anakku rumbun

4 0 0
                                    

Malam ini aku merasa bimbang menunggu kepulangan anakku Rumbun. Tak seperti biasanya dia pulang selarut ini. Rumbun anakku itu setiap harinya selalu mengemban tugasnya sebagai tulang punggungku dengan bekerja untuk para tentara. Upahnya tak sebanding dengan apa yang dikerjakan. Peribahasa “apa yang kau tanam itulah yang kau petik” sudah tidak berarti jika tentara bangsat itu masih mendiami alam raya ini.

Telah lama waktu berlalu, akhirnya anakku Rumbun pun datang jua. Dia pulang dengan kelelahan yang membebaninya. Baju yang menutupi sekujur tubuhnya berlumur tanah dan darah. Perasaanku semakin menggebu-gebu dibunuh lara.

“Dari mana saja kamu bun? Ada apa dengan bajumu?”
“Aku ada dapat tambahan pekerjaan bu, menyembelih babi.”
Kuharap jawaban itulah yang jujur dari mulut anakku Rumbun. Tetapi suara hatiku berkata bahwa Rumbun berbohong kepadaku. Belati kecemasan makin dalam menusuk hati. Pada saat aku ingin menanyakan lagi kepada anakku, dia langsung mengeluh lelah dan ingin beristirahat. Malam itu belati kecemasan masih tertancap di hati hingga aku tidur dalam keresahan.

Pagi sebelum fajar mengangungkan dirinya aku bangun tertegun. Air keringat mengalir di sekujur tubuhku dengan anggun. Sejenak aku terdiam karena mimpi tersebut. Aku tahu itu hanya mimpi, tetapi mimpi ini benar-benar terasa asli. Aku meringsut bangun untuk membenahi tubuhku yang letih.
Aku berjalan melewati foto keluarga kecil kami. Sejenak aku termenung melihat sedih. Kesedihan yang amat sedih karna aku mengingat kembali memori-memori kala suamiku masih di sisi. Kulihat senyum menghiasi wajah kami dan tak terlihat luka di hati.

Rumbun menjadi sedikit apatis ketika ayahnya telah mati dibunuh oleh kelompok penjarah bangsat itu. Ayahnya menuntut segala hak yang dirampas mereka tanpa berbelas-kasih. Ayah Rumbun disebut sebagai penyuara kebencian dan dianggap virus yang akan merusak kedamaian daerah kami.

Aku tak sanggup lagi meratapi kesedihan ini. Aku berjalan ke dapur untuk memasak nasi dan membuat segelas kopi. Kesunyian terpecah ketika ada yang mengetuk pintu rumah. Belum sempat kumelangkah, tiba-tiba Rumbun keluar dari kamarnya dan membukakan pintu untuk seorang tamu.

Wagimin dan Soedarmadi terlihat masuk ke rumah. Aku melemparkan senyuman ke wajah mereka. Rasa curiga mengitariku karena sepagi ini Rumbun telah menerima tamu seorang penyuara kebencian sama seperti almarhum suamiku.
Obrolan mereka terlihat samar-samar dan tak kumengerti. Tetapi aku memperhatikan ada yang serius pada obrolan mereka pagi ini. Niat hati untuk membuat kopi kepada mereka bertiga, tiba-tiba Rumbun menghampiriku untuk meminta izin pergi.

“Mau ke mana kamu, bun?”
“Membantu Pak Wagimin membajak sawah, bu.”
“Jaga dirimu, jangan membuat hal yang ceroboh.”
“Iya bu.”

Mereka pergi dengan meninggalkan segudang kecemasan di hati. Bara api rokok di sela jariku terus saja mengalir saat aku terpaku melihat keluar pintu. Aku begitu takut karena Rumbun bergaul dengan orang-orang penyuara kebencian yang sama saja dia telah melangkahkan kaki kanannya ke kematian.

Para segerombolan penyuara kebencian itu sangat ditakuti warga. Tentara bangsat itu tidak akan mentolerir siapa saja yang akan “merusak perdamaian”. Sama seperti suamiku yang hilang saat tentara itu ketakutan dengan suara lantangnya yang menuntut hak rakyat desa.

Di pekarang kecil belakang rumahku, aku menatap langit dengan rasa cemas membunuhku. Selaras timbulnya fajar begitu pula tegukan kopi terakhir di tangan.

