Miss You So Much

1.2K 108 13
                                    

Apa rindu yang meluncur dari sorot mata, bisikan-bisikan terucap dari lembutnya hembusan angin, semoga saja hujan mendengar dan lahir sungai abadi dari rintiknya, mengikis batu-batu dan seribu prasasti menciptakan sebuah kerinduan. Selembar puisi seperti uang kertas, yang merah lebih berharga, tetapi hanya bisa membeli rindu dan segelas bayang. Sekalipun nafas tak cukup panjang, tetapi ketika melihat rembulan seperti akan lihat angin yang membawa daun-daun kepingan hati.

Pada pekat kabut bergaris horizontal, barangkali akan terdengar seperti sebuah lagu dan detak jantung. Napas menerbangkan selembar kertas, sebuah puisi mengapung di udara, sekalipun tak menjelma menjadi kupu-kupu, walau kecil mungkin sampai tempat berlabuh rindu. Sebuah warna senja seakan menjelaskan rindu. Saat malam terlalu sunyi, sajak mengumpulkan cahaya bulan yang menempel didinding hati. Menyulam sebuah bait-bait rindu, menciptakan untaian kalimat indah di ruas-ruas hati.

Hari ini cuaca terlihat sangat cerah. Matahari pun bersinar dengan sangat terang dan hangat. Dalam suasana yang cerah seharusnya dilengkapi dengan suasana bahagia. Bukan tanpa sebab dan maksud, terkadang terang tidak butuhkan saat dalam tertentu

Suasana hati memang menjadi persoalan hati yang begitu rumit dan berbelit-belit, hal yang kurang baik memang cenderung menghancurkannya. Keadaan seolah menolak hari yang cerah. Ada sesuatu yang sangat mengganjal dalam hati dan menghalau keinginan untuk tertawa dengan riang.

Hati dipenuhi dengan rasa resah, tidak tenang dan gelisah. Entah apa ini hanya sekedar rasa khawatir ataupun pertanda bahwa akan terjadi hal buruk dan menyita banyak air mata. Itu yang sedang Zahvi rasakan tidak mengerti tentang apa yang harus di lakukan untuk mengusik rasa gelisah. Berulang kali Zahvi menelpon namun nomornya tidak aktif. Setidaknya jika tidak bertemu ia ingin dengar suaranya untuk mengobati rindu. "Mas Mirza cuma latihan, kenapa nomornya gak aktif." gumamnya.

Sekuat apapun ia menahan air mata. Lelehan air itu keluar tanpa bisa dicegah. Tak ada kata yang mati dalam puisi, hanya sosok cahaya saja yang terkubur kalimat rindu yang telah melampaui bukit dan lembah, menembus tebing dan kabut, terbaca oleh setiap hempasan ombak. Di balik kelambu, cahaya selalu mampu menjadi penerang, mampu menuntun menjauh dari kegelapan dan waktu, yang menghidupkan kata-kata cinta, ialah spasi di antara jemari, yang memberi ruang rindu antara diantara huruf.

"Zah? Kamu kenapa nangis?" tanya Santi.

Zahvi menatap sendu wanita paruh baya yang masih terlihat muda dengan balutan seragam Persit Jalasenastri, wanita itu adalah ibu mertuanya yang memang ada didapur sedang mengupas buah. "Gak tau, Bu. Perasaan ku gak enak."

"Itu karena kamu rindu sama suamimu."

Zahvi mengangguk, ia memang merindukan sesosok gundukan es yang sebagian mencair itu. Ntah kapan lelaki itu akan pulang. "Mas Mirza cuma latihan, Bu. Kenapa HP-nya ga pernah aktif-aktif. Kan pasti ada sela-sela istirahat."

"Sabar aja, Zah. Mirza pasti pulang dan kita berdoa suamimu baik-baik aja."

Zahvi menghela napas, rasanya begitu berat. Seperti asteroid di kegelapan langit, menunggu jatuh dan menjelma cahaya didalam keremangan senja. Sekalipun terpejam, gemuruh laut dan hempasan-hempasan ombak menaklukan gemuruh jantung didalam samudera biru. Seribu lagu dikicaukan angin senja, tapi kerinduan memiliki senandungnya sendiri, yang hanya bisa terdengar saat bisikan hati selaras. Jika rindu itu tuts piano, ada banyak tuts piano di disetiap relung hati, hanya menunggu cahaya menyentuhnya dan merangkai nada.

"Belum, gak tau ibu kemana ayah kamu."

"Ayah juga sama kayak Mas Mirza."

"Zah? Jangan terlalu di pikirin kasian bayi di perut kamu."

"Kan si bayi kangen ayahnya."

"Yang kangen bayinya atau ibunya?" goda Santi.

"Dua-duanya."

"Ketauan, kan. Ini makan biar cucu ibu sehat terus." Santi meletakan piring kecil berisi irisan mangga.

"Makasih, Bu."

"Hmm ... kamu jangan kemana-mana, Zah. Ibu ada kegiatan. Kamu sama Bella aja."

Dalam usia kehamilan delapan bulan, menjalani semua sendirian tanpa dukungan suami terasa sangat berat. Namun tetap dirinya harus kuat, kuat menjalani semua sendiri.

Berat menanggung ransel rindu dan topi baja ringan galvalum yang melindungi relung-relung hati. Bila daun-daun harus gugur karena cinta, biarlah menjadi kelopak-kelopak yang tak pernah memejamkan mata. Cinta cahaya seluas cakrawala, rindu setangkai kalbu merekah sebatang kara. Menempatkan kerinduan di antara gunung, sungai, gua, pantai, dan tebing-tebing terjal.

Begitu banyak kalimat-kalimat yang ia tuangkan untuk sebagai ungkapan rasa cinta dan rindu. Zahvi ingin mencintai Mirza dengan cara berbeda. Cinta yang dalam dan istimewa namun dijabarkan dengan cara sederhana. Bukan hal yang mudah mencintai suaminya, banyak tenaga dan air mata yang terkuras.

Sejak cuti hamil Zahvi tak banyak kegiatan, jika pagi berolahraga agar diri dan calon buah hati sehat. Selain olahraga ia juga sibuk menghabiskan waktu dengan membaca novel, tidur dan menonton.

Seandainya Mirza tidak pergi bertugas lama atau suaminya hanya berdinas seperti biasa atau pergi bertugas sehari dua hari, mungkin ia akan lebih memilih tinggal di asrama daripada dengan mertuanya. Ibu mertuanya memang baik, sudah seperti ibu sendiri, tapi tetap saja Zahvi merasa tidak enak jika harus merepotkan ibu mertua. Terlebih lagi saat dirinya mengidam, mengidamnya tidak sulit hanya berupa makanan, hanya saja yang mempersulit, makanan itu harus dibeli, ia tidak mau dibuatkan, tidak peduli sekalipun tengah malam, idamannya harus dituruti, jika tidak air mata akan meleleh sepanjang malam. Untung saja ia mendapat ibu mertua yang super baik, tidak pernah bersikap jahat seperti difilm sinetron.

Zahvi berjalan pelan menuju kamar, kamar berada dilantai dua, butuh banyak tenaga untuk bisa menaiki tangga dengan membawa guci besar. Isi guci besar terbilang aktif, sering bergerak dan menendang-nendang.

𝐑𝐀𝐘𝐍𝐎𝐑 [𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓 𝐌𝐈𝐒𝐒𝐈𝐎𝐍] 𝐄𝐍𝐃Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang