Wanita hamil ini tampak sangat bahagia dan bersemangat, tangannya begitu cekatan merapikan seperangkat perlengkapan bayi bawaan dari orangtuanya yang baru datang dari Lampung. Untuk menyambut cucu pertama tentu saja calon nenek dan kakek antuasias, hingga menyiapkan hadiah dan meluangkan waktu agar bisa mengunjungi putri kesayangan.
Zahvi sangat bahagia karena bukan hanya dirinya yang sangat antusias menyambut kelahiran sang buah hati. Baik keluarganya maupun keluarga suami sama senangnya. Sebelumnya ia telah menerima kiriman baju bayi dari nenek suaminya, baju-baju bayi itu juga sudah ia rapikan didalam lemari khusus di rumah. Kali ini ia juga mendapat seperangkat perlengkapan bayi, jadi ia tidak perlu lagi repot-repot membeli, semua sudah tersedia. Mertuanya juga memberi ayunan bayi, yang katanya bayi akan lebih menikmati tidur disana.
Ada kardus berukuran sedang yang disegel, dibukanya dengan menggunting perekat yang menyatukan kardus. Zahvi memegang sepasang kaos kaki berukuran kecil, yang terbungkus plastik. "Lucu-lucu banget kaos kakinya. Gemisin."
"Kaos kaki yang kamu pegang itu, sama sarung tangan yang ini copple, Zah."
"Lucu banget."
"Ini yang lebih keren menurut, Papah. Dengan gambar Spiderman." Rahman mengangkat baju terbungkus kantong plastik.
"Itu untuk bayi umur setahun, Pah. Dari awalkan udah Mamah bilang jangan beli yang itu."
"Loh kenapa? Ini keren lho, Mah. Nanti kalau cucu kita udah besar baru dipakai."
"Kelamaan, Pah. Ini Zah, pokoknya harus disimpan dan dipakai."
"Iya, Pah. Pasti dipakai."
Pintu kamar diketuk tampaklah Haidar di daun pintu. "Om? Tante? Di ajak Ayah duduk di ruang tamu." ucap Haidar kepada kedua orangtua Zahvi.
"Ayah udah pulang?" tanya Zahvi.
"Iya Mbak."
"Mbak enggak diajak gitu?"
"Kata Ayah Mbak harus istirahat."
"Yaaa ...." Zahvi tertunduk lesu saat tidak diajak berkumpul bersama.
"Udah istirahat aja, Zah. Papah sama Mamah keluar dulu."
"Iya, Mah." Zahvi tidak terlalu masalah, lagipula kesehatannya memang sedikit kurang baik, terlebih lagi bagian pinggang yang terasa ngilu.
Di ruang tamu sudah ada Santi dan Chandra. Rahman bersalaman dan menepuk pundak sahabatnya. Keduanya selalu begini, hangat dan juga akrab. "Baru pulang kau, Chan?"
"Iya. Duduk dulu," pintanya. "Zahvi sudah tidur?"
"Istirahat dia."
"Haidar masuk kamar." Perintah Chandra kepada putra bungsunya yang ikut duduk bersama mereka.
"Iya Ayah." Haidar menuruti perintah sang Ayah, karena perintah itu tidak bisa dilanggar.
"Kau ini kenapa, Chan? Muka kau kusut begitu."
Chandra menghela napas dalam, dilihatnya wajah-wajah tampak ingin tahu, terlebih sang istri. "Ini tentang Mirza."
"Mirza, Yah? Mirza kenapa?" Santi tidak sabaran, mendengar kabar putranya yang sudah lama pergi tanpa kabar, bahkan jantungnya berdebar-debar karena wajah suaminya yang tidak bersahabat. Terlihat resah dan begitu berat untuk mengatakannya.
"Mirza melaksanakan special reconnaissance. Prosedur intelejen mengharuskan dia bertugas langsung diwilayah teroris, sudah tiga hari Mirza kehilangan kontak dan telah terkonfirmasi secara pasti oleh Tim, Mirza tertangkap."
"Astaghfirullah!" Begitu syok mendengar kabar buruk ini.
"Mbak!" Anita menahan tubuh Santi yang hendak ambruk. Santi disabarkan saat hampir kehilangan kesadaran, Santi tidak bisa menerima kabar buruk tentang putranya.
"Ayah, kenapa Ayah kirim anak kita?" Santi dengan mengguncang lengan Chandra. Meminta jawaban dari sang suami.
"Apa yang bisa Ayah lakukan? Itu sudah tugasnya, Bu."
Santi terduduk lemas, air mata tidak dapat dibendung lagi. "Kita jangan kasih tau Zahvi, nanti dia syok mendengar ini."
"Iya Mas, jangan kasih tau, Izah. Nanti berdampak sama kesehatannya." timpal Anita.
"Zahvi berhak tau, kita tidak bisa menyembunyikan ini, akan lebih buruk akibatnya jika Zahvi sampai tau dengan sendirinya." ucap Chandra.
"Besok saja, Chan. Biarkan Izah istirahat dulu, agar keadaannya bisa lebih baik, mungkin dengan begitu anakku bisa lebih lapang dada."
"Baiklah." Chandra menyetujui usulan itu, demi keselamatan sang menantu.
"Izah." gumam Anita.
Pandangan teralih kepada sosok wanita yang berdiri di anak tangga. Rahman berlari menghampiri putrinya yang begitu pucat. Tatapan itu terlihat kosong, namun sesaat kemudian pelupuk mata itu berlinang. Mereka tidak sadar jika Zahvi lama berdiri disana dan mendengar semuanya.
"Zah? Istighfar, Nak." Rahman mengguncang tubuh putrinya.
"Bawa duduk, Man."
Rahman memapah tubuh lemah Zahvi duduk di sofa sedangkan Anita berusaha menenangkannya. Santi datang membawakan segelas air, air itu ia tumpahkan sedikit ditangannya dan diusapkan diwajah Zahvi yang pucat. Zahvi tetap diam, wajah itu semakin pucat pasi. Takut jika Zahvi histeris atau pingsan Santi memberi minum agar sedikit mengurangi syok.
"Sabar, Nak." Anita tidak bisa menahan air mata, melihat keadaan sang putri yang tidak baik-baik saja. Air mata Zahvi tak terbendung, air mata itu perlahan mengalir di pipi dan tangisan itu akhirnya pecah.
"Istighfar, Nak. Istighfar." Anita memeluk erat tubuh Zahvi.
"Zahvi dengarkan, Ayah. Ayah berjanji akan membawa pulang suamimu dengan selamat." Chandra menekan kalimatnya. Tanpa berjanji pada sang menantu pun Chandra akan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan putranya.
Tubuh Zahvi kehilangan tenaga, perlahan-lahan penglihatan menjadi buram dan akhirnya gelap.
Tubuh Zahvi masih terbaring diatas kasur empuk dengan mata terpejam seakan tak ingin mengakhiri sisa-sisa tidur. Namun, Zahvi merasakan dengan pasti sinar matahari telah mengintip, memaksa menerobos masuk melalui celah-celah jendela seakan ingin mengingatkan kalau hari tak lagi malam. Dengkuran halus terdengar dari orang yang tidur disampingnya. Seulas senyum tersungging di bibirnya, walau mata masih terpejam. Tangannya bergerak dengan lembut jari-jari halusnya mulai menelusuri lekukan wajah lelaki disampingnya. Zahvi mengenal lekukan wajah dan mengenal setiap bagian dari tubuhnya dengan baik dan bahkan sangat baik. Zahvi mengenali semua yang merupakan bagian dari dirinya seperti ia mengenali dirinya sendiri.
"Jangan menggangu saya."
Zahvi tersenyum, tapi bukan berhenti tangannya semakin nakal menyusuri tubuh Mirza.
"Kamu ini." Mirza mengungkung tubuh Zahvi hingga tidak bisa bergerak lagi.
Zahvi terbahak, dikalungkan tangannya dileher Mirza."Udah siang, Mas. Mas harus dinas."
"Tapi tidak usah meraba-raba seperti itu." ucapnya dengan nada jengkel.
"Siapa suruh tidur selepas subuh."
"Saya tidak tidur."
Zahvi mengerutkan keningnya. "Gak tidur? Terus apa?"
"Hanya memejamkan mata."
"Dan terbang ke alam mimpi." lanjut Zahvi.
Tadi malam, di tempat Zahvi berdiri, ketika rembulan dengan malu-malu menampakan diri, ketika gemintang berkelip tajam tanpa terhalang mendung, ketika malam semakin pekat, ketika suara jangkrik dan binatang lainnya bersahutan jauh di luar sana, ketika angin berhembus lirih, ketika tembok dan seluruh isi di kamar diam membisu. Namun, semua itu hanya bayangan semu yang perlahan-lahan hilang dari ingatannya.
"Zah." Anita menghapus air mata putrinya yang tanpa henti mengalir.
"Mas Mirza, Mah ..." lirihnya. Ntah berapa kali Zahvi menyebut nama itu.
Anita memeluk erat putrinya. "Sabar, Nak. Semua pasti baik-baik aja. Kita berdoa sama-sama semoga Mirza baik-baik aja."
Pintu rumah sakit berderit, tampaklah Chandra dan Rahman yang menatap sedih Zahvi yang terbaring lemas di hospital bed. Setelah mendengar kabar buruk, Zahvi tak sadarkan diri dalam waktu yang lama dan mengharuskan dibawa ke rumah sakit karena kondisi kesehatannya menurun drastis.
Rahman menatap iba putrinya. Gadis kecil kesayangan terguncang jiwanya. Rahman bisa merasakan apa yang Zahvi rasakan. Sama, terasa sesak dan sakit. Tidak tahu lagi, bagaimana menggambarkan perasaanya saat melihat Zahvi menangis seperti itu.
"Zahvi?" Chandra mengelus kepala sang menantu. "Ayah berjanji, Nak. Mirza pasti selamat. Kita sama-sama berdoa dan kamu ... harus menjaga kesehatan."
Zahvi mengangguk. "Ayah ... ayah janji, kan?"
"Iya, Nak. Hari ini ayah akan berangkat."
"Iya, Ayah."
Cahaya yang setiap hari ia rindukan kini hanya bisa di nikmati melalui kenangan. Dan sekarang cahaya ini hanya miliknya seorang bukan milik cahaya dan senja. Kekasih adalah jiwa terindah yang pernah tercipta setiap dekapnya janjikan kedamaian, tuturnya untaian cinta dan kelembutan. Semua tentangnya adalah lukisan indah kebahagiaan. Dan senja terpasung pada dinding yang mendingin gelap bertaut di setiap relung mengiris dan merambati dinding hati kemudian senja terhempas dalam kesedihan.
Ketika malam Zahvi tidak bisa tidur. Ketika menutup mata bayangan-bayangan Mirza seperti slide video yang berputar-putar. Terkadang Zahvi tertidur kemudian terbangun. Bagian terburuknya adalah kesehatan Zahvi kian menurun dengan seiring waktu sampai akhirnya Zahvi harus dirawat intensif. Jika dalam beberapa waktu keadaan Zahvi tidak membaik Dokter akan mengambil tindakan ceasar untuk menyelamatkan bayi.Wajah Zahvi begitu pucat, cekungan dibawah mata tampak jelas. Dirinya sangat tidak bergairah untuk hidup, saat ini hanya menanti sosok bagian penting dalam hidup.
Lentik jari jemari menorehkan makna dari sebuah kata kehidupan. Dimana terangkai rasa dalam sebuah kalimat penuh warna. Bukan hanya bagi jiwa-jiwa yang patah. Namun bagi semua kepedihan pun keceriaan di dunia. Napas bagaikan pecut yang menghentakkan alam sadar. Memberi gambaran semangat kehidupan. Bahkan terjatuh adalah cara untuk bangkit dan bertahan. Membaur dalam hiruk pikuk roda dunia. Bukan sembunyi dibalik keterasingan.
Kepergian bukan lagi sebuah makna dari kata kehilangan. Namun sekilas kenang untuk melenyapkan kepiluan. Melepas takdir dalam ruang keikhlasan. Menimbun keletihan dan sebuah tulisan tulus. Sebuah harapan senja dan cahaya dalam suatu ikatan abadi. Namun, pertemuan dan perpisahan sudah menjadi siklus yang setiap manusia akan alami.Binar dimata tak akan pernah pudar. Cahaya akan selalu mencintai senja. Meskipun, sudah menjadi sosok yang sudah tidak butuhkan. Kisah cinta cahaya dan senja mungkin usai. Tapi, kenangan tak akan pernah padam. Semua tentang cahaya juga akan selalu senja ingat. Kendati, cahaya yang tak lagi menjadi sosok indah yang di tunggu di setiap paginya.
Ketika bumantara tak lagi membiru, cahaya dan senja akan berpeluh melewati malam yang penuh gejolak rindu dengan pemilik semesta memberi anugrah buah cinta. Zahvi mengelus perut besarnya, ia siap menanti kehadiran buah hatinya. "Anak Bunda sehat-sehat."
Zahvi memejamkan mata untuk menguatkan hati. Ia harus tegar seperti pesan yang disampaikan Mirza sebelum pergi bertugas. Zahvi berusaha untuk tetap yakin suaminya akan pulang.
Berdiri menangkar sunyi bumi sendiri. Bersemedi di balik pagi, mengulang bayang siang, menyekam dendam malam. Agar bisa sesahaja senja. Mencoba mengisi ruang kosong doa gerimis dengan sebait bacaan awan. Menerbangi titik niskala, menyusupkan jiwa ke puncak tahta cakrawala. Agar bisa menjadi langit, tempat semua keluh bumi menjerit.
"Zah?" Terasa sebuah tangan hangat menyentuh bahu Zahvi.
"Kenapa lo disini?" Kalimat itu terucap saat Zahvi menoleh dan tahu siapa yang menyentuhnya.
"Mau meriksa keadaan lo."
"Gue baik-baik aja kok."
"Ayo, Zah." Ania merangkul Zahvi masuk ke dalam kamar, dimana sejak tadi Zahvi berdiri di balkon kamar. Tubuh itu dibawa berbaring di ranjang, agar Ania bisa memeriksa keadaanya.
"Lo tau, Ni. Gue cuma nungguin suami gue pulang."
"Lo harus tetap sehat, suami lo pasti marah besar kalau tau lo gak jaga kesehatan."
Zahvi tersenyum samar. Andai suaminya ada disini dan tidak pergi bertugas, ia akan tetap sehat. Suaminya laki-laki istimewa, dia mengatakan tidak mencintai tetapi perlakuannya pada Zahvi mengarah ke sana. Apa bisa dikatakan mencintai tetapi malu mengakui atau memang tidak sadar akan perasaan?
Cahaya yang menjadi pemenang langit. Dan kini senja tirakat dari gumpalan awan pekat. Terus hapalkan bacaan awan, agar cahaya tak membuat hujan. Mungkin akan senja sapu noda hitam dengan awan putih meski sedikit menghitam akibat noda. Namun yakin, derasnya duka dari langit akan turut dan surut karena langit masih berias warna.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐀𝐘𝐍𝐎𝐑 [𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓 𝐌𝐈𝐒𝐒𝐈𝐎𝐍] 𝐄𝐍𝐃
Actionꜱᴇᴏʀᴀɴɢ ᴅᴏᴋᴛᴇʀ ᴍᴜᴅᴀ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴇʀᴋᴇɪɴɢɪɴᴀɴ ᴍᴇɴɪᴋᴀʜ ᴅᴇɴɢᴀɴ ʟᴀᴋɪ-ʟᴀᴋɪ ᴘɪʟɪʜᴀɴ ᴀʏᴀʜɴʏᴀ, ᴛᴇʀʟᴇʙɪʜ ʟᴀɢɪ ᴅᴇɴɢᴀɴ ꜱᴏꜱᴏᴋ ʟᴀᴋɪ-ʟᴀᴋɪ ᴀᴘᴀᴛɪꜱ ᴅᴀɴ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴍᴇɴɢᴇɴᴀʟ ᴄɪɴᴛᴀ. ʏᴀ, ᴍɪʀᴢᴀ ʜᴀᴅᴅᴀɴ ᴍᴜᴅᴅᴀᴢɪʀ, ꜱᴇᴏʀᴀɴɢ ᴛᴇɴᴛᴀʀᴀ ʙᴇʀᴘᴀɴɢᴋᴀᴛ ʟᴇᴛɴᴀɴ ꜱᴀᴛᴜ. ꜱᴇɪʀɪɴɢ ʙᴇʀᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ...