Bab 24: Sebuah Panggilan

15 5 0
                                    


“Lo … Lov-lov.”

Bellova mendongak dengan pipi yang sudah basah boleh tangisan yang berkali-kali sudah tumpah dari pelupuk matanya, melihat Papanya sudah sadar. Apakah ini keajaiban yang tercipta karena rapalan doa yang baru saja di sampaikan olehnya.

“Lov-lov, kamu mau ‘kan mengabulkan permintaan papa?” Tanpa berpikir panjang, Bellova langsung mengangguk-angguk dengan cepat.

“Papa ingin … kamu bersama dengan lelaki yang tepat, dan sepertinya Papa sudah tau siapa itu. Dia kekasihmu.” Bellova terdiam, apakah ini yang dimaksud dengan Hoshi menggantikan Papanya?

“Papa nggak bisa jaga Bellova lebih lama lagi, Papa percaya dia orang baik.” Bellova menggeleng ribut, mendengar ucapan Papanya yang benar-benar tak bisa diterima olehnya. Ia yakin lelaki itu bisa menemaninya hingga dewasa, bahkan sampai ke altar bersamanya.

“Papa ngomong apaan, sih? Jangan ngelantur, deh! Papa kan masih bisa temenin Bellova sampai nanti Lov-lov sudah deasa sampai altar, bahkan bisa menggendong cucu dari Lov-lov.”

Namun, alunan EKG yang semula berbuyi normal, tiba-tiba tak beraturan, dan makin membuat Bellova panik. Ia mencoba memangil perawat dengan bel yang berada di sebelah brankar Papanya, tetapi belum sempat perawat menemuninya. Hal itu sudah disambut oleh garis lurus dengan Kael terpejam erat.

Suara nyaring tersebut terdengar seperti mimpi buruk bagi Bellova, ia tak ingin hidup sebatang kara, dan ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Ia histeris, memeluk tubuh Papanya yang sudah lemas, dan dingin.

Tak lama setelahnya, dokter, dan perawat masuk ke ruangan tersebut untuk memeriksa keadaan Kael. Menyuruh Bellova keluar ruangan sejenak.

Di lorong rumah sakit, gadis itu tampak menatap penuh harap pada langit-langit putih dengan mata berkaca-kaca. Meremas sebagian rambutnya pertanda frusatasi kemudian sesak di dadanya makin menghantamnya karena ia kehilangan dua orang kesayangannya dalam waktu yang benar-benar dekat.

“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi kami tak bisa menyelamatkan Tuan Kael.”

Bellova terduduk, tak kuat menahan beban tubuhnya yang semakin berat karena bertambah dengan beban pikirannya. Tak bisa lagi bertahan, tanpa kedua orang yang di sayanginya, Kenapa waktu sangat cepat merenggutnya? Padahal gadis itu masih membutuhkan keduanya.

**
Ia pulang kembali ke rumahnya dengan keadaan yang berbeda setelah menghadiri pemakaman kedua orang tuanya. Tak dapat membohongi beberapa hari terakhir terasa sangat berat, dan hampir membuatnya tak kuasa untuk mengakhiri hidupnya.

Tanpa disengaja, darah segar keluar karena luka yang masih belum lama tertutup tergores oleh pintu yang dibuka kasar oleh gadis itu.

Gadis berambut ikal sebahu bernama Bellova terduduk mengunci pintu kamarnya. Sudah berjam-jam ia meratapi kesedihan dengan tangisan.

Luka yang menggores tangannya dan darah yang perlahan mengalir tak membuat tangis itu berhenti. Raung tangisannya bahkan kini sudah tak mengeluarkan air mata.

Entah sudah berapa tetes mata yang ia keluarkan, tetapi tangis itu masih pecah. Melihat beberapa barang di kamarnya seketika membuat kenangan menghantuinya. Sulit sekali untuk merelakannya, bahkan sampai sekarang ia masih belum rela.

Rumahnya yang sepi seakan membuatnya pupus harapan. Berkali-kali sudah, ia berusaha menenangkan dirinya tetapi berkali-kali juga ia gagal karena rasa bersalahnya.

“Kenapa aku gak mati sekalian?”

Matanya sudah memerah, tubuhnya lemas dan gemetar. Darah yang terus bertetesan dan belum terobati itu membuat tubuh Bellova perlahan lemas. Pandangannya terasa buram dan kini ia tidak bisa merasakan apapun.

“Hah … dimana aku?” tanya Bellova melihat ke sekelilingnya.

Hening, kosong, dan gelap itu yang menggambar situasi yang dialami Bellova kini. Ia tak tahu harus melakukkan apa lagi.

“Bellova ….”

“Bellova ….”

Suara itu terdengar sangat familiar tetapi tubuh Bellova tiba-tiba terasa kaku. Ia berusaha menggerakan paksa tubuhnya tetapi tak kunjung berhasil.
Itu semua malah membuatnya makin lemas dan kembali terkulai lemah. Mengapa semuanya harus terrengut tanpa meminta ijin darinya? Ia seraya hilang harapan untuk hidup, tetapi nyatanya setiap kali ia ingin menyerah selalu ada sinar harapan yang hadir di hidupnya.

Ternyata harapan tak semudah itu hadir untuknya, ketika ia berharap pada sesuatu maka sesuatu itu akan hilang. Ketika ia sudah memiliki semangat malah semuanya hancur.

“Hentikan!”

“Kenapa aku masih hidup? Apa bisa aku menyusul mereka?”

Katanya, sesuatu itu akan indah pada waktunya, tetapi duniaku hancur dan sudah tak dapat keindahan di dalamnya. Namun, semuanya sudah hancur karena ia seakan tak memiliki kekuatan lagi untuk bertahan hidup.

**
Tubuhnya semakin ringkih karena tersedu-sedu, tetapi gadis itu belum mengisi perutnya. Sudah berkali-kali perutnya berkeriuh akibat belum diisi sejak kemarin, ia hanya mengisi perutnya dengan air putih agar ia tak dehidrasi.

Lagian kedua orang tuanya sudah meninggalkannya, tak ada lagi yang memberikan semangat untuknya. Jadi, untuk apa dirinya terus bertahan dengan realita yang sekejam ini menghantam relung hatinya tanpa permisi.

Dunia ini penuh luka, dan semua luka itu seraya dirasakan oleh Bellova tersadu padu dalam satu waktu membuatnya makin tak kuas, dan makin tak tahan menghadapinya.

Semakin tersedu-sedu dirinya, menyesali seluruh kejadian sebelumnya. Ia hanya bisa mengigit bibirnya, dan merasakan luka yang semakin mendalam di setiap waktu itu berputar. Intinya, ia ingin segera menyusul kedua orang tuanya yang telah mendahuluinya. Ia sudah tak peduli dengan urusan duniawinya, dan berharap sesegera mungkin menyusul.

Beberapa kali ia merapalkan doanya, berharap kedua orang tuanya diberikan keselamatan yang baka di alam sana, dan meminta Tuhan untuk segera menjemputnya agar ia tak merasakan seluruh rasa sakit ini sendirian.

Air matanya sudah habis saat ini karena terus mengairi pipinya selama berhari-hari, Matanya tampak memerah, kemudian matanya terfokus pada silet yang ada di meja belajarnya,

Berusaha beranjak dari tempat duduknya, kemudian mengambil itu semua untuk mengakhiri hidupnya.
Otaknya sudah tak dapat berpikir jernh setelah itu, yang dia inginkan hanyalah mengahiri penderitaan sesegera mungkin agar cepat bertemu dengan kedua orang tuanya disana.

Langkahnya semakin mendekat ke sana, mengambil silet kemudian bersiap-siap menghela napas untuk menusuk nadinya.

Saat silet itu mendekat, tiba-tiba ada suara familiar itu terdengar lagi mencegatnya melakukan hal anarkis tersebut yang dapat membuat gadis itu merenggut nyawanya.

“Jangan!”

“Hah … siapa kamu?” tanya Bellova menenggok sekelilingnya.

Setetes Rasa [ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang