Waktu seperti terhenti, semua seakan melambat. Malam terasa begitu panjang, aku serupa perahu yang terombang ambing. Setelah kehilangan dan segalanya mulai asing. Dan mengerti, tidak semua orang kan menyenangkan untuk dimiliki. Seperti cahaya yang tak pernah mudah di hadapi. Sehancur apa rasanya ketika sedang menjaga sebuah kaca agar tidak pecah, namun menjatuhkannya tanpa sengaja? Saat ingin bersuara dengan rasa bersalah yang membuat bibir terkunci?
Sakit memang, berbicara perihal perasaan yang hancur dengan mata yang basah. Karena hati juga remuk melihatnya. Terdiam, merasa payah. Namun perkara mencintai, ketahuilah semua tak pernah ingin terlihat palsu! Kemudian memberi ruang di hati dengan melupakan masalalu. Berharap membenahi semua kekacauan yang ada, namun cara yang keliru hanya kian mengacaukan semuanya.
Rembulan malam, tak pernah terpikir jika hati sudah menampik ke relungnya. Senja jingga menerangi angkasa, tak ada yang buruk dalam langit jingga, semua terlihat indah disekitarannya. Andai kata, pikiran memberontak dan hati memberontak, menjauhkan segala hal yang mendera. Berpikir mengenai kaki yang berpijak namun tak searah, menjadikan sebuah insiden pijakan langkah, alangkah baik jika pijakan membawa berkah, cinta dan kenikmatan dunia.
Siapa yang tahu isi hati seseorang, ketika lancang mencari, merobek, mengoyak hati untuk mencari tahu rahasia. Rasa sejuta hambar tak semua rasa dihati adalah bagian terbaiknya.
Tidak ada yang tidak akan terluka jika orang yang dicintai menyakiti hati. Zahvi tidak henti menangis. Setelah apa yang dikatakan Mirza, ia memutuskan pergi dari rumah dan datang ke rumah neneknya. Zahvi tidak akan pergi ia ingin tetap bersama suaminya tapi hati sudah terlalu sakit. Luka yang diciptakan Mirza sangat melukai hatinya. Sakit, terasa sesak di dada, tanpa bisa dijabarkan dengan kata-kata, hanya air mata sebagai penggambaran luka.
"Tante mu udah telpon Mamah mu, Zah. Besok Mamahmu datang." ucap Hasni, tangannya terus mengelus punggung cucu kesayangannya. Zahvi adalah cucu perempuan satu-satunya, dia sangat menyayangi Zahvi, rasanya ia benar-benar tak terima cucunya disakiti seperti ini.
"Tapi nenek gak kasih tau Papah sama Adnan kan, Nek?"
Hasni menggeleng. Sebenarnya ia ingin sekali memberitahu Rahman dan Adnan, tapi urung karena ia tak mau terjadi apa-apa pada Rahman. Anaknya itu mengidap penyakit jantung, akan buruk akibatnya jika Rahman sampai tahu. Dan Adnan, cucunya bisa bertindak gegabah, ia tidak mau Adnan masuk penjara lagi.
"Jangan sampai mereka tau, Nek. Izah gak mau terjadi apa-apa." Selain tak mau terjadi apa-apa kepada kedua orang yang ia sayangi itu, ia juga takut Adnan akan menyakiti Mirza, membayangkannya saja Zahvi tak sanggup.
"Kamu harus bercerai dengan Mirza. Laki-laki itu ga pantas dipertahankan, selama ini nenek kira kamu bahagia bersama Mirza. Nenek benar-benar menyesal menyetujui perjodohan kalian, padahal banyak, Zah. Laki-laki diluar sana yang mengejar kamu, laki-laki baik dan bertanggung jawab." ucap Hasni dengan nada kecewa. Mata Zahvi berembun, harapannya sirna, tadinya Zahvi berharap neneknya akan membantu memperbaiki hubungan mereka, tapi ternyata neneknya sudah kecewa pada Mirza. Siapa yang tidak marah orang yang disayang disakiti.
"Mungkin Abian lebih baik."
Zahvi melerai pelukan mereka, ia menggeleng kuat, air mata yang memenuhi pelupuk matanya kini mengalir tanpa bisa Zahvi cegah. Hasni menghapus air mata Zahvi. Hari ini cucu kesayangan terlalu banyak mengeluarkan air mata. "Semua gara-gara Abian, Nek. Dia ... dia yang jadi penyebabnya ...."
"Ssttt .... sudah-sudah jangan nangis, Zah. kita cari jalan keluarnya nanti."
"Gara-gara Abian, Mas Mirza jadi ... jadi ...."
"Izah, sudah Sayang jangan nangis lagi, semua pasti baik-baik aja."
"Izah, mau tetap sama Mas Mirza, Nek."
"Kamu masih mau bertahan dengan laki-laki begitu? Dia kasar, nuduh kamu sembarangan dan kamu masih mau bertahan."
"Izah ... Izah cinta sama Mas Mirza, Nek."
"Cinta? Cinta kamu itu buta, Sayang. Buka mata kamu. Sadar, kamu mencintai orang yang salah."
"Dia suami, Izah. Izah cinta, Nek. Izah gak salah cinta sama Mas Mirza, tapi Mas Mirza memang belum cinta sama, Izah."
Hasni menghela napas, begitu besar dan tulus cinta cucunya. Namun, tidak dihargai oleh suaminya. "Harusnya Mirza bersyukur kamu mencintainya. Mana ada wanita yang sanggup hidup dengan laki-laki seperti itu. Dengar Zah, nenek gak mentolerir suami mu itu."
"Izah cinta ...."
"Nenek gak akan diam sekarang. Kamu harus pisah sama Mirza. Banyak laki-laki baik yang menunggu kamu."
"Jangan, Nek. Izah makin sakit hati dengan nenek misahin Izah. Izah gak sanggup pisah sama Mas Mirza."
"Sadar Sayang ...."
Zahvi menggeleng kuat. "Jangan, Nek. Izah mohon, Izah tetap mau jadi istri Mas Mirza, Nek."
"Kamu memang dibutakan cinta."
"Cinta Izah gak buta, cinta Izah tulus, Nek ...."
Hasni menghela napas panjang. Ia sangat kasihan dengan keadaan cucu kesayangannya. "Dengar nenek, Sayang. Kamu akan lebih terluka bersama Mirza."
"Izah lebih terluka kalau pisah sama Mas Mirza. Izah cinta ...."
"Jangan menangis begini, Zah." Hasni pasrah jika sudah begini. Cucunya sudah teramat mencintai sang suami. Suami cucunya yang tidak baik dan tidak bersyukur mendapatkan Zahvi.
Malam itu Zahvi tidur dalam pelukan neneknya setelah menangis semalaman. Setelah kalimat menyakitkan yang terucap dalam mulut Mirza, Zahvi nekat pergi dari rumah malam itu juga. Saat ia ingin pergi, ia ingin dicegah Namun, jangankan untuk mencegah ia hanya menatap dengan tatapan dingin. Seakan kepergian Zahvi bukan masalah baginya.
Saat subuh tiba, Zahvi terbangun. Pelukan Hasni cukup menenangkan hati yang kalut. Ibadah dan doa-doa ditunaikan Zahvi kepada yang kuasa, Zahvi berdoa agar rumah tangganya baik-baik saja agar dia dan suaminya bisa hidup bersama selamanya. Zahvi meminta kepada yang maha kuasa agar Mirza juga bisa mencintai dan menyayanginya sampai maut memisahkan.
"Kamu mau kemana, Zah?"
"Mau ke rumah sakit, Om. Ada praktek hari ini."
"Kamu yakin? Dirumah aja, Zah. Nanti ada Dokter pengganti."
"Iya, Zah. Yang dibilang Om kamu benar, ga usah dinas, Mamah kamu juga datang siang nanti." ucap Kania membenarkan ucapan suaminya.
"Gak papa kok Om, Tante. Nanti Izah pulang kok."
"Ya sudah Om anter kamu. Mah, Papa pergi dulu."
"Iya Pah hati-hati. Zah kamu juga."
"Iya, Tante."
Zahvi masuk mobil Rahmat, adik Papahnya. Mobil itu dibawa dengan kecepatan sedang. Sejak mobil berjalan mata Zahvi tak terlepas memandang ke luar mobil. Tatapannya sendu, hatinya terasa sakit setiap kali mengingat keadaan rumah tangganya yang berada diujung tanduk. Rumah tangga yang dulunya bukan harapan, kini menjadi harapan untuk bertahan. Laki-laki yang dulu bukan keinginan kini jadi cita-cita dan cinta.
"Apa keputusan kamu, Zah?"
Zahvi bungkam, ia tidak tahu keputusan apa yang ingin ia ambil, menerima perpisahan atau berusaha mempertahankan rumah tangga. Namun, keinginan terbesarnya adalah tetap bertahan dan memperjuangkan cinta. Apa ini yang dinamakan bodoh?
"Untuk apa mempertahankan rumah tangga kalau kamu gak bahagia, Zah. Banyak laki-laki baik diluar sana yang menunggu kamu."
"Jadi Om dukung Izah sama Mas Mirza pisah?"
Rahmat menghela napas dalam kemudian melirik keponakannya sekilas. "Dari dulu Om memang gak terlalu suka sama Mirza, hanya Papah mu yang bersikeras."
Zahvi tersenyum miris. Sepertinya rumah tangganya hanya memiliki kemungkinan kecil untuk bertahan. Sekarang keluarga mendukung untuk berpisah dan Mirza sama sekali tak berusaha mempertahankan rumah tangga, hanya Zahvi yang berjuang disini.
"Tapi Om akan selalu mendukung keputusan kamu. Apapun yang membuat kamu bahagia Om akan mendukung."
"Kalau seandainya, Izah. Pertahankan pernikahan Izah apa Om bakalan dukung?"
Rahmat memandang sejenak wajah keponakannya kemudian kembali fokus ke jalan. "Jika itu keputusan murni kamu Om akan mendukung."
Zahvi memejamkan mata, serumit ini rumah tangga dan kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan. "Salah ya Om, Izah cinta sama Mas Mirza?"
Rahmat menggeleng. "Kamu gak salah, Zah. Yang salah Mirza, dia gak bisa menghargai ketulusan kamu."
"Bagi dia cinta itu bodoh, Om. Bahkan Mas Mirza bilang, dia gak akan bisa mencintai, Izah."
"Ntahlah Om juga gak tau, tapi intinya ada sesuatu yang kamu gak tau tentang Mirza dan menurut Om juga mana mungkin Mirza gak pernah jatuh cinta, cinta itu sudah kodrat manusia, Zah."
Mirza, siapa yang tahu tentang dia? Lelaki itu sangat misterius, Mirza membuat dirinya seperti sebuah rahasia, sedikitpun Zahvi tidak tahu bagaimana pikiran suaminya. Mirza terlalu dingin dan pendiam, tidak pernah sedikitpun Mirza membagi cerita, apalagi menceritakan semua masalahnya. Semua sikap Mirza seakan-akan menjadi misteri untuk dipecahkan, semua perlakuannya sama sekali tidak bisa ditebak, semua hal terjadi secara spontan. Zahvi sebagai istri tidak tahu apa-apa tentang suaminya.
"Zah? Hei!" Rahmat menepuk pipi keponakannya.
"Eh ... iya Om."
"Melamun terus ... udah sampai, Zah."
"Maaf Om tadi Izah cuma mikirin pasien kok bukan melamun."
Rahmat menggeleng disertai senyum mengejek. "Sudahlah. Om tau kamu mikir Mirza, nanti kita cari jalan keluarnya. Om percaya semua pasti baik-baik aja. Sudah keluar sana."
Zahvi mengangguk. "Izah masuk dulu ya Om. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Sepanjang berdinas hari di rumah sakit Zahvi sedikit lupa dengan semua masalahnya. Baginya, kesehatan dan keselamatan jiwa pasien adalah hal yang terpenting, tidak boleh sedikitpun masalah hidup mempengaruhi kinerja.
Salah satu hal yang paling melelahkan didunia ini, adalah saat ingin melepaskan sesuatu namun ia tetap saja terasa dekat. Saat juta berharap segera mampu melupakan, disini lain kita tetap harus bertahan dengan segala hal yang menjaga ia didalam ingatan. Seperti ingin mati tetapi takut menemui kematian. Seperti ladang-ladang kering yang butuh hujan, namun saat hujan datang merasa gemas akan kebanjiran. Rasa penuh cemas, hidup tidak pernah seimbang setelah patah hati datang merusak semua rencana yang rela di kemas.
Ania mengguncang tubuh Zahvi, berteriak dengan keras untik menyadarkan Zahvi dari lamunannya.
"Apasih?" Zahvi sedikit menyentakkan suara.
"Lo tuh yang apa? Gue ngajak ngomong lo diem aja. Eh .... taunya ngelamun, kenapa sih? Ada masalah idup apa lo?"
"Banyak." ketusnya.
"Cerita sama gue." Zahvi menggeleng, ia malas bercerita, terlebih lagi mengenang kejadian menyakitkan, lebih baik menyedot minuman teh asal Thailand untuk menangkan diri.
"Zah! Gak enak lo pendiem gini." rengek Ania, tangannya menguncang-guncang lengan Zahvi, hingga sedotan minuman itu masuk ke dalam hidung.
"Ya ampun, nyolok idung gue, Ni!" geram Zahvi.
"Hehehe ... sorry." Ania cengengesan.
"Gak usah ganggu gue, gue lagi males candaan."
"Sumpah gak enak banget lo gini." suat Erick.
"Gue capek. Fisik dan juga batin."
Ania berdecak, sungguh ia gemas dengan sahabatnya satu ini. "Makanya lo cerita jangan dipendam sendiri ...."
Zahvi menggeleng. "Nanti aja gue cerita."
"Oke ...." Ania pasrah. Tapi sebagai seorang sahabat Ania yakin ada masalah besar dibalik kegalauan Zahvi yang misterius ini. Zahvi adalah tipikal orang yang ceria, sangat mudah ketahuan jika ia sedang memiliki masalah. Ania terus memperhatikan raut wajah Zahvi yang benar-benar berubah, wajah itu tampak sayu dengan matanya yang sembab.
"Mata lo sembab. Lo habis nangis ya?"
Zahvi meletakkan kepalanya diatas meja dengan tangan sebagai bantal. Hari ini ia benar-benar kalut, ntah bagaimana kedepannya, apa akan benar-benar berpisah atau ada jalan yang menghalangi perpisahan. Zahvi berharap akan ada sebuah halangan besar yang menghentikan ini semua. Hal yang paling sulit dipahami dari tipe-tipe manusia, ketika dirinya sudah disakiti, masih saja ada rasa sayang didalamnya.
Di saat manusia sudah sadar bahwa ia dilukai, paham pada kenyataannya ia adalah seorang yang dicampakkan. Orang yang merasa kecewa atas keputusan seseorang yang lain. Namun entah bagaimana prosesnya. Perasaan cinta tetap saja kuat, mengalahkan logika dan akal sehat. Mirza. Laki-laki itu tidak percaya jika Zahvi mengatakan ia mencintainya bahkan sudah kehilangan keyakinannya kepadanya.
"Zah! Lo kenapa? Kayak sedih banget gini!"
Zahvi menelungkupkan wajahnya, terdengar suara tangisan yang tersedu-sedu. Ntah bagaimana caranya untuk menjelaskan rasa sakit ini, tangisan saja tidak cukup untuk menggambarkannya.
Ania panik, bagaimana tidak baru kali ini Ania menyaksikan Zahvi menangis sampai sesedih ini. "Zah, lo kenapa?" Bagaimana ia bisa mengetahui masalah Zahvi jika terus menangis begini. "Zah, kenapa?"
"Zah lo kenapa?" Erick ikut panik karena tidak biasanya seorang Zahvi menangis.
Ania mengangkat kepala Zahvi menghadapnya. "Kenapa Zah?" tanya Ania dengan suara serak, walaupun ia belum tau apa masalah Zahvi, tapi Ania dapat merasakan kesedihan.
Zahvi memeluk Ania sebagai sandaran, Ania menyambut pelukan itu dengan tangannya yang mengelus punggung Zahvi yang bergetar. "Gue ... gue ... mau pisah sama ... Mas Mirza ...."
"Ya Allah, kenapa bisa?"
"Gue ... gak mau ... pisah sama dia ...." ucap Zahvi ditengah tangisnya.
"Tenangin diri lo, baru lo cerita."
Cukup lama Zahvi menangis dipelukan Ania, Zahvi menyudahi pelukannya. "Nih tisu." Zahvi menerimanya, ia menghapus air mata dan ingusnya. "Cerita sama gue, Zah. Kok sampai bisa gitu?"
Zahvi memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. "Gara-gara, Bryan."
"Bryan?" Erick memastikan.
"Ya ampun. Suami lo cermburu sama Bryan sampai-sampai ngajak lo pisah.""Bryan bilang gue ... selingkuh sama Abian ...." Zahvi menangis lagi, tuduhan itu benar-benar membuatnya sedih.
"Keterlaluan!" geram Ania. "Kenapa sih tuh setan suka banget ikut campur! Terus apa lagi, Zah. Suami lo percaya begitu aja."
Zahvi mengangguk. "Gue masih gak nyangka Bryan setega ini sama gue, bisa-bisanya dia bilang ke Mas Mirza gue selingkuh. Padahal gue udah anggap dia kakak gue sendiri. Gue bertanya-tanya kenapa dia segitu teganya sama gue? Apa sih salah gue sama dia?" Zahvi sama sekali tidak pernah membayangkan betapa pedihnya dikhianati dan ditusuk oleh sahabat sendiri, bahkan pikiran jahat sekalipun ia tidak pernah membayangkan kehidupan yang sesakit ini. Namun, kenyataannya begitu yang ia dapatkan.
"Jadi lo jelasin lagi gak sama suami lo?" tanya Ania tak dijawab oleh Zahvi. "Hoy Zah! haduh ... ngelamun lagi lo."
"Sorry."
Ania meraih tangan Zahvi. "Ya ampun, Zah. jangan gini dong.
"Bahkan gue sekarang udah gak tinggal sama dia ... gue ...." Zahvi tidak bisa lagi menahan air matanya.
"Ya ampun, Zah." kaget Ania. "Kok bisa gini sih? Jadi sekarang lo tinggal dimana?"
"Gue tinggal di rumah nenek. Ketika gue pergi, dia gak cegah gue sama sekali ...."
"Zah ...." Ania memeluk Zahvi untuk menengahnya. "semuanya pasti baik-baik aja. Kita ada disini, Zah. Kita gak akan ninggalin lo sendiri."
"Gue cinta sama suami gue. Gue gak mau pisah sama dia."
"Iya gue tau. Cinta lo emang tulus."
"Bryan memang keterlaluan. Memang gak punya otak! Pikirannya itu kosong, makanya sampai sekarang gak mau nikah karena mau ngancurin rumah tangga Zahvi!"
"Rick, gak boleh ngomong gitu." ujar Ania.Erick menggeram marah, tangannya mengepal kuat bahkan tangan itu sudah menghantam meja. "Memang mau dikasih pelajaran! Gue gak akan tinggal diam!" Lelaki humoris itu berubah ganas dengan cepat bangkit ingin meninggalkan Zahvi dan Ania.
"Erick jangan!" cegah Zahvi tangannya segera mencekal lengan Erick.
"Kenapa, Zah?"
"Jangan, gue gak mau lo sampai ribut sama, Bryan. Ini masalah rumah tangga gue Rick gue mau lo kena imbasnya."
"Gue gak peduli, Zah. Gue gak terima lo diginiin. Jika perlu gue cincang dia!"
"Gue tau. Tapi dengan lo ribut sama Bryan itu malah nambah beban pikiran gue. Gue mohon sama lo Rick jangan bertindak gegabah, biar gue yang selesain ini semua. Gue cuma butuh dukungan kalian. Ya Rick, gue mohon."
"Gue gak ...."
"Gue mohon, Rick. Sekali ini aja."
Erick mengusap wajahnya menangkan emosi yang sudah memuncak. "Oke. Tapi gue harap masalah ini benar-benar selesai. Tapi kalau masalah ini gak selesai, hidupnya yang bakalan selesai."
Zahvi mengangguk. "Gue yakin, masalah ini bakalan selesai. Makasih karena kalian berdua selalu ada buat gue. Kalian gak pernah ninggalin gue. Kalian berdua emang sahabat terbaik yang gue punya."
Ania memeluk Zahvi. "Kita sahabat mana mungkin ninggalin lo."
"Kalian emang istimewa."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐀𝐘𝐍𝐎𝐑 [𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓 𝐌𝐈𝐒𝐒𝐈𝐎𝐍] 𝐄𝐍𝐃
Actionꜱᴇᴏʀᴀɴɢ ᴅᴏᴋᴛᴇʀ ᴍᴜᴅᴀ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙᴇʀᴋᴇɪɴɢɪɴᴀɴ ᴍᴇɴɪᴋᴀʜ ᴅᴇɴɢᴀɴ ʟᴀᴋɪ-ʟᴀᴋɪ ᴘɪʟɪʜᴀɴ ᴀʏᴀʜɴʏᴀ, ᴛᴇʀʟᴇʙɪʜ ʟᴀɢɪ ᴅᴇɴɢᴀɴ ꜱᴏꜱᴏᴋ ʟᴀᴋɪ-ʟᴀᴋɪ ᴀᴘᴀᴛɪꜱ ᴅᴀɴ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴍᴇɴɢᴇɴᴀʟ ᴄɪɴᴛᴀ. ʏᴀ, ᴍɪʀᴢᴀ ʜᴀᴅᴅᴀɴ ᴍᴜᴅᴅᴀᴢɪʀ, ꜱᴇᴏʀᴀɴɢ ᴛᴇɴᴛᴀʀᴀ ʙᴇʀᴘᴀɴɢᴋᴀᴛ ʟᴇᴛɴᴀɴ ꜱᴀᴛᴜ. ꜱᴇɪʀɪɴɢ ʙᴇʀᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ...