BAB 9: Tak Hentinya Berdebat

12 6 0
                                    

**
Hello semuanya!
Bellova is back!
Happy reading all!
**

Beberapa menit berlalu, Bapak, dan anak itu masih tak kunjung selesai memperbincangkan permasalahan mereka dari hal penting sampai membahas tak penting. Shakina hanya menggeleng sembari terus memandang jam dinding yang terus berputar.

“Kalian udah telah, lho!” peringat Shakina di sela senyumnya.

“Ih Papa, gara-gara Papa, kan,” sunggut Bellova mendengkus. Gadis itu langsung menyeret paksa pergelangan tangan Kael dengan langkah menghentak pertanda kesal.

Dengan semangat, Bellova berjalan ke mobil berwarna hitam yang diparkir di halaman rumah, menyeret paksa Kael tanpa memedulikan titah Kael yang sudah meronta.

“Lov, kamu bringas banget, sih,” adu Kael mendengkus kesal.

“Ayo ah, Papa lama banget.” Gadis itu mengomel sembari memasangkan seat belt-nya. Dirinya tak berhenti mengoceh sama sekali, apalagi matanya dibuat membelalak karena Kael tampak santai tanpa rasa bersalah setelah mengulur waktu berdebat dengannya.

“Sabar Bellova cantik, mobilnya perlu dipanasin dulu, masa mesinnya mau dipanasin sama amarah Lov-lov,” ledek Kael memeletkan lidahnya tak peduli dengan ekspresi kesal, dan menggerutu gak jelas dari Bellova.

“Lelet bener Papa.” Bellova memanyunkan bibirnya, tangannya dilipat di dada, dan berhenti berdebat dengan Papanya saat itu juga.

**
Menyebalkan, kesekian kalinya gadis tersebut berdecih kesal. Bagaiman tidak, Papanya hari ini seraya menggodanya untuk mengomel dengan menyetir sangat lambat. Sepertinya siput kawin aja lebih cepet daripada dia.

Pandangannya sedari tadi terus menerus menatap jam tangan berwarna tosca yang melingkar pada pergelangan tangannya, lalu menepuk-nepuk pundak Kael tanpa henti. Lelaki paruh baya itu hanya menatap sekilas, mengangguk, tetapi tak mempercepat laju menyetirnya. Bellova sangat yakin, bahwa lelaki tersebut sedang menahan tawa setelah melihat ekspresi Bellova yang sudah memanggut-manggut.

Gadis itu kembali menatap Kael dengan tatapan tajamnya, lalu menepuk-nepuk pundaknya. “Pa, Lov-lov telah loh! Kalau Lov-lov di hukum lari keliling lapangan gimana?” ujar Bellova mendengkus. Wajahnya tampak masam.

Kael tertawa lepas, melirik wajah masam Bellova sekilas, lalu mengebut menuju sekolah Bellova dengan serius. “Iya-iya, Lov, tadi Papa cuma bercanda,” ucap Kael dengan wajah pasrahnya, ia mengerti nanti malam pasti Bellova mengomel apalagi sampe lapor Shakina karena terlalu kesal.

Tak membutuh waktu lama, akhirnya mobil tersebut terhenti di depan gerbang sekolah yang cukup ramai oleh beberapa siswa yang berkerumun membahas liburan mereka pada akhir pekan kemarin. Kebanyakan dari mereka, pergi jalan-jalan ke luar kota.

Bellova langsung melepaskan seat belt-nya, lalu mengecup pipi Kael sekilas sebelum turun dari mobil. Senyum mengembang di wajahnya, melihat Kael yang semula meledeknya malah langsung terdiam dengan pipi memerah karena kaget.

Memang gadis satu itu kadang isengnya berlebihan sampe bikin Kael gak habis pikir sama tingkah laku anaknya satu itu. Mirip banget sama dia pas masih kecil, nakalnya, usilnya, bawelnya, dan masih banyak lagi hal lainnya yang mirip banget sama dia.

Tubuh Kael seraya membeku selama beberapa saat, sebelum matanya kembali terfokus melihat jalan, menyetir menuju kantor, dan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda.

**
Bellova tersenyum bahagia, melihat kondisi sekolah yang ia rindukan ketika liburan. Begitulah Bellova, saat masuk pengennya libur soalnya penat tugas, tetapi kalau libur sekolah pengennya masuk aja biar ketemu temen-temen.

Lorong sekolah tampak ramai, menyambut kebahagiaan mereka masuk sekolah dengan semangat. Dengan langkah ringan, Bellova menyusuri lorong sekolah, menebarkan senyuman manisnya yang sudah menjadi ciri khasnya sedari dulu.

Menaiki tangga dengan santainya, dan tak lupa bersenandung ringan dengan suara merdunya. Sesekali ia menyapa siswa yang dia kenal, dan memberikan senyum andalan selama perjalanan ke kelasnya di lantai tiga.

Senyum Bellova melebar, semakin memperlihatkan lesung pipitnya saat melihat sosok lelaki tinggi dengan jaket hitam, tas abu-abu, dan sepatu Adidas hitam tengah berjalan santai sembari berbincang dengan teman-temannya yang tatkala tampan dengan dirinya. Yaps … bisa dibilang mereka kumpulan orang goodlooking lah.

Gadis itu mengambil langkah lebarnya, berusaha mengejar kekasihnya yang sudah jalan terlebih dahulu. “Hoshi … Hoshi Ivander …,” panggil Bellova berulanf kali, tetapi Hoshi tetap berjalan seolah tak mendenggar. Hingga akhirnya langkah Bellova terhenti sejenak guna menghela napasnya sejenak, dan dihampiri Della yang sudah menatapnya dengan alis tertaut.

Oh ya, kebiasaan dari Bellova saat kesal dengan pacarnya adalah memanggil nama panjangnya. Semakin pancang nadanya, berarti semakin kesal dirinya terhadap pacarnya.

“Lo ngejar Hoshi lagi?” tanya Della menyusul Bellova. Gadis itu sudah menatap Bellova, tetapi dirinya mau tak mau harus mengejar sahabatnya itu yang sudah sibuk dengan dunia percintaannya.

“Iya, tapi tadi gua panggil, dia gak nyaut,” ujar Bellova memberenggut kesal, mengerucutkan bibirnya.

Della menggeleng, bisa-bisanya temennya ini gak peka banget. Entah gak peka atau tolol aja, gak nyadar amat selalu dicuekin sama pacarnya. Memang Hoshi itu kalau udah sweet, sweet banget, tapi kalau udah cuek, waduh bukan maen cueknya. Ia menghembuskan napasnya panjang, sebelum menceramahi Bellova seperti biasa. “Palingan ju—”

Namun, belum selesai Della menyelesaikan pembicaraannya. Mulutnya sudah ditutupi oleh telapak tangan Bellova, dan membuat liurnya sedikit terciprat pada telapak tangan gadis itu. “Psst! Gua tau lo mau ceramah pagi-pagi, tapi hari ini pliss … jangan sampe lo ceramahin gua lagi,” ujarnya dengan kesal.

“Ummu-ummu-mueeeee …” Suara Della terdengar gak jelas karena masih ditutupi oleh telapak tangan Bellova, dan makin membuat telapak tangan Bellova penuh oleh liur Della. Sumpah, bener-bener menjijikan!

Bellova berdecih pelan, ekspresi wajahnya tak dapat dipungkiri menunjukkan rasa jijik, kemudian dirinya mengelapkan telapak tangannya pada seragam Della sebelum mengibas-kibaskannya dengan memeletkan lidahnya. “Ewh … jijik banget, deh! Jigong lo nempel semua nih, Del.”

Dengan polosnya, Della malah meniupkan napasnya pada telapak tangannya, dan dihirupnya. Dirinya tampak kebingungan, tak menemukan bau-bau yang dikatakan oleh Bellova. “Dih, enteng bener omongan lo, Bel! Orang napas gua kagak bau jigong, malah harum, nih,” ujar Della malah mau menyodorkan telapak tangannya pada Bellova.

“Duh, punya temen agak sedeng gini, nih!” Bellova merolling matanya malas, lalu menghempaskan pergelangan tangan Della yang ingin mendekat kepadanya.

“Bellova!!” ucap Della dengan suaranya yang sangan lantang hingga membuat beberapa pasang mata memandang ke arah mereka dengan tatapan penuh rasa penasaran. Bukannya malu, dirinya malah melanjutkan perkataannya seperti ingin mendrama ria. “Nistain aja temen lo sampe diri lo puas,” cibir Della dengan memainkan bibirnya menirukan suara Bellova yang telah mengroasting-nya terlebih dahulu.

“Anjir lo, gak tau aturan bener main teriak-teriak aja, dipikir gua ngapa-ngapain lo lagi nanti,” tutur Bellova mendengkus sembari berdecak kesal.

“Ye, biarin ….” Setelah memeletkan lidah, remaja perempuan itu mengambil langkah terlebih dahulu melenggang pergi meninggalkan Bellova.

“Eh, main tinggal aja lo!” teriak Bellova mendengkus.

**
Thankyou for reading!
Jangan lupa comment, dan vote ya kalau kalian suka!

Ditulis dengan 1014 kata
**

Setetes Rasa [ END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang