menelan takdir tuhan

15 1 0
                                    

Bangunan letter U berdinding gribig bambu itu mendadak membisu. Sepuhan angin sejuk dari arah selatan pegunungan sana terasa hambar. Derap langkah kaki-kaki jenjang nampak terseok berjalan ke arah masjid di halaman utama, terlihat seakan tak bernyawa. Begitupun gema adzan shubuh dari speaker masjid, melengking merdu menyambut bola raksasa kemerahan di ufuk timur, juga terdengar hampa dan kosong. Seperti tak tampak denyar-denyar nafas kehidupan, walau kenyataannya bangunan itu berjamur, disesakki beribu makhluk pencari nur ‘ilmi.

Sunyi dan senyap, layaknya bangunan tua tak berpenghuni warisan nenek moyang sekian abad silam. Tetapi denyut nadi mereka mengabarkan bahwa mereka masih hidup. Bukan jasad yang teronggok mati-kaku, melainkan nafas-nafas himmah kehidupan mereka yang nyaris direnggut maut. Bahkan perlahan sirna, berpisah jauh entah kemana. Hampa dan hambar ialah dua kata yang pantas untuk menggambarkan suasana bangunan itu –pagi ini, Pondok Pesantren Kebon Bambu Al-Islamy. Ya, usai beberapa puluh jam lalu malaikat maut dari langit menjemput sosok berambut kapas itu. Dia, sosok yang disegani, dimuliakan dan dihormati setiap buah bibir, tanpa praduga ataupun pertanda.

Bakda shubuhan kemarin aktivitas sakral para santri berjalan normal, mengaji di setiap sudut-sudut pondok. Riuhan mereka menelusuk tiap jengkalnya, terasa sejuk dan damai. Tak tergoyahkan walau angin pegunungan membisikkan dingin.
Sama sekali tak ada yang tahu atau sekedar isyarat umum bahwa bencana memilukan akan terjadi di detik-detik selanjutnya.

Tepat pukul lima lebih seperempat menit dari arah kantor pusat Kang Fatih -kepala pondok tergopoh menuju griya pengasuh. Satu menit selanjutnya menyusul dua pengurus lainnya, berlari dan membendung cemas di wajah. Sekonyong-konyong mobil Avanza hitam di bagasi menyala, tiga pengurus tadi dan dua orang lelaki lainnya buru-buru sekali membopong tubuh kaku, keluar dari pintu griya. Bu Nyai Aisyah dan Ning Salma mengekor di belakang, seberkas mendung menggelayut di wajah keduanya. Tatkala mobil itu bergegas melaju cepat meninggalkan pondok, sontak berbagai pertanyaan mencuat cepat diantara wajah-wajah santri yang menyaksikan kejadian ganjal pagi itu. Tatapan cemas, ragu dan takut bercampur menjadi satu tanpa berujung pada sebuah jawaban pasti.
“Apa yang terjadi sebenarnya?”
“Siapa yang barusan mereka bopong? Abah Anwar kah?”
“Mengapa mereka buru-buru sekali memasuki mobil?”
Mereka tak berani menjawab yakin, sebab fakta belum terbaca di depan mata. Selanjutnya mereka cukup mengatupkan doa-doa kebaikan kepada Sang Khalik, atas pemandangan samar itu. Menilik entah siapa sebenarnya sosok tubuh yang dibopong itu.

Tetapi doa hanyalah doa dan ikhtiar hanyalah ikhtiar, jika ternyata takdir Tuhan menjawab lain mau bagaimana lagi? Makhluk hina seperti mereka hendak berbuat apa? Melawan takdir ataukah cukup menelan bulat-bulat tanpa sisa?

Hingga ternyata sekitar pukul tujuh, sang waktu mengabarkan angin kepiluan tanpa menelusup permisi pada keadaan. Kang Fatih turun dari motornya, lantas berlari ke arah kantor pusat. Kucuran deras air mata menganak sungai di kedua belah pipinya. Isak tangis menyayatnya mampu membuat lidahnya kelu untuk sekedar menjawab sapaan saat beberapa pengurus menghadangnya penuh tanda tanya cemas.

Dengan suara bergetar menahan isak tangis tertahannya, Kang Fatih mulai memecah suasana pagi dan segala aktivitas para santri di setiap sudut-sudut pondok. Seperti halnya terserang sengatan listrik beribu volt, sejurus mereka diam, terkesiap. Telinga mereka pasang baik-baik, karena awal dari ucapan Kang Fatih saja sudah dapat mengirim denyut kepiluan.
“Hiks… hiks… innalillahi wainnalillahi rooji’uununn. Telah ber..puulang ke rahmatullaaah, kyai kitaa hiks… guru kita, almukarrom KH. Anwar Muhammad. Huhuhu… pagi tadi ba’da shubuh. Dimohon santri-santri segera bergegas mengambil air wudhu, berkumpul di masjid untuk membacakan ayat al-qur’an untuk beliauu..,”
Plass… pada detik itu juga waktu seakan terhenti tanpa kendali. Nafas-nafas seakan terhenti, denyut nadi terhenti, aliran darah terhenti. Semuanya terhenti untuk beberapa saat usai telinga mereka menangkap jelas kabar bencana memilukan itu.

rekomendasi cerita sadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang