HARI BERSAMAMU

9 1 0
                                    


Ah, di luar sedang hujan. Melihat hujan tiba-tiba rasa sedih dan rindu yang bercampur menjadi satu kembali memenuhi hatiku.

Aku merindukan Atha. Sahabatku yang entah masih mengingatku atau tidak. Memoriku tentang Atha tiba tiba berseliweran dalam pikiranku. Aku mengingat di depan rumahku, Atha dan Aku mandi hujan sambil mengeruk tanah. Saat itu tiba-tiba badanku menggigil.

“Mira, kamu kenapa?” Atha menghampiriku.
“Gapapa, Tha” Aku memeluk badanku sambil menggeretakan gigiku.
“Badanmu dingin banget. Masuk, yuk” Atha merangkul bahuku dan membawaku masuk ke dalam rumah.

Atha membawa 2 handuk di lengannya dan 2 cangkir cokelat panas di tangan kiri dan kanannya. Atha menaruh cangkir-cangkir itu diatas meja dan menyodorkan handuk kepadaku.
“Keringin rambutmu” Kata Atha. Aku menerimanya dan menggosok-gosok kan handuk ke kepalaku.
“Jangan lupa minum cokelatnya” Lanjut Atha. Ia mengambil cangkir dan meminumnya. Aku juga mengambil cangkir dan meminum isinya.

“Mandi sana, Ra” Atha menyuruhku sambil melirikku. Aku membalas lirikannya.
“Entaran, masih dingin” Balasku.
“Atau mau aku mandiin?” Tanya Atha sambil tersenyum penuh makna(?). Aku merasakan mukaku memanas. Aku berdiri dan memukul bahunya.
“Dasar mes*m!” Aku berlalu dari ruang tamu menuju kamar mandiku.

Hah, segar sekali setelah mandi rasanya. Aku berjalan ke ruang tamu dan Atha masih disana.
“Loh, Tha? Belum pulang?” Tanyaku. Atha menggeleng. Aku duduk di sampingnya. Kami pun mulai membicarakan tentang hal-hal di sekolah. Setelah kurang lebih lima belas menit kami mengobrol, Atha pamit.

“Ra, aku pulang dulu, ya. Jangan lupa kerjain PR Ipa, tar aku nyontek” Canda Atha sambil pergi. Ketika aku mau masuk ke kamarku, Mama datang membawakan 2 mangkuk sup ayam yang bau nya saja sudah membuat perutku keroncongan.
“Loh, Atha udah pulang ya? Yaudah deh supnya buat Mama aja” Kata Mama bermonolog sendiri. Aku mengambil semangkuk sup dan membawanya ke kamarku.

Ketika aku ingin mengerjakan PR Ipa, tiba-tiba kepalaku rasanya pusing sekali. Aku membereskan bukuku dan tidur.

Tak lama kemudian Mama memanggilku untuk makan malam.
“Ra, makan dulu” Sahut Mama.
“Duluan aja Ma, kepalaku pusing” Balasku.

Tiba-tiba Mama sudah berdiri di depan pintu kamarku dan menghampiriku.
“Badanmu panas, Ra. Mama kompres, ya” Mama turun mengambil selembar kompres dan menaruhnya di dahiku. Aku kembali tidur.

Keesokan harinya aku merasa panasku sudah turun. Aku bangun dan turun untuk menonton TV.
“Pagi, kak” Sapa Mbak Heni, asisten rumah tangga ku.
“Pagi, mbak” Sapaku balik.
“Kebetulan nasi gorengnya udah mateng, kak. Mau diambilkan sekarang?” Tanya Mbak Heni.
“Boleh” Balasku. Mbak Heni berlalu dari sana dan kembali dengan membawa piring berisi nasi goreng dan air mineral.
“Makan, mbak” Ajakku.
“Lanjut, kak” Tolak Mbak Heni. Aku mengangguk dan mulai makan sarapanku.

Tak masuk sekolah ternyata membosankan juga. Aku memencet tombol remote berulang kali. Namun aku belum menemukan channel TV apa yang ingin aku tonton. Disaat aku ingin tidur, tiba-tiba Atha datang.
“Mira! Badanmu masih panas gak?” Serbu Atha. Aku menggeleng.
“Udah mendingan, kok” Balasku singkat.
“Syukurlah. Ngomong-ngomong, aku minta maaf, ya” Kata Atha. Aku mengerenyitkan dahiku heran.
“Minta maaf buat apa?” Tanyaku heran.
“Gara-gara aku ngajak kamu mandi hujan kemarin, kamu jadi sakit” Balas Atha. Aku hanya tertawa ringan.
“Kamu ngapain minta maaf, kamu gak salah kok. Kan aku juga kemarin ngajak kamu mandi hujan” Kataku sambil tersenyum.
“Jadi kamu nggak marah?” Tanya Atha. Aku menggeleng.
“Eh, aku marah sama kamu gara-gara kamu jenguk aku tapi gak bawa makanan” Candaku sambil memalingkan muka dari Atha. Aku berakting pura-pura marah.
“Jangan marah dong. Nih, aku bawa makanan” Atha mengambil sisa cemilan ku diatas meja dan menyodorkan nya kepadaku.
“Itumah jajanku. Ga kreatif ah kamu” Balasku sambil menerima cemilan itu. Kami berdua tertawa-tawa.

Aku tersenyum mengingat kenangan itu. Tiba-tiba aku teringat kenangan yang membuatku sangat terpuruk bila mengingatnya.

Hari Minggu Aku dan Atha bermain-main ke Taman Bermain yang baru dibuka di dekat Sekolahku. Kami berdua sudah merencanakan pergi kesini seminggu sebelumnya. Aku merasa sangat excited. Saking excitednya aku menyeberang tanpa melihat ke kanan dan ke kiri. Tidak tahu kalau ada mobil yang melaju dengan kencangnya. Atha berteriak.
“Mira, awas!” Aku merasakan tubuhku terdorong dan terjatuh ke pinggir jalan. Aku melihat Atha terpental beberapa meter dari tempatku terjatuh. Dari situ jantungku serasa berhenti berdetak.

“ATHA!” Aku berlari ke tempat Atha yang tergolek lemas di tengah jalan. Aku terisak-isak. Orang-orang mulai berkumpul. Sang penabrak mulai bergabung dalam lingkaran orang-orang itu.

“Dik, saya antar yuk ke rumah sakit” Ajak Penabrak itu. Aku mengangguk. Penabrak mulai mendekati Atha dan menggotong Atha masuk ke dalam mobilnya. Aku mengekor dari belakang dan ikut masuk ke dalam mobil. Setelah sampai di Rumah Sakit, Atha langsung dibawa ke ruang operasi.

“maaf Mas, boleh pinjam handphonenya? Saya mau mengabari orangtua teman saya” Kataku sambil menghapus air mataku. Penabrak itu mengambil handphonenya dari kantong celananya dan menyerahkan kepadaku. Aku mengetik nomor telepon Mama Atha dan meneleponnya.

“H-halo Tante?” Sapaku terbata-bata. Aku merasa nervous sekarang.
“Halo Mira. Ada apa sayang?” Tanya Mama Atha.
“Anu, Atha dia-“
“Atha kenapa?” Tanya Mama Atha.
“Dia kecelakaan. Sekarang lagi dioperasi” Sambungku pelan.
“Innalillahi. Sekarang kalian dimana?!” Tanya Mama Atha yang kutebak dari nada suaranya saat ini sedang gusar.
“Di rumah sakit dekat Kantor Walikota, Tante” Balasku.
“Oke, tunggu Tante disana. Tante segera datang” Ujar Mama Atha. Ia memutus sambungan teleponnya. Aku mengembalikan handphone itu ke Sang Penabrak.

“Dik, maaf ya. Tadi saya sedang bertengkar dengan pacar saya lewat telepon sehingga saya tidak sadar kalo saya menambah kecepatan mobilnya” Ujar Penabrak itu. Aku menoleh ke arahnya.
“Saya juga minta maaf, Mas. Tadi saya terlalu excited ke Taman itu sehingga gak melihat ke kanan dan ke kiri dulu sebelum menyeberang” Ujarku.
“Jadi kita sama-sama salah” Balas Penabrak itu sambil tersenyum kecut. Aku juga tersenyum kecut.

Tak lama kemudian Mama Atha dan Papa Atha datang menghampiriku dan Sang Penabrak. Air mataku mulai menggenang lagi.
“Mira, gimana keadaan Atha sekarang?” Serbu Mama Atha.
“Belum ada kabar dari dokter, Tan” Balasku. Air mataku kembali luruh.

“maaf sebelumnya Pak, Bu. Saya tidak sengaja menabrak anak Bapak karena tadi saya sedang bertengkar dengan pacar saya lewat telepon sehingga saya tidak sadar kalau saya menambah kecepatan mobilnya. Sebagai permintaan maaf, saya akan membiayai semua pengobatan anak Bapak. Bapak juga bisa menuntut saya bila mau” Jelas Penabrak itu panjang lebar. Papa Atha tersenyum simpul.
“Tidak apa-apa, Mas. Saya tidak akan menuntut Mas” kata Papa Atha.

“Tante, Mira minta maaf udah bikin Atha kecelakaan” Mohonku kepada Mama Atha.
“Gapapa, Mir. Ini mungkin udah takdirnya Atha” Mama Atha memelukku. Aku membalas pelukannya. Kami sama-sama menangis.

Setelah sekitar 2 jam kami menunggu, dokter keluar dari ruang operasi dengan raut wajah murung.
“Bagaimana keadaan anak saya dok?” Tanya Papa Atha kepada dokter. Dokter memandang ke arah Papa Atha dan menghela napas.
“Pendarahan di otaknya cukup parah pak. Kami berusaha menghentikan pendarahannya namun sia-sia. Darahnya terus mengalir sehingga anak Bapak kehabisan darah. Maaf, Pak. Dengan ini saya nyatakan bahwa anak bapak telah pergi meninggalkan kita semua” Jelas dokter itu panjang lebar.
“innalillahi wa innalillahi rajiun” Ucap Sang Penabrak. Mama Atha limbung. Dengan sigap Papa Atha menangkapnya. Aku merasakan kakiku lemas dan tanpa sadar aku terjatuh. Aku menangis tersedu-sedu.
“ATHA!”

Aku berusaha menghapus air mata yang tak henti-hentinya terus mengalir. Aku terduduk dan menangis. Aku sangat merindukan Atha. Semoga kamu tenang di alam sana, Tha.

Atha POV
Aku memandangi Mira yang sedang menangis tersedu-sedu. Aku perlahan menghampirinya dan duduk di hadapannya. Aku menyentuh wajahnya mencoba menghapus air matanya. Namun, aku tak bisa. Ah, iya. Kami sudah beda alam. Aku menunduk menyadari hal itu. Aku memeluknnya walaupun badanku tembus.

“Jangan menangis, Mira. Aku juga merindukanmu. Sangat merindukanmu.”

rekomendasi cerita sadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang