Advice

1.1K 73 0
                                    

Mirza duduk di taman rumah dinas ayahnya, beberapa jam yang lalu ajudan Chandra datang menemui karena Santi ingin putranya datang ke rumah. Mirza menghisap rokok kemudian mengeluarkan asap rokok itu dari hidung. Mirza seorang perekok tapi jarang ia menikmati kretek tangan itu, sebagai tentara pun Mirza harus menjaga kesehatan dengan banyak-banyak berolahraga terlebih lagi dia seorang perokok.

"Ini bang kopinya," Mirza mengangguk. Santi memposisikan duduk disamping putranya. "jangan terlalu sering merokok, Bang. Rokok itu gak baik buat kesehatan."
    
Mirza mengangguk, dimatikan api puntung rokok yang masih panjang. Santi terus memperhatikan gerak-gerik putranya yang sedikit aneh. "Kamu sudah makan?"
    
Mirza mengangguk. Santi menghela napas, apa mungkin dia dapat membantu mempertahankan rumah tangga anaknya, jika sikap Mirza sedikitpun tak berubah, putrinya terlalu dingin. Santi tahu masalah ini cukup besar dan berpengaruh bagi rumah tangga anaknya, tapi perpisahan bukanlah jalan yang benar, walaupun begitu Santi memang sangat kecewa dengan perbuatan putranya. "Kalian mantap dengan keputusan ini?" tanya Santi.
    
"Hmm." Hanya dehaman.
    
"Yakin?"
    
Tidak ada jawaban.
    
Santi menggeleng lemah, inilah yang ia sesalkan dari sosok putranya. "Jangan terlalu dingin, Bang. Kamu sekarang sudah jadi kepala keluarga. Tugas kamu nggak cuma ngurusin negara, tetapi juga keluarga, rumah tangga kamu. Jangan bertindak apatis dan membiarkan kapal kalian berlayar tanpa arah. Kamu sebagai nahkoda harus mampu membawa kemana arah kapalmu itu berlayar. Jangan sampai badai menghempaskan kalian berdua pada karamnya kapal tersebut. Dan juga bercerai bukan keputusan baik, Bang. Selesaikan masalah dengan baik-baik, pernikahan ini ikatan sakral yang ga bisa diputuskan begitu saja. Nak, bersikaplah dewasa, kamu serorang suami, ambil keputusan dengan kepala dingin, jangan terburu-buru begini."
    
Mirza diam hanya deru napasnya yang terdengar.
    
"Apa masalahnya?" Mirza melakukan kekerasan pasti ada sebab semua itu terjadi dan Santi belum mengetahui letak masalahnya.
    
Mirza tetap diam. Santi meraih tangan sang putra. "Ibu tanya apa masalahnya?"
    
"Tidak ada."
    
"Tidak ada asap jika tidak ada api. Ibu tanya apa masalahnya? Kamu terluka menceritakannya?"
    
"Tidak."
    
"Lalu?"
    
"Dia mencintai kekasihnya."
    
Santi terdiam, Zahvi mencintai mantan kekasihnya, tetapi itu tidak mungkin, melihat bagaimana sikap dan pandangan mata menantunya ia tahu bagaimana perasaan wanita malang itu kepada sang putra. Hangat dan penuh kasih sayang. Santi menatap lama wajah dan mata Mirza, ia akan tahu perasaan putranya dari sorot mata. Wajah kaku dan mata coklat setajam mata elang itu terlihat sendu. Tampak banyak sekali pikiran. "Kamu juga mencintai Zahvi?"
    
"Tidak."
    
"Hati gak bisa dibohongi, Nak. Ibu yakin kamu mencintai Zahvi dan Zahvi mencintai kamu."
    
Mirza menatap tegas sang ibu. "Dia mencintai kekasihnya. Jika tidak mengapa mereka berpelukan, saya memberikan dia kebebasan untuk bersama lelaki itu."
    
"Nak, apa yang kita lihat belum tentu benar. Ibu yakin Zahvi gak begitu, dia wanita baik-baik mana mungkin mencintai laki-laki yang bukan suaminya."
    
Mirza menunduk, kemudian menatap lurus ke depan. "Saya hadir disaat dia mencintai kekasihnya."
    
Santi terdiam, jawaban Mirza cukup menggambarkan kalau putranya terluka. "Kamu mencintainya?"
    
"Tidak." Hanya itu jawaban Mirza.
    
"Jangan menyembunyikan perasaan yang harusnya diutarakan. Kamu mencintainya walau seribu kali kamu berkata tidak."
    
"Saya tidak mencintainya dan saya tidak akan pernah bisa, tidak ada cinta bagi saya. Keputusan sudah benar, dia ingin cinta dan saya tidak bisa memberikannya."
    
"Jangan berkeras hati, hati kamu terlalu lembut dan rapuh untuk menahannya, Nak." Santi memegang lengan kekar putranya, seorang anak kecil berumur tiga tahun yang telah ia besarkan. "jangan turuti egomu, turuti hatimu, kamu mencintai istrimu, kan?"
    
Mirza menggeleng kuat. "Cinta itu bodoh, Ibu."
    
Santi menggeleng. "Cinta itu indah, Nak."
    
"Cinta itu bodoh ibu! Seperti Dyra dia menyusul lelaki jahanam itu ke Kalimantan dan dia merenggang nyawa disana!"
    
"Nak, cinta akan indah jika bijak mengendalikannya. Kematian Dyra karena kecelakaan bukan karena, Br...."
    
"Jangan menyebut namanya, Bu." sela Mirza.
    
Kebencian putranya begitu besar. "Lihat Ibu. Lihat Ibu Mirza! Jangan mencoba membohongi ibu, ibu tau apa isi hati kamu. Kamu mencintai Zahvi, kan. Jujur!"
    
"Cinta hanya membuat orang lemah ibu, saya bukan orang seperti itu, saya tentara saya mencintai hal tertentu. Wanita yang saya cintai hanya ibu. Saya tidak mencintai Zahvi!" tekan Mirza.
    
"Cinta seorang anak kepada ibunya berbeda dengan cinta kepada pasangannya. Ibu yakin kamu mencintainya. Ibu gak bisa dibohongi."
    
"Sudahlah, Bu. Saya tidak mencintai Zahvi, dia pantas hidup bersama laki-laki yang mencintai dia, saya tidak mencintainya, Bu."
    
Santi tahu kata-kata Mirza hanya kebohongan belaka, dari perkataan dan ekspresi anaknya Mirza terluka. "Nak, Ibu tau semuanya, sepintar apapun kamu menyembunyikannya ibu tau nak, Ibu memang gak melahirkan kamu tapi ibu yang membesarkan kamu, Bang. Ibu tau isi hati kamu,"

𝐑𝐀𝐘𝐍𝐎𝐑 [𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓 𝐌𝐈𝐒𝐒𝐈𝐎𝐍] 𝐄𝐍𝐃Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang