To Be Happy (1)

1.3K 113 32
                                    

    "Gimana keadaan Mas Mirza?" tanya Zahvi cemas. Wanita itu baru saja datang setelah diberikan kabar.

     "Dokter belum keluar. Duduk, Zah." Santi menuntun menantunya untuk duduk dan menenangkan diri.

     "Mas Mirza, Bu." Zahvi ingin menangis.

     "Kita tunggu dokter keluar, tenang dan kita berdoa."

     Mirza pasien yang butuh penanganan khusus, harus dipantau secara ketat terlebih lagi setelah operasi mayor pengangkatan ginjal. Malam ini ada reaksi serius yang terjadi pada tubuh Mirza hingga dokter harus bertindak cepat dalam menanganinya.

     Sekarang pukul dua tengah malam, Zahvi terpaksa meninggalkan putrinya di rumah bersama Bella demi menjenguk Mirza di rumah sakit. Bayi itu ditinggalkan dalam keadaan tidur nyenyak. Ia tidak akan bangun sebelum adzan subuh. Hampir pukul empat dokter belum keluar, membuat Zahvi makin risau, ntah apa yang terjadi kepada suaminya. Bahkan sejak datang ia tidak bisa diam, duduk sebentar kemudian berjalan kesana-kemari. "Tenang, Zah."

     "Mas Mirza gimana, Bu?" Air mata Zahvi telah berlinang.

     Santi juga tidak tahu, ia sama seperti Zahvi khawatir dan takut jika sampai terjadi hal buruk kepada putranya, Santi menghapus air mata sang menantu, mencoba untuk menenangkan. "Kita selalu berdoa, Zah."

     "Mas Mirza gak akan kenapa-napa kan, Bu?"

     Santi menggeleng. "Suami kamu pasti baik-baik aja, Zah."

     Zahvi memeluk ibu mertuanya, Mamah dan Papahnya berada jauh hanya Santi lah yang menjadi tempat sandaran. Jika tidak ada Santi disampingnya ia tidak akan kuat menjalani cobaan ini sendiri. Adzan subuh berkumandang dokter tak kunjung keluar. Zahvi semakin risau, bagaimana keadaan suaminya dan bagaimana jika putrinya terbangun, gadis kecil itu pasti akan menangis dan mencarinya.

     "Kamu pulang aja, Zah. Nanti dedek bangun.  Biar Ibu, Ayah dan Izral disini. Nanti Ibu kasih tau keadaan Mirza."

     Zahvi ingin disini namun disisi lain, ia ingin menunggu dokter keluar dan mengetahui langsung keadaan suaminya.

     "Pulang, Zah. Benar yang dibilang ibumu." ucap Chandra.

     "15 menit lagi, Yah. Kalau dokter gak keluar Zahvi pulang."

     "Ya sudah, tapi kamu duduk jangan cuma berdiri."

     "Iya, Ayah." Zahvi segera duduk, ia mencoba untuk menghubungi Bella, menanyakan apa bayinya sudah bangun atau belum, walau ia sudah berpesan jika bayi bangun segera telpon dirinya. Pesan masuk jika bayi mungil masih tidur nyenyak, Zahvi sedikit tenang saat foto bayi lucu itu dikirim oleh Bella, sedikit meredakan rasa khawatirnya saat ini.

     Pintu ICU terbuka, beberapa orang berseragam khusus keluar. Zahvi dan lainnya segera menghampiri, Zahvi menerobos ia segera menanyakan bagaimana keadaan Mirza. "Cepat katakan, Dok. Jangan terlalu lama berpikir." ucap Zahvi tidak sabar.

     Dokter mengangkat kedua tangan ke atas, mengisyaratkan Zahvi untuk tenang, dokter juga tersenyum ke arah Zahvi seakan bahagia dengan kekhawatiran wanita ini yang berada dipuncak. "Tenang dulu, Bu."

     "Kenapa Anda tertawa? Apa ini candaan? Saya istri pasien dan juga dokter! Saya tidak pernah bermain-main dengan hal serius!" ucap Zahvi tajam ia tidak suka dengan sikap dokter didepannya.

     "Ibu tenang dan saya akan menjelaskan."

     Zahvi membuang muka, dilihatnya Ayah mertua yang berjalan mendekat, mungkin tahu bagaimana kesalnya sang menantu. Dokter itu memberi hormat dan menjabat tangan Chandra. "Bagaimana anak saya?"

     "Saya memberi kabar baik. Anak Anda telah sadar, Pak."

     "Benarkah?" tanya Zahvi.

     Dokter laki-laki itu tersenyum, kemudian mengangguk. "Iya, Bu. Suami Anda sudah sadar. Maaf atas perlakuan saya tadi, maksud saya hanya ingin bercanda tetapi ternyata bukan diwaktu yang tepat. Sekali lagi saya minta maaf."

     "Alhamdulillah." Ucapan syukur kepada Allah.

     "Pukul 1 tubuh Letnan Mirza memberi respon dan ternyata itu tanda-tanda pasien akan sadar dan kami segera melakukan tindakan. Saya ucapkan selamat dan syukur atas kesadaran Letnan Mirza. Dan untuk dokter Zahvi saya meminta maaf dan saya ucapkan selamat atas kelahiran putri Anda." ucap dokter begitu ramah.

     "Terimakasih, Dok. Berkat dokter putra kami bisa selamat dari maut, kami seluruh keluarga mengucapkan terimakasih kepada Anda."

     "Itu adalah tugas kami, Bapak Panglima. Saya sangat bangga bisa menyelamatkan nyawa orang lain, itu membuktikan bahwa kerja dokter adalah mulia."

     Chandra dan dokter yang cukup berumur itu berpelukan, sangat bahagia dengan apa yang kedua orang ini dapatkan. Zahvi memeluk ibu mertuanya begitu erat bahkan membuat wanita paruh baya itu sulit beenapas. Keduanya tertawa saat Zahvi melepaskan pelukan. Saat ini mereka sangat bahagia dengan kabar ini.

     "Apa putra saya bisa ditemui?" tanya Chandra. Zahvi mengangguk antusias, ia baru saja ingin mengajukan pertanyaan seperti itu.

     "Bisa, hanya saja pasien tertidur karena efek obat. Dan ... saran saya lebih baik menemui pasien besok agar kesehatan pasien benar-benar stabil."

     Zahvi tertunduk lesu, ia ingin segera menemui Mirza, setidaknya melihat saja. 

     "Jangan sedih, Zah. Besok kita temui Mirza dan bawa dedek ketemu ayahnya." ucap Santi setelah melihat gurat sedih diwajah wanita yang sudah dianggap anak sendiri.

     "Tahan rindu malam ini. Mbak. Besok bisa sayang-sayangan." goda Izral.

     "Apasih!" ucap Zahvi bersemu merah.

     Tawa menggema, mereka bisa kembali tertawa mulai dari malam ini.

𝐑𝐀𝐘𝐍𝐎𝐑 [𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓 𝐌𝐈𝐒𝐒𝐈𝐎𝐍] 𝐄𝐍𝐃Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang