, dia meminjamkan uang dengan bunga yang mencekik leher.

Aku menghela nafas panjang, kubiarkan saja ibuku yang masih tergugu di sampingku. Anganku menerawang, kemana kiranya aku mencari uang sebanyak itu? Apa kata Heru nanti kalau tau permasalahan ini? ah kepalaku terasa berputar cepat.

“Sudah buk, sekarang lebih baik ibuk pulang saja dulu. nanti saya pikirkan jalan keluarnya”. kucium tangan ibuku sebelum berpisah.

Sudah 2 hari ini Heru mendiamkanku, sejak kuberitahu niatku untuk mengadu nasib ke luar negeri demi membantu melunasi hutang-hutang bapakku. Yah lagi-lagi aku dihadapkan pada sebuah pilihan.
Suamiku akhirnya luluh, dengan berat hati dia melepas kepergianku ke Hong Kong.

Aku dipekerjakan pada sebuah keluarga di daerah Shatin. Majikanku lelakiku seorang guru besar di Universitas Swasta di Hongham sementara istrinya bekerja di sebuah panti rehabilitasi. Mereka memperlakukan aku selayaknya keluarga sendiri, tugasku hanya bersih-bersih rumah dan memasak. Satu satunya anak mereka sudah beranjak remaja, 14 tahun.

Aku bekerja dengan mereka selama 4 tahun, selain untuk melunasi hutang bapakku, aku juga menyisakan sedikit uang untuk membuka warung kelontong di depan rumah.

4 tahun berlalu sudah, kepulanganku disambut dengan suka cita oleh suami dan kedua orangtuaku. Dua bulan setelah kepulanganku aku dinyatakan hamil, kami semua bersuka cita menyambut bayi mungilku.

Waktu begitu cepat berlalu tahun berganti, kebutuhan hidup mulai terasa menjadi beban berat yang harus kami pikul, penghasilan Heru sebagai pegawai administrasi di kantor pengacara ditambah pendapatan dari warung kelontongku hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar uang sekolah anakku yang masih kecil.

“kita gak punya jalan lain mas, kebutuhan kita semakin membengkak sementara pendapatan kita hanya cukup untuk makan” aku berusaha meyakinkan Heru untuk mengizinkan aku pergi ke luar negeri lagi.
“seberapa pun gak akan pernah cukup dik, kita harus nrimo” jawab Heru.
“nrimo-nrimo!! anak-anak semakin besar mas, biaya sekolah semakin mahal”. aku menjawab dengan nada tinggi.
Hening.

“ya sudah dik kalo memang kamu memaksa, aku ikhlas tapi 2 tahun saja, aku dan anak-anak membutuhkan keberadaanmu”
“aku minta maaf karena ndak bisa mencukupi kebutuhanmu sehingga kamu harus jauh-jauh ke luar negeri dik.” lirih Heru berkata padaku.
Kupeluk erat-erat suamiku. Tak mudah berpisah dengan Heru dan buah hatiku, tapi apa daya aku ingin memberi yang terbaik untuk mereka.

Kepergianku kali ini terasa amat berat, karena selain berpisah dengan orangtua dan suami aku juga harus meninggalkan anakku yang masih kecil. Berulang kali kuseka air mata yang tak mampu kucegah.

Di Hong Kong kali ini aku dipekerjakan di daerah Northpoin, aku merawat seorang nenek berusia 80 tahun. Nenek yang kurawat masih sehat. Tetapi perlakuannya padaku sungguh tidak pantas.
Sejak awal hingga tahun ke empat aku merawatnya tak pernah sekalipun dia menyebut namaku, setiap kali dia selalu memanggil dengan julukan kasar bahkan tak segan dia memakiku di keramaian. Segala tingkah polahnya seakan sengaja membuatku tak nyaman.

Sudah berhari hari kuamati ada yang janggal dengan gelas kopiku, setiap kali tiba-tiba saja kopi yang isinya tinggal setengah menjadi penuh, kucium ada aroma sabun, tapi aku diam saja hingga suatu pagi setelah menyeduh secangkir teh untuk majikan tuaku, aku masuk ke kamar mandi hendak buang air kecil.

Dari dalam kamar mandi aku dengar majikan tuaku terbatuk batuk berjalan menuju ke dapur. Dengan mengendap endap seolah ingin membuktikan kecurigaanku selama. ini aku mengamati apa yang dilakukannya, dan benar saja dugaanku dia memeras busa untuk cuci piring ke dalam cangkir kopiku.
“lei come yiu kem co a bobo?”
Dia terkejut ketika tiba-tiba aku bediri di belakangnya dan bertanya mengapa dia melakukan itu.
Aku tak tahu harus berbuat apa, mengadukan kelakuannya kepada anak-anaknya pun hanya akan menyusahkan posisiku.
Sejak itu aku lebih meningkatkan kewaspadaanku. Air putih pun terpaksa kuletakkan dalam botol minum dan kukunci di dalam lemari pakaianku. Aku tak ingin terjadi hal hal yang tak kuharapkan.

Perjuanganku di negeri orang kali ini kurasa berat, dan bertambah lagi bebanku manakala kudengar dari cerita orangtua dan anakku bahwa Heru mulai berubah. Dia mulai jarang mengunjungi anak kami yang kutitipkan pada orangtuaku, ketika kutanyakan hal ini padanya dia selalu bilang sibuk.
Aku tak percaya begitu saja, jujur instingku sebagai seorang istri mengatakan suamiku mulai tergoda wanita lain.

Sore itu tiba-tiba Heru menghubungiku, dia mulai menyalahkan aku karena meninggalkanya bertahun tahun, dia menyalahkan aku karena tak pernah memahaminya. Singkat cerita dia menceraikan aku karena wanita yang selama ini menjadi teman selingkuhannya hamil dan menuntut untuk dinikahi.

Duniaku serasa gelap, bertahun-tahun aku membanting tulang untuk kesejahteraan keluargaku, untuk masa depan anakku dan sekarang suamiku menceraikan aku.

Aku terpuruk, aku terluka setengah mati, tapi kondisiku memaksa untuk harus tetap tegar. Aku tetap melakukan tugasku seperti biasa. Masa kerja yang rencanaya hanya 2 tahun kuperpanjang lagi, aku tak ingin bertemu Heru.

Kini 4 tahun berlalu sejak peristiwa itu, hatiku tak lagi berdarah mengingatnya. Perihnya memang masih terasa tapi aku harus pulang untuk anakku tercinta.

rekomendasi cerita sadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang