Sebuah taman bunga bernuansa indah, terbentang dan terpijak, genggaman tangan yang begitu kekal mengikuti sebuah senyuman manis. Saat itu juga wanita cantik itu menghamburkan pelukan hangat. Kalimat-kalimat lembut nan manis terucap dari bibir seorang wanita cantik, dari setiap kata yang terucap tersirat kalimat cinta. Cinta yang begitu tulus dan suci.
"Mas jangan lama-lama pergi, cepat pulang, aku sama anak kita nungguin Mas pulang." Perlahan mata itu terbuka, semua tampak nyata namun hanyalah sebuah ingatan. Mata itu kembali terpejam untuk mengumpulkan semua kesadaran.
"Zahvi ...." gumamnya begitu lirih.
Memori tentang wanita itu telah menyadarkannya dari sebuah keputus asaan. Dalam semua rasa sakit dan tekanan seorang wanita telah menyadarkannya. Wanita telah menjadi penyemangat hidup untuk bangkit. Perlahan tangan itu menekan tanah sebagai tumpuan tubuh yang terasa remuk. Tangan itu juga membantu menyeret tubuh untuk bersandar di sebuah kerangka besi. Napasnya tersengal-sengal, jika tidak teringat kepada tempat berlabuh hati, mungkin dirinya tidak akan bangkit dari semua rasa sakit. Apa ini dinamakan keajaiban cinta yang bisa menyihir siapa saja?
Malam menjelang pagi ini dalam kekalutan, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa selain diam. Tetapi mengingat betapa malangnya sang wanita menunggunya pulang dan bagaimana nasib bayi yang belum lahir itu jika ia mati disini.
Prang!!
Sebuah mangkuk aluminium membentur kerangka besi, di piring itu terdapat nasi putih tanpa lauk.
"Makan itu." ucap lelaki itu dengan tatapan tajam. Sang tawanan menarik nasi putih yang sedikit kotor itu dan perlahan memakannya. "Makan dengan cepat!" ucapnya lagi.
Lettu Mirza menelan nasi hambar itu dengan secepat mungkin, setelah itu piring diambil oleh penjaga dan dikuburnya dalam tanah.
"Ini minum." Lelaki kasar itu melepaskan botol kecil. "Sebaiknya kau menyerah dan katakan apa rencana kalian."
Letnan Mirza menutup botol itu setelah isinya habis, botol itu juga ia lemparkan setelah lawan memintanya.
"Aku berjanji kau akan bebas setelah mengatakan apa yang kami inginkan." Sang Letnan tetap diam, hanya matanya yang terus menatap lawan. "Aku masih punya rasa kasihan, katakanlah sekarang dan semua akan selesai."
"Saya lebih rela mati daripada mengatakan yang sebenarnya." Mata keduanya beradu tajam, sama-sama keras hati dan kejam.
"Bodoh!" umpatnya dengan remeh. "Untuk apa kau rela mati demi negara dan orang-orang yang tidak memberimu kehormatan."
"Kehormatan akan muncul dari perbuatan. Jika kau baik orang akan menghormatimu dan jika kau jahat maka akan sebaliknya."
Lelaki itu tampak diam, persekian detik kemudian matanya menatap sang tawanan. "Kau sangat berani. Sekarang bersiaplah, Ketua akan menghancurkan keberanian mu." ucapnya kemudian berlalu pergi.
"Kesetiaan dan pengorbanan adalah sebuah keharusan. Jika suatu negara telah menuntut, sekalipun nyawa akan dikorbankan." Kalimat itu telah tertanam, Sang Letnan siap merelakan dan melakukan apapun demi keselamatan negara ini.
Sebuah garis ia tarik pada permukaan tanah, perlahan-lahan mengikutinya hingga membentuk sebuah pola, pola-pola itu kemudian menjadi sebuah denah. Ketika ingin membuat hal yang lebih, rombongan kelompok bersenjata itu datang menghampiri.
"Kau tidak memberinya makan, kan?" Lelaki berjenggot bertanya.
"Tidak Ketua."
"Tarik dia keluar."
"Baik Ketua."
Dua orang bersenjata menarik kasar Letnan Mirza ke hadapan Sang Ketua. Sang ketua menekan salah satu ruas besi dan menggoyangnya hingga menghasilkan suara deritan. Menatap lama sang tawanan dengan tatapan yang penuh arti, tetapi berbanding terbalik dengan Letnan yang menatapnya begitu tajam.
"Aku Terno, Ketua organisasi hebat ini. Aku mempunyai tawaran, tawaran ini sangat bagus dan cocok untukmu. Semua akan ku berikan, jika kau ingin bergabung dengan kami. Mulai dari kekayaan sampai kebebasan." Lelaki hitam bernama Terno menunjuk-nunjuk dada Sang Letnan "Kemampuanmu luar biasa, kau akan menjadi sosok penting di organisasi kami."
Letnan tetap diam, sedikitpun tak ada kalimat yang terucap.
"Jawab ...!"
Tetap diam.
Terno melotot, wajahnya tampak merah padam dengan rahang yang menggertak. "Turunkan tatapan mu!! Apa aku perlu menghilangkan matamu?"
Sang Ketua sepertinya tidak suka dengan tatapan tajam tawanannya yang seakan menantang. Tatapan itu bukan menyurut mundur tetapi kian menajam. Tamparan kuat hinggap diwajah penuh luka, sesekali tangannya juga menyergap pada tubuh yang masih berdiri kokoh. "Menyerahlah pecundang!!"
"Bunuh saja dia, Ketua. Dia sama sekali tidak berguna!!"
"Siksa dia sampai mati!!" Lelaki itu berjalan angkuh dan duduk pada tumpukan kayu.
Pukulan dan tendangan diberikan oleh anggota teroris, Sang Ketua bersorak gembira dan begitu bangga. "Aku berhasil menangkap anggota tentara, apa yang bisa dilakukan lawan untuk ini? Apa akan mengirim beribu-ribu pasukan! Aku tidak takut!! Mereka sama pecundangnya dengan kau!!" teriaknya dengan menunjuk tubuh yang dibuat seperti matras.
Letnan Mirza tersungkur ke tanah, kepalanya deras mengeluarkan darah. Rasa sakit ia tahan dengan genggaman tangan kuat.
"Ketua?" Panggilan itu berasal dari anggota.
"Ya Gean. Katakan!"
Lelaki bernama Gevan itu berjalan mendekati Sang Ketua. Ia mengatakan sesuatu dengan cara berbisik. Sang Ketua tampak mengangkat tangan, namun sesaat kemudian tertawa dan bersorak. "Sangat brilian!! Aku tidak menyangka kau sangat cerdas!! Kalian bawa pecundang itu ke dalam sel dan ikat kakinya dengan rantai!!"
"Baik Ketua!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐀𝐘𝐍𝐎𝐑 [𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓 𝐌𝐈𝐒𝐒𝐈𝐎𝐍] 𝐄𝐍𝐃
Actionꜱᴇᴏʀᴀɴɢ ᴅᴏᴋᴛᴇʀ ᴍᴜᴅᴀ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴇʀᴋᴇɪɴɢɪɴᴀɴ ᴍᴇɴɪᴋᴀʜ ᴅᴇɴɢᴀɴ ʟᴀᴋɪ-ʟᴀᴋɪ ᴘɪʟɪʜᴀɴ ᴀʏᴀʜɴʏᴀ, ᴛᴇʀʟᴇʙɪʜ ʟᴀɢɪ ᴅᴇɴɢᴀɴ ꜱᴏꜱᴏᴋ ʟᴀᴋɪ-ʟᴀᴋɪ ᴀᴘᴀᴛɪꜱ ᴅᴀɴ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴍᴇɴɢᴇɴᴀʟ ᴄɪɴᴛᴀ. ʏᴀ, ᴍɪʀᴢᴀ ʜᴀᴅᴅᴀɴ ᴍᴜᴅᴅᴀᴢɪʀ, ꜱᴇᴏʀᴀɴɢ ᴛᴇɴᴛᴀʀᴀ ʙᴇʀᴘᴀɴɢᴋᴀᴛ ʟᴇᴛɴᴀɴ ꜱᴀᴛᴜ. ꜱᴇɪʀɪɴɢ ʙᴇʀᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ...