PDP || 12 KEANEHAN GUS ALIF

72 17 15
                                    

Hiu

Selamat pagi, siang, sore, maupun malam untuk kalian yang sedang membaca.

Aya update lagi pren, jangan bosen ya, nungguin Aya update.

Happy reading❤

Bismillah

•••*•••

Mobil yang dikendarai Rayen telah berada di pekarangan pesantren dan mobil pick up itu berhenti tepat di depan ndalem. Rayen dan Gus Alif membuka pintu samping dan keluar, semuanya turun kecuali Farel yang masih di posisinya.

Rayen mengernyit karena Farel masih di atas, padahal posisinya bisa dibilang mudah untuk turun. "Ngapain? Turun!"

Farel menatap Rayen dan mengacuhkan ucapan Rayen.

"Dia nggak bisa turun Rey," kata Maya mewakili.

Rayen mengerutkan keningnya, sedetik berikutnya ia paham.

"Lho kenapa nggak bisa turun?" tanya Ning Aza.

Kyai Hasan dan Umi Aisy yang sejak tadi menunggu kedatangan mereka pun keluar dari ndalem. Mereka langsung saja menyambut mereka. Umi Aisy langsung memeluk Ning Aza dengan sayang. Pelukan itu adalah pelukan kekhawatiran seorang ibu.

Rayen, Farel dan Naufal menatap pemandangan itu. Hati mereka tersentuh melihatnya. Pelukan seorang ibu adalah satu-satunya yang mereka rindukan. Sejak kecil ataupun sampai sekarang mereka sama-sama merindukan pelukan itu.

Mereka bertiga adalah anak yang tidak bisa merasakan pelukan seorang ibu. Dan itu juga salah satu penyebab kenapa mereka bisa akrab, mereka mengerti dengan kekosongan hari-hari mereka. Karena, mereka juga sama-sama merasakannya.

Saking rindunya Farel sampai berkaca-kaca dan langsung saja dia membuang muka dan mengelap air yang berada di sudut matanya. Farel malu bila mereka mengetahui kalau dia anak yang cengeng.

Sedangkan Rayen menatap pemandangan itu dengan ekspresi datarnya. Seperti biasa, walaupun datar namun di dalam hatinya menyimpan banyak rasa.

Naufal pun tidak jauh berbeda, Naufal malah tersenyum palsu melihat pemandangan itu. Naufal berharap dia bisa mendapatkan pelukan itu lagi.

"Kenapa baru pulang jam segini? Katanya nggak akan sampek malem, cuma sampek sore?" Umi Aisy dengan kasih sayangnya mengusap lengan Ning Aza.

"Itu, kita tadi ada masalah sedikit dan menikmati waktu bersama mumpung bisa keluar pesantren. Maaf, ya Umi, Ning Aza jadi telat karena saya."

Umi menatap Rayen, lalu mengangguk. "Ya udah, ndakpapa. Karena Ning dan kalian sampai di sini dengan selamat, Umi maafkan. Lain kali kalau mau pulang telat, kabari dulu. Supaya kita tidak cemas menghawatirkan kalian."

Mereka bersama-sama mengangguk mendengar pesan dari Umi Aisy dan mereka tidak akan mengulanginya lagi.

"Ya sudah, kalau gitu kita ke asrama."

Gus Alif menyalimi Kyai Hasan dan mereka mengikutinya kecuali Farel, dia masih diam berada di posisinya.

"Gopalll Rey! Bantuin." Bodo amat, Farel tidak memikirkan nasipnya yang akan ditertawakan oleh mereka semua, yang penting dia turun dan merebahkan tubuhnya.

Naufal memutar bola matanya, "Badan aja yang gede."

Setelah Farel turun, dia langsung berpamitan dengan Kyai Hasan dan Umi Aisy. Dengan tidak sengaja, Farel menatap mata Umi Aisy dan Farel merasakan kehangatan dari tatapannya. Farel berharap mamanya seperti Umi Aisy yang baik.

Farel pun lanjut berjalan, sebelum itu Farel mencuri waktu saat Naufal berpamitan lagi pada Umi. Farel berkata pelan seperti berbisik pada Ning Aza, "Lo beruntung punya Umi sama Abi kayak mereka."

Psikopat Di Pesantren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang