Bab 23: Senyuman Terakhir

4 4 0
                                    

Senyum terpatri di antara keduanya, ikut berhabagia di antara kebahagiaan yang menyelimuti pagi yang cerah ini. Mereka berdua berjalan beriringan, bersama-sama mengeratkan genggaman tangan di antara keduanya menuju mobil dengan Bellova yang sudah berada di depannya.

“Papa, Mama lama amat, sih,” protes Bellova sudah tak sabar.

“Hahaha, bentar-bentar Lov. Papa masih panasin mesinnya,” sahut Kael tersenyum.

“Lov-lov semangat banget, padahal kan, Lov-lov gak tahu kita mau pergi kemana,” timpan Shakina sedikit memiringkan tubuhnya, memandang wajah cantik dari putrinya dengan mata berkaca-kaca seakan-akan melihat wajah itu terakhir kalinya. Ia tersenyum, menyembunyikan mata berkaca-kaca tersebut agar tak menimbulkan kecurigaan bagi putrinya.

“Oh iya.” Bellova menepuk dahinya, karena terlalu semangat berlibur. Ia bahkan lupa menannyakan destinasi mereka ke mana. “Lov-lov terlalu semangat, Ma. Mangkannya Lov-lov sampai lupa tanya,” ujar Bellova dengan wajah tak bersalah, dan malag cengegesan.

Gadis itu masih penasaran, ia terus menanyakan pada Kael, tetapi lelaki itu benar-benar merahasiakannya.

**
Akhirnya, mereka berangkat berlibur. Di dalam mobil, Bellova benar-benar tidak bisa diam, bercolet apa saja mulai dari hal penting hingga tak penting, mulai membahas keluarga hingga membahas pelajaran mengesalkannya di sekolah.

Mereka bertiga ikut terhanyut dalam obrolan, dan mengisi mobil yang diisi tiga manusia itu dengan riangnya. Sesekali Shakina tersenyum menghadap belakang, sementara Kael melihat Bellova yang kegirangan dengan tersenyum melalui kaca spion tengah mobil.

Membuat lelaki paruh baya itu sedikit keluar jalan, tak terkendali, dan tiba-tiba terlihat truk yang melaju dengan cepat menghantam mobil tersebut hingga terpelanting. Jeritan Bellova terdengar sangat jelas ditambah melihat kedua orang yang di sayang dalam keadaan parah kemudian pandangannya menghitam beberapa saat setelah kepalanya terhantam dengan keras ke jendela mobil hingga pecah.

Pengendara lain tampak kebingungan menyaksikan kejadian yang begitu naas itu, berhenti seketika. Muncul rasa iba di antara mereka setelah melihat darah yang sedikit terpuncrat saat mobil tersebut terbalik.

**
Mata gadis itu terpejam, tetapi telinganya mendengar suara panik, dan ambulan yang terus memenuhi suara-suara keributan tersebut. Perlahan air mata menetes dari matanya, dan sedikit berdesis. Ia melihat kedua orang tuanya dalam keadaaan parah berbaring di sebelahnya.

“Ka-kalian kenapa?” lirih Bellova dengan suara lemah.

Namun, setelah mengatakan perkataan itu makin membuatnya memilih untuk diam karena semakin ia berusaha menggeluarkan suara semakin terasa perih sekujur tubuhnya hingga membuat gadis itu berkali-kali meringis kesakitan.

Kedua bankar orang tuanya segera dibawa masuk ke dalam ruang tindakan. Sementara, gadis itu langsung dibawa ke ruang UGD karena lukanya lah yang paling tak parah sehingga masih diobati dengan peralatan-peralatan di UGD.

Pikirannya terasa berat, tetapi badannya yang semakin lama semakin lemas membuatnya terpaksa melupakan beberapa pertanyaan berat tersebut, dan memilih untuk memejamkan matanya sesaat.

Saat mata gadis itu masih terpejam, beberapa alat dipasangkan di tubuhnya seperti infus darah, dan obat-obatan yang langsung dijalankan dengan sigap oleh beberapa perawat di sana.

**
Beberapa lama kemudian, mata Bellova berangsur-angsur terbuka. Sekujur tubuhnya merasakan sakit, tetapi tubuhnya tak selemas sebelumnya. Ia berusaha beranjak dari tempat tidurnya karena merasakkan sesak di dadanya hingga membuat matanya berkaca-kaca.

“Jangan bangun dulu! Keadaanmu masih lemah,” ujar sang perawat berjubah putih tersebut.

Bellova tampak kebingungan, kenapa ia dapat berada disini? Ingatannya baru mengingat kejadian yang makin membuat dadanya semakin sesak, dan tiba-tiba khawatir dengan keadaan kedua orang tuanya.

“Ta-tapi, keadaan kedua orang tua saya gimana?” tanya Bellova memastikan perasaannya yang tak enak.

“Saya tunjukan nanti, tapi selesaikan dulu infus kamu sampai selesai. Tinggal dikit,” ucap perawat itu memalingkan pandangannya sepertinya ia menyembunyikan sesuatu.

Semakin lama, semakin tak enak juga perasaan Bellova. Perasaan itu seraya makin menghantamnya hingga membuatnya memandang kosong ke arah kantung infus tersebut.

“Papa, Mama gimana ya? Aku khawatir,” gumamnya di tengah lamunanya.

**
Bellova telah selesai mengenakan infusnya, seperti yang dijanjikan perawat itu. Ia dibawa menggunakan kursi roda ke lorong rumah sakit.
Disana tampak wajah-wajah panik dari beberapa orang yang berlalu-lalang. Membuatnya makin kebingungan, dan rasa sesak semakin menyelimuti dadanya. Feeling-nya sedari tak enak, memikirkan hal tersebut yang benar-benar membebani pikirannya. Bagaimana tidak, jika berada dalam keadaan seperi itu, pasti yang dicari adalah orang-orang yang di sayanginya. Siapa lagi kalau bukan kedua orang tuanya yang seingatnya mengalami keadaan lebih buruk darinya.

Tiba di depan ruangan tersebut, tampak seorang dengan stetoskop yang menggantung pada jubah putihnya. Bellova dapat menebak sosok tersebut adalah dokter yang bertugas, tetapi dirinya semakin dibuat cemas karena raut wajah dokter tersebut yang tampak tak ingin menyampaikan kabar yang berada di dalam diagnosanya.

“Dok, bagaimana keadaan kedua orang tua saya?” tanya Bellova memastikan. Ia masih berharap ada kabar baik yang di sampaikan dokter tersebut.

Dokter tersebut sepertinya benar-benar susah untuk mengucapkannya, ia menghela napasnya sejenak. “Apakah saya berbicara dengan keluarga Tuan Kael, dan Nyonya Shakina?” tanya dokter tersebut memastikan menyampaikan kabar yang benar.

“Benar, Dokter. Emang mereka berdua kenapa?” tanya Bellova dengan wajah semakin khawatir.

Dokter itu menghela napasnya berat. “Tuan Kael dalam keadaan kritis, tetapi mohon maaf … kami tak bisa menyelamatkan Nyonya Shakina karena beliau memiliki penyakit komorbid yang diperparah oleh kejadian tersebut.” Tangis Bellova pecah, mengetahui salah satu orang yang disayanginya meregang nyawa sementara yang lainnya harus bertahan melawan kondisi kritis.

Pintu ruangan tersebut di buka lebar keluarlah dua brankar, satu dari dua brankar tersebut ditutupi selimut, dan hanya menampakan jari lentik dari seorang perempuan yang sudah pucat pasih pertanda sudah tak bernyawa sementara membawa salah satu brankar lainnya dengan kondisi banyak alat-alat penunjang kehidupan yang terpasang pada tubuh lelaki tersebut.

Semakin histeris, ia makin melemas tubuhnya hingga berakhir dengan pingsan.

**
Bellova mengerjapkan matanya perlahan, menfokuskan pandangannya yang semula memburam. Mengedipkan matanya berkali-kali setelah melihat langit-langit ruangan putih dengan suara lantunan EKG yang menemani kesunyian di antara mereka.

Ia mulai mendudukan dirinya pada brankar tersebut, melihat sebelahnya terdapat lelaki yang disayanginya yang tak lain adalah Kael membuatnya menangis tersedu-sedu dengan kekuatan yang tersisa.

Perlahan, ia mulai menguatkan dirinya untuk mendekati brankar dimana Kael berbaring, kemudian duduk di kursi sebelah brankar. Mengusap-usap punggung tangan Kael, berharap ada keajaiban yang terjadi di antaranya.

“Pa, bangun,” ujar Bellova mengguncangkan sedikit tubuh Kael yang tampak tak berdaya itu. Sesekali gadis itu tampak merapalkan doanya berharap keajaiban, dan mujizat terjadi.

Setelah selesai merapalkan doa, jari tangan Kael bergerak, dan matanya yang semula terpejam sayu-sayu terbuka perlahan pastinya dengan wajah pucat tak berdaya karena untuk sementara ia harus bergantung pada alat-alat yang sudah terpasang pada tubuhnya.

Setetes Rasa [ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang