Bab 15: Merenung pada Sebuah Taman

5 5 0
                                    

***
Hello semuanya!
Bellova is back!
Terima kasih buat para readers yang sudah baca sampai bab 15 ini.
Happy reading semuanya.
****

Waktu yang ditunggu-tunggu sekaligus menegangkan bagi beberapa murid di sekolah. Apalagi kalau penerimaan rapor yang pastinya akan disusul oleh liburan tengah semester. Menunggu hasil dari kerja keras mereka dalam tiga bulan pertama, terasa amat menegangkan.

Namun, hal yang sangat mencuri perhatian adalah Bellova yang sudah bolak-balik mengitari tempat duduknya sambil tak berhenti mengomel di hadapan Della. Gadis yang berada di depannya itu juga sudah pusing mendengarkan ocehan sahabatnya yang terpantau sudah hampit tiga puluh menit lamanya, tak memberikan jeda sedikitpun untuknya merespon perkataan tersebut.

“Duh, nilai gua gimana ya?” keluh Bellova mendengus.

Della berkacak pinggang, heran dengan sahabatnya. Bisa-bisanya dia panik sendiri sama nilai rapornya. Padahal jelas-jelas otaknya encer, paling juga kali ini yang dapat rapor banyak di stabiloin ya dia. “Dih, jeleknya Bellova paling juga 90, awas aje lo!” cibir Della mengalihkan pandangannya, malas melihat sahabatnya yang terus bersunggut-sunggut.

**
Pembagian rapor membuat seisi kelas hening, tak ada yang berani memulai percakapan di kelas tersebut. Suasana makin menegang menjelang nama mereka dipanggil ke depan kelas untuk mengambil map rapornya. Jantung Bellova tentunya berdegup sangat kencang, membuat telapak tangannya sedikit terairi oleh keringat karena rasa gugupnya.

“Santai aja Lov, kek bakal pengumuman hidup, dan mati aja lo,” lirih Della berbicara dekat pada telinga Bellova.

“Ini penting tau. Gua gak mau ngecewain orang tua gua,” sahut Bellova mengepalkan tangannya erat, meluruhkan seluruh emosi yang sedang bergulat sembari menunggu namanya dipanggil.

“Halah, orang tua lo kan santai-santai aja, gua yang tau bakal ada sapu lidi terbang aja santuy,” ujar Della mengangkat kedua tangannya, dan digunakan sebagai sandaran kepala.

“Itu kalau lo, bukan gua,” ketus Bellova dengan nada agak sinis, dan bibirnya yang sudah di lengkungkan.

Semenit, dua menit, bahkan lima menit sekalipun, Della dibuat terdiam. Tak berani menimpali Bellova yang sepertinya sudah kepikiran hingga dahinya ikut berkerut senada dengan detak jantungnya.

Tak lama setelahnya, wali kelasnya memangil nama Bellova dengan suara gaharnya. Bukan galak, tetapi memang wali kelasnya satu itu suka membuat para muridnya senam jantung setiap saat. Katanya, itung-itung biar jantungnya ikut latihan cardio.

Ada sesak yang bercampur dengan takut, saat Bellova mengambil langkah lebar. Semua ketakutan secara tercampur aduk dalam pikirannya hingga gadis itu berjalan dengan menatap kosong ke depan.

“Jeduakk!”

Lututnya tak sengaja membentur ujung penggantung dari meja kayu tersebut, membuatnya sedikit meringis sekaligus meja teman sekelasnya yang ikut terseret beberapa ubin lantai.

Remaja lelaki itu memandang lutut Bellova yang tampak membiru karena benturan tersebut, langsung beranjak, dan menanyakan kabar pada gadis yang merupakan teman sebayanya itu. “Kamu gapapa, kan, Bel?” tanya lelaki bertubuh jangkuk sembari mengikuti gerak tubuh Bellova yang meringis kesakitan.

“Gapapa, kok, Van,” ujar Bellova sambil berdesis kesakitan pada lelaki yang tak lain bernama Rivan itu.

“Mau gua anterin ke UKS?” tawar Rivan memiringkan kepalanya, ikut meringis melihat lebam pada kulit putih gadis itu.

“Gak perlu, Van. Cuma lebam biasa, palingan besok juga hilang,” sahut Bellova menggruk tengkuknya kemudian melambaikan tangannya sekilas. Ia tak mau merepotkan orang, itulah motto simple yang selalu dipegang oleh gadis tersebut.

Ia langsung melanjutkan langkahnya, mengambil map transparan dari meja guru kemudian menandatangani form pengambilan rapor. Tangannya terasa sedikit tremor, mengintip jajaran angka yang menunjukkan evaluasi belajarnya selama tiga bulan terakhir.

“Duh, mana ada satu yang di stabilo lagi. Padahal kan biasanya gak ada yang di stabil,” keluh Bellova dengan menggerakan bibirnya tanpa mengeluarkan suara.

Della sempat mentertawakan kecerobohan sahabatnya, kemudian saat dirinya melirik sahabatnya kembali. Ia mendapat gadis tersebut sudah memegang map transparan dengan memanyunkan bibir, dan matanya yang tampak menahan tangis.

“Kenapa lo murung?” bisik Della saat Bellova kembali duduk.

Bellova tak menjawab, gadis itu malah meremas sedikit ujung rambutnya kemudian mengatupkan bibirnya. Gadis itu menatap kecewa ke arah selembar kertas tersebut.

Della sedikit menaikkan kepalanya, melirik satu nilai Bellova yang tampak di stabilo pertanda di bawah KKM. Otaknya seketika lebih lancar daripada air dari air terjun Niagara, ia langsung mengerti keresahan sahabatnya itu.

Bellova mengembuskan napasnya, nilainya turun kali ini. Apa karena pikirannya yang akhir-akhir ini tercampur aduk ikut mempengaruhi nilainya? Ahh … sungguh pusing bila membayangkannya.

“Bel, jangan terlalu berlarut sama kesedihan! Perbaikin nilai kamu selanjutnya aja,” celetuk Della memandang miris kertas ulangan yang terdapat di mejanya, dan menampakan nilai merah di depannya.

**
Matahari mulai merendah, Bellova tertunduk sembari mengitari taman di dekat sekolahnya. Merenung karena nilai tersebut dapat membuat orang tuanya sedih. Sebenarnya gadis itu tak akan mendapatkan amukan dari kedua orang tuanya, tetapi dirinya sendiri yang merasa tak enak pada orang tuanya jika mendapat nilai jelek.

Rona jingga pada langit, menebarkan sebuah kehangatan pada atmosfer taman kota. Senja kali ini terasa berbeda dengan biasanya, gadis itu belum juga pulang ke rumahnya. Merasa takut memberi kabar mengecewakan itu pada orang tuanya.

Namun, setelah melamun sembari memainkan jari-jemarinya di taman, menenangkan dirinya. Gadis itu berjalan perlahan dengan langkah yakin tak yakin. Setidaknya, keluarga adalah ranah ternyaman untuk merasakan kasih sayang, saling memaafkan, dan keterbukaan.

**
Gadis itu memandang pintu gerbangnya dengan bibir mengatup, melihat mobil milik Kael yang sudah terparkir rapi. Ia menebak, bahwa lelaki paruh baya itu pulang lebih awal dari biasanya.

Ia menghembuskan napasnya panjang, masuk ke rumah dengan wajah murungnya. Hal tersebut langsung disadari oleh Shakina, mengapa putri semata wayangnya itu pulang lebih larut sekaligus wajahnya tampak murung? Pasti ada hal yang memupuk di pikirannya, cerna Shakina yang langsung menghampiri Bellova.

“Mama bawain tasnya ya, Lov,” tawar Shakina dengan raut wajah perhatian, pasti gadis itu sudah kelelahan setelah berkutat dengan aktivitas sekolahnya.

“Gak perlu, Ma,” ujar Bellova singkat, gadis itu langsung menggantungkan tasnya pada gantungan tas, lalu berganti pakaian.

Setelah pintu tertutup, seketika Kael, dan Shakina langsung betukar pandang, Ingin menyampaikan sesuatu secara bersamaan, tetapi anggukan Shakina menyuruh Kael untuk berbicara terlebih dahulu.

“Bi, kamu ngerasa ada yang aneh gak, sih?” tanya Kael pada Shakina yang masih berdiri dekat pada ambang pintu masuk yang langsung terarah ke ruang makan.

“Iya Bi, aku juga heran, Lov-lov hari ini kayak murung terus jadi pendiem gitu. Nggak kayak biasanya,” jawan Shakina menggelengkan kepalanya sembari mengambil langkah lebar mendekat pada Kael.

“Pasti ada sesuatu yang aneh, Bi. Biasanya kan, Lov-lov selalu ngajak aku debat kalau ketemuan.” Kael menyentuh pergelangan tangan Shakina, saling menautkan jari-jemari mereka, lalu saling memandang dengan wajah penuh tanya mereka.

***
Thank you semuanya.
Kalau kalian suka sama ceritanya boleh tinggalin komen, dan vote ya.

Ditulis dengan 1016 kata

***

Setetes Rasa [ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang