***
Hello guys!
author mau update lagi, siapa nih yang udah tungguin kisah Bellova. Hayoo ... ngaku. Yaudah, kalau gak ada yang mau ngaku.
Happy reading all!
***Aroma makanan yang berada di meja seakan memangil-mangil untuk segera di konsumsi. Terhitung lima belas menit sudah terlewati, keduanya masih berada pada posisi yang sama yaitu saling bertatapan di meja makan dengan tatapan penuh selidik sembari menunggu Bellova keluar dari berganti pakaian.
“Bellova …,” panggil Kael dengan suara lembutnya, tak mau makin merusak mood Bellova.
Tak lama setelahnya, Bellova keluar dari kamarnya dengan baju tidur, dan mata sayunya. Menyimpan tangannya di saku, lalu berjalan dengan santainya menuju meja makan dengan memperhatikan motif ubin-ubin lantai yang terlewat.
“Pa, Ma, Makan,” ujar Bellova yang langsung mengambil peralatan makan, mengonsumsi makanan dengan keheningan yang menghiasi ruang makan. Terdengar suara sendok, dan garpu yang saling beradu, terampai menjadi pengisi suara pada ruang sunyi.
Kael, dan Shakina mengikuti Bellova langsung mengonsumsi makanan di piringnya tanpa ada yang memulai perbincangan sama sekali. Kebersamaan mereka yang biasanya dihiasi oleh riuh dari gadis berambul ikal yang sangat suka menceritakan harinya itu, tiba-tiba sirnah begitu saja. Hal yang tak tampak hari ini, dan sangat dirindukan oleh keduanya.
Keduanya saling bertatapan dengan dahi mengernyit penasaran di tengah mulut mereka yang masih penuh dengan makanan. Sungguh, suasana seperti ini lah yang tak disukai keduanya karena kehangatan keluarga tak terlalu dirasakan di sana.
Mereka mencoba untuk memutar otak, memikirkan solusi sekaligus menatap penuh selidik pada Bellova yang selalu berusaha memalingkan pandangan setiap kali ditatap oleh mereka. Membuat mereka berpikir ada sesuatu buruk yang menimpa anak semata wayangnya.
“Lov ….” Kael menatap lekat Bellova, ada rasa penasaran sekaligus iba yang bercampur di sana.
“Iya, Pa,” sahut Bellova dengan mata sayunya, melihatnya dapat membuat orang menyipulkan, bahwa gadis itu tengah kelelahan. Entah apa yang membebani pikirannya sampai seperti itu, yang terpenting yang dibutuhkan gadis itu sekarang adalah support dari orang-orang terdekatnya.
Kael beranjak dari kursinya, menarik kursi itu makin mendekat dengan kursi gadis itu yang tengah murung. Ah iya, jangan lupa wajah masamnya yang sedang bersusah hati. Diikuti oleh Shakina yang makin mendekat ke arah Bellova.
Mereka serempak memberikan pelukan hangat, saling berpelukan menyalurkan rasa sayang mereka sebelum melontarkan pertanyaan. Menatap lekat Bellova kemudian menghela napas melihat guratan sedih yang terlukis sempurna pada wajah gadis itu.
“Lov ….” Kael memiringkan kepala, kemudian menyentuh pergelangan tangan Bellova yang menutupi wajahnya, dan tersenyum lebar.
Bellova tersadar dari lamunannya, sedari tadi dia, bahkan tak sadar sudah diberikan pelukan oleh kedua orang tuanya. Tatapannya kembali kosong setelah kedua orang tuanya mendekat ke arahnya, ada rasa takut untuk mengecewakan keduanya karena nilai Bellova yang sedikit menurun pada tiga bulan terakhir.
Apa yang membuatnya seperti itu? Sepertinya gadis itu terlalu banyak bersenang-senang sehingga hampir melupakan waktu belajarnya yang semakin sedikit karena sempat terjeda oleh rehat karena kakak kelasnya yang sedang ujian.
Gadis itu kembali menatap ke depan, melihat kedua orang tuanya yang sudah menatap cemas sekaligus penuh selidik atas aksinya hari ini yang benar-benar berbeda dari biasanya.
“Anak Papa yang cantik kenapa ngelamun terus?” tanya Kael dengan lembut sembari menyelipkan pujian di antaranya.
“Pasti Bellova lagi pikirin sesuatu yang berat ya?” duga Shakina mengusap sedikit jemari Bellova yang dimainkan mengetuk meja. “Kalau Lov-lov mau cerita, feel free, kok. Kita gak mau kalau Bellova pikirin hal berat sendirian, mendingan Bellova cerita biar kita bisa bantu Lov-lov, dan kita cari solusinya sama-sama,” tambahnya sekaligus mengangguk ringan.
Bellova kembali tersenyum kecut seperti tak ada masalah, berusaha jujur dengan nilainya, tetapi untuk saat ini gadis itu belum siap menceritakannya karena rasa takutnya lebih besar.
“Maaf, Pa, Ma. Lov-lov belum siap ceritain semuanya,” sesal gadis itu makin memasamkan wajahnya.
Keduanya terhenyak melihat senyum palsu putrinya yang sangat berarti menyembunyikan luka dalam-dalam. Mengubur dalam sebuah gundukan tanah untuk menutupi segalanya. Ada rasa sedih di hati mereka, karena merasa tak bisa mengurangi pikiran berat putri semata wayangnya yang mengakibatkan keheningan pada meja makan hari ini.
Bellova berpamitan, pergi mengurung dirinya sendiri di kamar sembari memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan sendu. “Arghh … kenapa lo gak bisa terus terang aja, sih?” kesalnya dengan meremas sebagian rambut ikalnya.Mulutnya benar-benar kaku seperti semesta menyuruhnya untuk bungkam akan keresahannya hari ini. Gadis itu sangat tak tahan untuk menutupinya, ada rasa sesak di dadanya karena tak berbagi kisahnya. Padahal ia mengerti, kedua orang tuanya tak akan menghakiminya begitu saja. Namun, rasa takut menghadapi kekecewaan kedua orang tuanya itu sudah menghantam relung hatinya hingga membuatnya sudah tak tahan dengan keadaan ini lagi.
Hanya rasa lelah yang dapat mengambarkan isi otaknya sekarang. Pikirannya terasa begitu berbelit-belir karena nilai rapor yang terdapat stabilo itu. Memang, gadis itu mendapatkan nilai yang lebih baik dari sahabatnya Della, tetapi gadis itu tetap merasakan kecewa yang berlebihan karena penurunan nilainya yang cukup signifikan.Malam itu dilewatinya dengan lamunan yang sangat panjang, ia juga telah merubah posisinya berkali-kali karena selalu merasa tak nyaman. Gadis itu mencoba berdiam diri, mengira hal tersebut akan membawa rasa tenang pada dirinya. Menatap sinar rembulan sembari merenung akan kesalahan yang menyebabkan dirinya menerima nilai tak memuaskan berlalu.
Tanpa sadar air matanya ikut mengalir deras hingga membasahi pipinya. Jujur saja, dia tak bisa bertahan dengan keheningan yang diciptakannya sendiri. Ia ingin meluruhkan seluruh tembok hingga dapat memiliki relasi dekat dengan orang tuanya lagi.
Ia tak mau berlama-lama lagi dalam situasi ini, ingin segera pergi menemui kedua orang tuanya. Tak mau menyia-nyiakan waktu yang hilang bersama keluarganya. Bellova langsung mengusap air matanya, beranjak dari kasurnya, lalu bergesa-gesa menuju kamar orang tuanya yang tak jauh dari kamarnya.
Mengetuk pintu tersebut dengan semangat, menghampiri, dan memeluk. Mengakui apa yang membuat hatinya resah malam ini.
“Tok-tok-tok!”
“Mama, Papa!” panggil Bellova memangil kedua orang tuanya dengan semangat. Gadis itu sudah kembali seperti semula, tetapi ia belum puas jika belum berterus terang kepada kedua orang tua.
Terpantau sudah sepuluh menit lamanya, gadis itu terdiam, belum ada jawaban juga dari kamar orang tuanya. Ia menebak kedua orang tuanya sudah tertidur lelap terlebih dahulu. Bellova mengembuskan napasnya panjang, menunggu cukup lama, tetapi tak kunjung mendapatkan balasan.
Bellova yang awalnya bersemangat mulai berputus asa, sepertinya ia harus menunggu besok untuk memberitahukan kedua orang tuanya. Ada rasa resah di hatinya, dan sekuncup penyesalan karena tak mau memberitahunya sejak tadi.
Gadis itu membalikkan badan, mengambil langkah lebar menjauh dari ambang pintu kamar kedua orang tuanya dengan bibir yang sudah terkerucut. Ia benar-benar menyesal.
***
Thank you buat yang udah baca cerita part 16 ini sampai akhir.Buat kalian yang suka sama ceritanya. jangan lupa tinggalin komen dan votenya ya. Biar Bellova makin semangat.
Ditulis dengan 1016 kata.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Setetes Rasa [ END]
Teen Fiction[Adu Jotos batch 3 HWCPUBLISHER] kisah seorang perempuan yang sangat dicintai keluarganya dan tiba-tiba sebuah situasi merubah kehidupannya 180 derajat Start: 27 Januari 2022 End: 12 Maret 2022 DILARANG PLAGIAT!! CERITA INI DIIKUTKAN DALAM EVENT AD...