Keluar aku menyapu beberapa daun kering di depan rumah. Tampak segerombolan tentara berjalan dengan muka bengis mengenakan umbai-umbai di tengkuknya. Mereka membawa beberapa gadis belia. Di belakangnya, ada orangtua gadis itu yang menangis rerintihan karena ditinggal paksa.

Pemandangaan ini adalah hal yang biasa. Tindakan semena-mena dan main hakim sendiri, maupun pemerk*saan terhadap gadis belia. Dengan sedikit tuduhan tanpa bukti yang dilakukan oleh perusak kedamaian: maka penamparan, penjemuran dan pemenggalan kepala adalah hal yang lumrah. Setiap mereka datang, fajar seakan mengeluarkan darah.
Kuyakin para gadis belia tersebut tak akan pernah kembali. Sebelumnya juga banyak gadis yang dibawa. Mereka akan diperk*sa tentara dan setelahnya mereka akan dimasukkan penjara atau dihilangkan secara paksa.

Teringat aku pada tempo hari ketika para penjarah itu baru menjejakkan kaki di desa. Semula kedatangan mereka dielukan penduduk, yang dikira akan membantu mereka untuk mensejahterakan desa. Tetapi kenyataannya tentara itu malah merampas hasil bumi dengan beringas.

Kami tak dapat melawan. Karena jumlah para tentara terlalu banyak dengan membawa senjata mesin. Kami hanyalah penduduk biasa dengan keahlian berladang. Mereka dengan ringan tangannya membunuh penduduk di depan muka. Untuk menghindari penangkapan, biasanya kami lebih suka mengaku sebagai petani. Karena para tentara sangat membutuhkan produksi pangan untuk kepentingan perang mereka.

Tetapi berbanding terbalik dengan kondisi para penduduk. Kelaparan dan kurang gizi melanda. Banyak penduduk yang harus antri untuk mengisi perut kerempeng mereka.
Tak sanggup kumelihat penyiksaan ini, aku lalu masuk rumah melanjutkan aktifitas sebisanya.

Jingga menunjukkan wajahnya. Rumbun pulang ke rumah bersama Soedarmadi dengan wajah yang murka. Di ruang tamu, mereka berbicara dengan amarah.
“Wagimin bangsat! Penghianat!”, teriak Rumbun.
“Tak kusangka dia mengabari kepada tentara bahwa kaum muda dan para cendekiawan lainnya terlibat musyawarah pemberontakan.” , balas Soedarmadi.
“Sebaiknya kita melarikan diri, sebelum Wagimin makin banyak membocorkan atas keterlibatan kita.”

Berjalan Rumbun menghampiriku. Kulihat tatapannya penuh amarah. Dia langsung menyuruhku berkemas dan pergi sejauh-jauhnya dari desa. Aku tak tahu pasti apa alasan Rumbun menyuruhku pergi. Tetapi yang kutahu pasti akan terjadi sebuah peristiwa yang tak diinginkan penduduk desa.

Aku bergegas pergi bersama anak-anak dan para orangtua.
“Bu, hati-hati di jalan.”
“Kamu tidak ikut ibu, bun?”
“Nanti aku menyusul, ada sesuatu yang tak bisa kutinggalkan.”
Itulah pesan Rumbun kepadaku, “hati-hati”. Kutahu kondisinya dan Soedarmadi lebih berbahaya dariku. Merekalah yang perlu dan memang harus perlu berhati-hati.

Dengan jalan sempoyongan aku tiba di desa seberang yang tak pernah tercium darah akibat tentara. Perjalanannya membutuhkan waktu 5 jam dengan jalan kaki. Aku bersama penduduk mengungsi di rumah balai desa tetangga. Seminggu di sana, aku tak mendengar kabar tentang anakku. Terdengar berita bahwa penduduk desa kami dibantai habis sehabis-habisnya oleh para tentara. Para feodal lokal, cendikiawan, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga rakyat jelata, dari berbagai etnik, suku maupun agama di desa tak kunjung menyusul kami. Begitu pula anak semata wayangku, Rumbun.

Sudah sebulan kami di sana. Kami memberanikan diri untuk kembali ke desa dengan membawa bekal berita bahwa tentara sudah pergi dari desa kami. Sesampainya malam hari, tak ada satupun tanda kehidupan. Hanya ada darah dan mayat bergelimpangan di jalan. Tapi tak kutemukan Rumbun walaupun dia sudah menjadi mayat.
Malam itu belati kecemasan masih tertancap di hati hingga aku tidur dalam keresahan.

Pontianak, Rumah Datok, 01 Agustus 2017

rekomendasi cerita sadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang