Jealous

1.3K 83 9
                                    


Saat sore, semua keluarga sudah pulang dari sawah, rencananya Mirza dan Zahvi ingin pulang tapi Hasni belum mengizinkan. Semuanya berkumpul menyaksikan pertandingan bola voli yang dimainkan oleh para laki-laki termasuk Mirza. Zahvi duduk diantara keluarganya, tapi diantara para sepupu perempuan ialah yang baru menikah sedangkan yang lain masih sibuk pada dunianya.

"Semangat, Sayang!!" teriak Zahvi begitu bersemangat.

Lapangan dan pinggir lapangan menjadi heboh karena ulah Zahvi. Terlebih lagi para jomblo yang berada disini.

"Ampun deh sayang-sayangan!!" ucap salah satu sepupu Zahvi.

"Iri ya? Kasian gak punya ayang." ledek Zahvi.

"Semangat Mas Sayang!!" Zahvi semakin berulah.

Permainan bola voli berlangsung seru, Mirza berada di tim adik iparnya dan sedang melawan tim ayah mertua, yang terdiri atas para saudara dan iparnya.

"Semangat Papah!! Semangat Adnan Monyet!! Semangat semuanya!!" teriak Zahvi.

"Zah? Hei!" panggil Mamahnya.

Ibu hamil itu menoleh.

"Duduk! Nanti kamu capek!"

"Nanti, Mah. Lagi seru ini."

"Mamah lempar pakai sendal kalo kamu gak duduk!" Anita mengarahkan sendal nya kepada Zahvi.

Zahvi cemberut. Berjalan menghentak-hentakkan kaki ke arah Mamahnya. "Ini udah duduk."

"Kamu itu lagi hamil, jangan terlalu aktif lah."

"Iya mah, iya."

"Pegang ini." Mirza memberikan baju loreng kepada Zahvi, tanpa loreng hanya menggunaakan baju kaos telah mengekspos otot-otot kekar.

"Ya ampun! Badan Mirza kekar banget!" Zahvi melirik sinis kalimat karamat dari sepupunya.

"Udah ganteng, hidung mancung, kekar lagi, sumpah keren banget, mau Mirza!" ucapnya tanpa peduli Zahvi yang dibakar cemburu.

Mungkin orang lain menganggap ucapan itu sebagai candaan tapi tidak dengan Zahvi. Hidungnya sudah kempas-kempis menahan kesal. Rasanya ia ingin pulang sekarang, menjauhkan suaminya dari tatapan wanita genit dan bibit-bibit pelakor atau sepupu yang lebih tua setahun, ia juga menyesalkan mengapa Mirza harus melepas seragam lorengnya.

"Zah? Ada gak sih cowok semaco Mirza? Kenalin dong, Zah. Kalau bisa yang duplikat, Mirza. Ada gak? Soalnya gue kesem-sem banget modelan kek dia."

Zahvi mengerutkan kening, ucapan membuat hatinya semakin panas. "Gak! Didunia ini manusia gak ada duplikat, ya. Setiap manusia itu beda-beda bahkan kembar sekalipun!" ucap Zahvi sedikit emosi.

"Kok lo marah sih? Gue nanya dan gue gak serius."

"Makanya kalo ngomong jangan tolol, dipikir dong, yang lo bahas itu suami gue! Lo serius atau gak, itu biasanya awal dari pelakor!" Zahvi bangkit pergi, sebelum ia mencabik-cabik sepupunya.

"Dasar baperan, gitu aja udah marah!" teriak Marissa.

"Dasar perawan tua, udah jelek gak laku lagi!" teriak Zahvi pula.

"Berani lo ngatain gue gitu!!" Marisa berteriak marah.

Keadaan jadi gaduh, Marissa begitu emosi diejek Zahvi dengan perawan tua. Bahkan tangan dan kakinya bergerak tak terkendali ingin memberi pelajaran pada Zahvi. Zahvi pun begitu, dalam keadaan hamil pun ia tidak takut menghadapi Marissa.

"Sudah-sudah!" Rahman mencoba menengahi pertengkaran ini.

Marissa ditahan oleh Kania dan ibunya. Sedangkan Zahvi ditahan oleh Mirza yang terus mengeluarkan semua tenaga melepaskan diri untuk melawan bibit-bibit pelakor.

"Seenak jidat lo ngatain gue perawan tua! Lo kalau gak dijodohin juga gak bakalan nikah, gue kasian sama Mirza yang dapat istri songong kek lo!"

"Ih ... lepasin, Mas!" Zahvi mencoba melepaskan kungkungan Mirza dari tubuhnya. "Harusnya gue yang kasian sama lo, udah tua gak ada yang mau! Makanya lo mau suami gue, kan!"

Kekuatan ibu Marissa dan Kania tidak sebanding dengan Marissa. Marissa begitu emosi bahkan ia menyakiti Zahvi yang dalam perlindungan sang suami. Anita menjerit panik, ia tidak bisa menerima jika sampai Marissa menyakiti putrinya yang tengah hamil itu.

"Sabar, Mbak! Sabar!" ucap Adnan mencoba menenangkan Marissa dan melindungi Zahvi yang terus melakukan pemberontak kepada Mirza.

Duk ...!

"Aduhhh!" Adnan terbaring tak berdaya. Pukulan Marissa meleset dan mengenai bawah perut Adnan.

"Adnan!" Marissa berteriak karena adik sepupunya tak berdaya.

"Perawan tua!" teriak Zahvi saat dirinya digendong Mirza masuk ke dalam rumah atas perintah Anita, ia tidak mau karena Marissa sampai terjadi apa-apa pada putrinya.

"Kena barangnya itu!" ucap Rahmat.

Marissa menutup mulut, pukulannya mengenai aset berharga Adnan. Adnan meringis berguling kesana-kemari menahan rasa sakit benda dibawah perutnya. "Mati gue!"

"Sorry Adnan gue gak sengaja!"

Adnan dibopong masuk ke dalam rumah. Secara berangsur-angsur keadaan tenang, Marissa sudah tidak mengamuk lagi, begitupun Adnan yang sudah tidak kesakitan hanya saja jalannya sedikit berubah, benda berharga itu telah menerima siksaan yang luar biasa.

Zahvi berada didalam kamar, terbaring karena pusing, Anita memijit kepalanya sedangkan Hasni memijit kaki.

"Bertingkah seperti anak kecil, kamu pikir bagus? Bagaimana jika pukulan Marissa mengenai perut kamu? Apapun tindakan kamu setidaknya pikirkan anak belum lahir itu. Kamu tidak memikirkannya, sudah mau menjadi ibu tetap seperti anak kecil, dewasalah sedikit."

Zahvi tidak menjawab hanya matanya yang berlinang, sadar jika tindakannya salah membuat ia tidak berani menjawab. Anita dan Hasni tetap diam, mereka membiarkan Mirza memberikan teguran sebagai wakil mereka, lagipula tidak ingin ikut campur masalah ini, terlebih lagi ini memang kesalahan Zahvi.

"Ibu sama Nenek keluar dulu. Ayo, Bu." ajak Anita.

Zahvi menangis. "Maafin aku, Mas. Aku ... aku."

"Aku apa?" Mirza begitu marah, hanya saja marah kali ini berbeda.

Zahvi menggeleng-geleng seiring dengan air matanya yang meleleh. "Tadi ... tadi dia mau rebut, Mas. Dia suka, Mas. Jadi aku marah ... sama dia. Aku gak suka ...."

"Hanya begitu saja? Hal sekecil itu kamu permasalahkan? Terlalu kekanakan, Zahvi!"

"Nanti ... nanti kalau Mas suka dia gimana? Aku gimana? Mas kan gak ... gak cinta ... aku!"

Mirza memejamkan mata, mencoba meredam emosi yang memuncak. Namu, rasa kasihan perlahan timbul seiring terdengar tangis sesenggukan. Selalu saja ketika dibentak, wanita ini akan menangis tersedu. "Jangan menangis lagi." Mirza menarik tubuh berisi itu kedalam pelukannya.

"Gak Mau! Mas ... bentak aku ...."

"Maafkan saya. Saya tidak suka dengan tingkah kamu. Setiap kali kamu bertingkah membahayakan anak kita, itu selalu menyulut emosi saya. Jangan menangis lagi, saya minta maaf." Mirza menghapus bulir air mata itu. Bujukan kecil dan pengertian akhirnya wanita itu berhenti menangis.

"Mau pulang." rengeknya.

"Ayo." Pemilik tangan kecil berisi itu digandeng keluar, Zahvi siap pulang tanpa sisa air mata, semua barang bawaan sudah dikemas hanya tinggal berpamitan kepada seluruh keluarga.

"Saya dan istri pamit pulang dulu, Pah."

"Hati-hati, jaga baik-baik anak Papah ya, Mir. Dan Izah jaga kesehatan, jangan terlalu banyak aktivitas. Itu gak baik buat cucu, Papah."

Zahvi antusias mengangguk. "Iya, Papah!"

"Kalian sudah sama-sama dewasa, rumah tangga gak akan luput dari masalah, kalau ada masalah selesaikan baik-baik dan kepala dingin, saling mencoba untuk mengerti dan mengalah. Jangan hanya mementingkan ego dan merasa paling benar. Ya, Zah, Mir." Wejangan dari sang Nenek. Hasni memang marah, tetapi seiring berjalan waktu ia bisa menerima kembali cucu menantu.

"Siap, Nek."

"Iya, Nek. Tapi Izah gak akan mau ngalah." ucap Zahvi.

"Kasian Abang selalu jadi korban kekanakan dan keegoisan, Kakak! Ini aja Adnan tampan's jadi sasaran!"

Zahvi mendelik tajam pada Adnan yang memasang kusut. Ia kurang suka dengan kalimat itu. Terlebih lagi, ucapan Adnan disambut kekehan keluarganya.

"Dalam tingkah laku Izah kekanakan tapi Papah sangat tau, putri kesayangan Papah sudah dewasa, jadi menurut Papah gak ada yang perlu didewasakan lagi. Biarin aja sifatnya gitu, cuma harus lebih hati-hati dalam bertindak."

"Iya dong, Pah. Izah kan emang udah dewasa." Zahvi berlagak sombong.

Zahvi dan Mirza banyak menerima wejangan dari keluarganya, terutama Hasni dan Rahman. Tanpa diketahui dan disengaja, wejangan ini mampu membuat keduanya untuk mencoba memperbaiki diri. Zahvi memeluk cinta pertamanya, mencium pipi sang ibu, nenek dan bibi serta semua sepupu perempuan kecuali Marissa yang memang segan ia dekati.

"Minta maaf pada Marissa." Zahvi menggeleng saat kalimat itu diungkapkan sang suami, ia tidak akan mau meminta maaf kepada wanita itu. "Dia lebih tua dari kamu."

Zahvi terus menggeleng, tangan kekar yang menggenggamnya diremas dan ditarik-tarik. "Gak mau, Mas. Dia yang salah, dia yang duluan buat aku marah."

"Ayo, Zahvi!" Suara Mirza terdengar membujuk.

Zahvi menyentak napas, di memanyunkannya bibir menatap sang suami, kesal dengan Mirza yang berubah jadi sedikit non-apatis. Marissa bersedekap dada saat Zahvi mendekat. Zahvi melirik sang suami. "Mas?" Zahvi mengadukan apa yang sedang terjadi.

Mirza mengangguk, agar Zahvi segera meminta maaf. Zahvi menarik napas, mencoba menghilangkan sedikit keegoisan. "Maafin gue, Mbak."

Marissa menatap Zahvi dengan tatapan sinis, tampaknya ia sangat kesal kepada wanita didepannya. "Oke! Perlu lo ingat gue bukannya gak laku tapi memang belum mau nikah, lo liat aja bulan depan, lo bakalan jadi tamu spesial."

Zahvi mengangguk-angguk kecil. "Oke. Asal jangan suami gue aja."

Sebelum Marissa bereaksi buruk Zahvi segera menghampiri Mirza yang berdiri di belakangnya. "Udah, Mas. Ayok pulang."

"Hmm ...." Tangan kanan menggandeng Zahvi dan tangan kirinya membawa tote bag.

"Hati-hati dijalan, bawa mobil jangan ngebut-ngebut, Mir." Peringat Rahman.

"Iya, Pah. Kami pulang dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Pintu mobil Mirza bukakan untuk sang istri. "Izah pulang dulu, dadah!" Zahvi melambai-lambai tangan.

"Zah? Bawa ini." Anita memberikan sebuah paper bag.

"Apa ini, Mah?"

"Kue, buat makan dijalan."

"Makasih, Mah. Izah pulang dulu."

"Iya, jangan lupa solat, jaga kesehatan. Jangan lupa telpon kalau udah sampai rumah."

"Siap, Mah." Zahvi dan Mirza masuk ke dalam mobil dan perlahan mobil merayap meninggalkan pekarangan rumah dan menembus jalan raya.


𝐑𝐀𝐘𝐍𝐎𝐑 [𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓 𝐌𝐈𝐒𝐒𝐈𝐎𝐍] 𝐄𝐍𝐃Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang