Almost Have Up

1.1K 90 8
                                    

Zahvi berdiri didepan kaca dengan tubuh berlenggok ke kanan-kiri, menelisik tubuhnya yang berubah secara ekstrim. "Aku emang gendut." Zahvi menepuk-nepuk pipi tembam nya.

Zahvi sadar tubuhnya ini sudah tidak langsing lagi, lengannya yang kecil kini bertambah dua kali lipat besarnya. Sebelum hamil Zahvi bebas memakai sepatu high heels sekarang tidak bisa lagi karena kekecilan dan sulit memasangnya, kemanapun pergi Zahvi tak luput dari sendal.
    
Satu hal yang paling ia benci adalah saat memotong kuku kaki. ia duduk tergeletak di lantai, mencoba membersihkan kuku kaki yang sudah lama tidak terurus, tapi ada penghalang besar diantara tangan dan kaki, yaitu perutnya yang besar. "Mas!" Zahvi berteriak.
    
"Kenapa?" Mirza muncul dari balik pintu. Lelaki berseragam loreng hijau dengan celemek melingkar ditubuh kekar itu mendekat. Mirza sedang memasak tapi mendengar ibu ratu memanggil, mau tidak mau Mirza harus datang. Romantiskan?
    
"Kenapa sih perut besar banget susah potong kuku, Mas." Zahvi mulai mengeluarkan keluhan.
    
Mirza berjongkok, meluruskan kaki Zahvi, mengambil alih gunting kuku dan memotong satu-persatu kuku kaki sang istri.

"Coba aja bayi bisa ditransfer ke perut, Mas. Mas juga pasti rasain apa yang aku rasain sekarang. Pasti aku gak akan susah gini, tidur susah, gerak susah, sesak napas kayak orang asma, jalan kelamaan capek kayak orang habis maraton, Kalau bisa gantian kan enak Mas, gak capek-capek banget."
    
Mirza hanya mengangguk-angguk mendengar keluhan sang istri. "Mas dengar aku gak sih?"
    
"Dengar."
    
"Terus?"
    
"Terus apa?"

"Mas emang gak peduli sama aku." Zahvi menarik kakinya kemudian bergerak membelakangi Mirza.
    
Mirza tidak tahu bagaimana cara menghadapi sikap Zahvi yang berubah total. Mudah sekali marah tanpa sebab. "Saya salah apa?"
    
"Pikir sendiri!" ketus Zahvi.
    
"Saya tidak tau."
    
"Gak peka banget sih, Mas. Masa gak tau."
    
"Saya memang tidak tau, coba kamu jelaskan."
    
"Gak mau, udah tiap hari jelasin, capek. Tapi Mas masih gak peka-peka."
    
"Saya tau kamu lelah, tapi jika tidak kamu jelaskan, bagaimana saya bisa mengerti. Kenapa kamu menuntut saya peka? Peka yang kamu maksud itu saya tidak mengerti. Harusnya kamu jangan menuntut apa yang saya tidak bisa."
    
"Mas marah sama aku? Marah karena aku mau Mas peka? Mas ngertiin aku dong, mau aku itu gak salah Mas, aku mau Mas jadi suami perhatian."
    
"Saya tidak marah Zahvi, saya tidak bisa memenuhi permintaan kamu. Kamu mau saya perhatian bagaimana lagi, apa selama ini saya tidak perhatian? Katakan."
    
"Gak tau!"
    
Mirza mengusap kasar wajahnya, Zahvi kembali menguji kesabaran yang akhir-akhir ini perlahan membaik dan ia dapat mengendalikannya. "Jadi saya harus bagaimana?"
    
"Gak tau!"
    
"Terserah kamu saja." Mirza bangkit meninggal Zahvi, ia hanya tidak mau marah dan bahkan sampai melakukan kekerasan.
    
"Mas emang gak peduli sama aku ...."
    
Mirza berbalik arah, menghela napas gusar. Perempuan ini kenapa lagi? Semua tindakannya selalu salah, begini salah begitu salah. Mirza sama sekali tidak mengerti apa yang ia mau. Padahal Mirza merasa ia sangat perhatian, hampir semua keinginan Zahvi ia turuti kecuali kata peka yang belum terlaksana karena memang ia tidak mengerti dengan peka yang dimaksud. Mirza menatap datar Zahvi yang menangis tersedu-sedu, haruskah membentak agar diam?

Zahvi mengusap air matanya. Menangis sedih seolah paling tersakiti. Mirza berjongkok didepan Zahvi yang masih menangis, ingin menghapus menghapus air mata wanita itu tapi ditolak. "Saya minta maaf, jangan menangis lagi ...."
    
"Mas gak peduli ... sama aku ..."
    
"Saya peduli. Mau bagaimana lagi membuktikannya?"

Zahvi diam hanya tangannya yang aktif menarik-narik lengan seragam loreng Mirza.

"Jelaskan apa yang kamu mau. Saya akan menurutinya." Mirza mulai hilang kesabaran.
    
"Gak tau!" Zahvi melepaskan tangan Mirza yang melingkar diperutnya.
    
"Selalu bersikap kekanakan! Kamu bukan anak kecil lagi yang harus bujuk!" Suara bariton itu meninggi. Sekian kali ia mencoba menahan amarah itu akhirnya pecah.
    
Tubuh Zahvi gemetar, cairan bening semakin luruh membasahi pipinya.

𝐑𝐀𝐘𝐍𝐎𝐑 [𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓 𝐌𝐈𝐒𝐒𝐈𝐎𝐍] 𝐄𝐍𝐃Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang